Senin, 08 Desember 2014

KEISTIMEWAAN MANUSIA PADA AKALNYA

Keistimewaan manusia

Manusia, makhluk ciptaan Allah yang satu ini mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan makhluk2 ciptaan-Nya yang lain. Keistimewaan yang Allah berikan kepada manusia adalah akal yang tidak Allah berikan selain kepada manusia. Selain dari itu manusia mempunyai keistimewaan2 yang lain, seperti kebutuhan jasmani (basic needs) dan naluri (gharizah). Namun disaat manusia ga menggunakan akalnya, manusia dapat di sejajarkan dengan hewan bahkan lebih hina lagi dari hewan, seperti yang di terangkan Al-Qur’an :
“Kami telah menjadikan untuk isi neraka jahanam, kebanyakan dari manusia dan jin. Mereka mempunyai akal, tetapi tidak digunakan untuk berfikir. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat. Mereka mempunyai telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti hewan bahkan lebih hina lagi.” (QS. Al-A’raf : 179).
Walaupun manusia diberi keistimewaan akal bukan berarti manusia akan ‘tetap mulia’ dibanding dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain yaitu dimana saat kondisi yang seperti diterangkan ayat di atas di saat manusia tidak mempergunakan akalnya untuk berfikir, pendengarannya untuk mendengar dan penglihatannya untuk melihat realitas maka mereka sama seperti hewan.
Akal sesungguhnya merupakan “kekuatan untuk menghasilkan keputusan (kesimpulan) tentang sesuatu” dan untuk menghasilkan kekuatan itu di perlukan empat komponen, yaitu Fakta, indra, maklumat dan otak. Adapun proses kerja dari komponen tersebut untuk menghasilkan kekuatan yang disebut Akal adalah memindahkan realitas yang terindra ke dalam otak melalui alat indra yang ada, dan dengan maklumat awal yang ada di dalam otak, realitas tersebut disimpulkan. Atau dengan bahasa lain akal adalah kemampuan berfikir untuk mengaitkan fakta yang terindra dengan maklumat sebelumnya yang ada di dalam otak. Pada saat itulah terbentuklah kekuatan untuk menyimpulkan realitas. Inilah esensi akal manusia.
Jika dalam ayat di atas Allah menyamakan manusia dan jin dengan hewan disaat mereka tidak menggunakan keistimewaannya atau dengan kata lain mereka tidak menggunakan akalnya untuk berfikir, dengan demikian jelaslah hewan memang tidak mempunyai akal. Jelas bagi kita dimana letak perbedaan hewan dengan manusia.
Keistimewaan manusia yang lainnya adalah kebutuhan jasmani yaitu kebutuhan mendasar (basic needs) yang timbul akibat kerja struktur organ tubuh manusia yang jika tidak dipenuhi struktur organ tubuh manusia tersebut dapat mengalami gangguan bahkan bisa mengakibatkan kerusakan. Sebagai contoh; tubuh manusia sangat memerlukan air yang jika tidak dipenuhi dapat mengakibatkan gangguan bahkan kerusakan. Penyakit ginjal adalah contoh penyakit yang disebabkan karna kekurangan air. Contoh lain; butuhnya manusia terhadap oksigen yang jika tidak dipenuhi dapat menyebabkan sesak nafas bahkan dapat mengakibatkan kematian. Itulah yang dinamakan kebutuhan jasmani. Kebutuhan jasmani wajib dipenuhi jika tidak dapat mengalami kerusakan bahkan kematian. Kebutuhan jasmani merupakan kebutuhan dasar (basic needs) karna itu sesuatu yang Allah haramkan dalam kondisi tertentu/darurat berubah status menjadi halal. Sebagaimana Firman-Nya :
“Maka, siapa saja yang dalam keadaan terpaksa, tanpa unsur kesengajaan dan membangkang, maka tiada dosa baginya.” (QS. Al-Maidah : 3).
Ayat di atas dinyatakan oleh Allah SWT dalam konteks keharaman bangkai, darah, daging babi dan sebagainya. Itu semua kemudian dibolehkan oleh Allah SWT untuk orang2 yang dalam kondisi terpaksa, semata-mata untuk mempertahankan hidupnya. Karna jika tidak memakannya, dia akan mengalami kematian.
Nabi SAW juga tidak memberikan sanksi kepada pencuri yang mencuri pada saat masa kelaparan (krisis), dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
“Tiada hukuman potong tangan (kepada pencuri ketika mencuri) pada masa kelaparan yang luar biasa.” (HR. Makhul).
Inilah islam, yang sangat memuliakan manusia dengan kehidupannya.
Keistimewaan manusia yang ketiga adalah Gharizah (naluri), naluri manusia adalah ciri khas (khashiyyat) yang merupakan fitrah penciptaannya supaya manusia bisa mempertahankan eksistensinya, keturunan dan mencari petunjuk mengenai keberadaan sang pencipta. Gharizah ini tidak dapat di indra oleh manusia namun dapat dijangkau oleh akalnya melalui tanda2 atau fenomena yang terlihat darinya.
Gharizah (naluri) ada tiga macam, pertama naluri mempertahankan diri (gharizah baqa), kedua naluri melestarikan/seksual (gharizah an’naw) dan yang ketiga naluri beragama (gharizah tadayyun). Adapun naluri keibuan atau kebapakkan adalah fenomena dari naluri melestarikan (gharizah an’naw) bukan naluri itu sendiri. Naluri berbeda dengan kebutuhan jasmani. Naluri timbul akibat rangsangan dari dua faktor eksternal, yaitu (1) realitas dan (2) pemikiran.
Orang yang berbelanja di supermarket Gharizah Baqa-nya akan terdorong begitu melihat banyak realitas, seperti beragam barang baik pakaian, sepatu atau yang lainnya. Semua itu realitas yang dapat mendorong gharizah baqa orang tersebut, sehingga dia terdorong untuk membeli barang bahkan orang tersebut kebingungan untuk memilih karna semua barang yang ada telah mendorong gharizah baqa-nya.
Laki2 yang melihat seorang wanita cantik akan mempengaruhi gharizah an’naw-nya, begitu juga sebaliknya, wanita yang melihat sosok laki2 tampan akan mempengaruhi gharizah an’naw-nya dengan timbulnya fenomena rasa ketertarikan, cinta dsb.
Dan orang yang ta’ziyyah kepada orang yang meninggal akan mempengaruhi gharizah tadayyun-nya yang akan menimbulkan rasa takut mati sementara dia merasa belum siap karna masih banyak berlumuran dosa. Perasaan seperti ini juga lahir dari realitas, yaitu melihat jenazah yang dimandikan, dikafani, dishalati kemudian dikubur dan ditinggal sendiri didalam kubur. Orang yang melihatnya dapat membayangkan bagaimana jika dia kelak mati seperti jenazah tersebut. Inilah pengaruh realitas terhadap manusia.
Pemikiran juga tak kalah kuat pengaruhnya terhadap naluri. Jika seorang laki2 membayangkan seorang wanita, maka dorongan syahwatnya akan timbul meskipun ketika membayangkan wanita yang dibayangkan tersebut tidak ada didepannya. Orang yang membayangkan betapa enaknya punya rumah indah, kendaraan pribadi pasti akan mendorong untuk memilikinya. Begitu juga ketika seseorang membaca Al-Qur’an, merenungkan isinya tentang kenikmatan surga lalu timbul kerinduan untuk meraihnya. Semua contoh tadi merupakan pengaruh pemikiran.
Kedua aspek eksternal inilah yang mempengaruhi lahirnya naluri manusia. Karna timbulnya naluri tersebut bukan dari dalam diri manusia, tetapi dari kedua aspek eksternal tadi, maka ketika dorongannya timbul, dorongan tersebut tidak harus dipenuhi. Jika naluri tersebut tidak dipenuhi, seseorang tidak akan mengalami kerusakan atau bahkan sampai mengalami kematian. Naluri tidak akan mengakibatkan akibat2 seperti ini, meskipun demikian naluri tidak dapat dibunuh atau dihancurkan. Yang memungkinkan hanyalah dialihkan pada yang lain, atau ditekan. Contoh kecintaan pada istri dapat dialihkan pada kecintaan kepada ibu. Kerinduan pada istri bagi seorang suami yang jauh meninggalkan istrinya dapat dialihkan dan dikalahkan dengan naluri yang lain. Caranya dengan menjauhi realitas yang dapat membangkitkan nalurinya, misalnya tidak berinteraksi dengan wanita, tidak melihat foto istrinya atau anak2nya, tidak menyibukkan fikirannya dengan keluarganya. Kemudian fikirannya dipenuhi dengan hal2 lain, antara lain dengan Zat Al-Wakil (Zat yang Maha Mewakili) yang mampu mewakili urusannya, yang menjadi tempatnya berserah untuk menyerahkan seluruh urusan keluarganya.
Contoh mengenai pengalihan pemenuhan naluri tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi SAW. Ketika memerintahkan pemuda yang mempunyai keinginan kuat untuk menikah agar berpuasa, dalam kondisi dimana bila dia belum mampu membina rumah tangga. Sabda Nabi SAW. :
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kamu yang mampu berumah tangga, menikahlah. Sebab, menikah itu dapat menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Namun, siapa saja yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, sebab puasa itu dapat menjadi benteng (bagi seseorang).” (Hr.Bukhari).
Puasa yang diperintahkan Nabi Saw. Dalam kasus tersebut adalah agar orang yang mempunyai keinginan kuat untuk menikah, karna dorongan gharizah an’naw-nya, dapat mengalihkan dorongan gharizah an’naw-nya pada dorongan gharizah tadayyun (naluri beragama). Karna puasa merupakan ibadah dan tiap ibadah mempunyai tujuan yang ingin dicapai, yaitu meningkatnya kekuatan ruhiyyah seseorang. Dengan kekuatan spiritualnya, gharizah an’naw seseorang dapat dikendalikan sehingga bisa ditekan.
Subhanallah.. Maha Suci Allah yang telah menciptakan manusia dengan begitu sempurnanya dan HANYA PADA ISLAM kita dapat mengungkap keagungan ciptaan-Nya. Allahu Akbar.. [] muharram al Hakim.
[ Diambil dan disarikan dari buku; Diskursus ISLAM politik & spiritual, Hafidz Abdurrahman


FIRQOH NAJIYA DAN THO'IFAH MANSHUROH

Perbedaan Firqah Najiyah dan Thaifah Manshurah

      Banyak orang masih bingung apakah firqah najiyyah sama dengan thaifah manshurah. Hal ini disebabkan karena ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.
     Di antara dai kontemporer yang menyamakan antara firqah najiyyah dan thaifah manshurah adalah Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali dalam bukunya yang berjudul Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salaf.Penulis berkata, “Tidak diragukan lagi, Ath-Thaifah Al-Manshurah inilah yang berada di atas pemahaman Nabi saw dan para sahabatnya karena dia berada di atas kebenaran, sedangkan kebenaran adalah apa yang telah ada di atasnya Nabi saw dan para sahabatnya, maka siapa saja yang tetap teguh (komitmen) di atas apa yang ada padanya Al-Jama’ah sebelum terjadi perpecahan, walaupun sendirian, maka dia adalah Al-Jama’ah.
     Dengan demikian jelaslah sudah ciri khas (syiar) manhaj Al-Firqah An-Najiyyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salaf umat ini, yaitu Muhammad saw dan orang-orang yang bersamanya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat dan berdakwah kepada persatuan umat di atas pemahaman ini.
Al-Firqah An-Najiyyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah memiliki empat sifat, yaitu :
1.     Laa tazaalu tha’ifah (senantiasa ada sekelompok), ini bermakna senantiasa ada terus-menerus.
2.    Zhahiriina ‘ala al-haq (menegakkan kebenaran) ini bermakna kemenangan.
3.    Laa yadhurruhum man khadzalahum wa laa man khaalafahum (tidak merugikan mereka orang-orang yang mencela (menghina) dan menyelisihi mereka) bermakna membuat kemarahan ahlil bid’ah dan orang kafir.
4.    Kulluhaa fi an-nar illa wahidah (semuanya di neraka kecuali satu) bermakna keselamatan dari neraka.”
Perbedaan Firqah Najiyyah dan Thaifah Manshurah
     Kebanyakan kitab akidah menyebutkan bahwa firqah najiyyah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) itu adalah thaifah manshurah. Kedua istilah tersebut disamakan dalam konteks bahwa keduanya adalah nama lain bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Ada empat nama lain dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah di samping Ahlul Hadits dan Al-Ghuraba’.
Menurut Syaikh Salman dan Syaikh Abdul Qadir, pendapat yang rajih (kuat) adalah firqah berbeda dengan thaifah, dan sebenarnya thaifah adalah bagian dari firqah. Jadi, firqah najiyyah lebih luas cakupannya daripada thaifah manshurah. Hal ini ditegaskan dengan bukti dari ayat Al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman, “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan (firqah) di antara mereka beberapa orang (thaifah) untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah [9]: 122).
Ayat ini membedakan antara firqah dan thaifah serta menjelaskan bahwa thaifah adalah bagian dari firqah.
Selanjutnya, terkait masalah ini, Syaikh Salman menggambarkan kaummuslimin terbagi menjadi tiga lingkaran.
Lingkaran pertama, yang paling luas adalah lingkaran Islam. Karena jaminan masuk surga adalah Islam. Karena yang bisa masuk surga hanya jiwa yangmuslim. Siapa saja yang muslim maka ia calon penghuni surga. Sebaliknya, siapa yang melakukan salah satu pembatal Islam yang karenanya ia keluar dari Islam maka ia haram masuk surga. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (Al-Ma’idah [5]: 72
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran [3]: 85)
Rasulullah saw bersabda, yang diriwayatkan dari Rabbnya, “Wahai Ibrahim! Sesungguhnya aku mengharamkan surge bagi orang-orang kafir.” (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang muslim.” (HR. Muslim)
Allah akan menyiksanya di neraka kalau ia melakukan dosa sesuai dengan kadar dosa-dosanya dan tergantung kehendak Allah kemudian baru dimasukkan ke surga, kecuali Allah memaafkan dan mengampuni dosa-dosanya maka ia tidak akan disiksa di neraka.
     Lingkaran kedua adalah lingkaran firqah najiyyah. Lingkaran ini lebih sempit daripada lingkaran pertama dan di dalamnya. Firqah najiyyah ini golongan yang selamat dari berbagai bid’ah dan penyimpangan. Golongan ini memiliki keutamaan dan keistiqamahan serta kemenangan di dunia dan akhirat yang tidak dimiliki oleh kaum muslimin secara umum, di mana mereka selamat dari bencana syubhat dan syahwat yang menimpa kaum muslimin secara umum.
     Syaikh Salman menyimpulkan, setidaknya ada tiga karakteristik firqah najiyyah berdasarkan hadits-hadits tentang iftiraqul ummah (perpecahan umat). Beliau menyebutkan ada lima belas hadits tentang iftiraqul ummah dalam kitabnya. Tiga karakteristik tersebut adalah:
Pertama: Memiliki ilmu dan pemahaman yang benar, yang terbangun berdasarkan wahyu, baik dalam bidang akidah maupun syariat, yang membuat mereka tunduk kepada nash wahyu dan tidak memilih pendapat lain di hadapannya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al-Ahzab [33]: 36)
Kedua: Adanya pengaruh wahyu dan iman yang mendalam terhadap perasan mereka.
Ketiga: Memformat praktik hidup—baik dalam tataran individu maupun jamaah—sesuai dengan tuntutan wahyu.
Ketiga karakteristik tersebut memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mereka, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat (dalam tataran jamaah).
     Mereka selalu menghindari perbedaan pendapat dan perpecahan, hati mereka lebih menyukai persatuan dan kerukunan. Karena, hidup mereka selalu berlandaskan nash dan mengembalikan segala persoalan mereka kepadanya.
     Mereka sangat antusias dan bersemangat untuk menjadi orang-orang yang dicintai Allah dan mendapat ampunan-Nya lantaran mengikuti Rasulullah saw dalam segala aspek kehidupan mereka sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran [3]: 31)
Lingkaran ketiga yang lebih sempit lagi dan terletak di dalam lingkaran kedua adalah lingkaran thaifah manshurah. Ia bagian dari firqah najiyyah. Ia berbeda dengan anggota firqah najiyyah yang lain karena mereka memikul beban dan konsekuensi jihad, tampil beramar makruf nahi mungkar, membangun kehidupan Islami di bawah cahaya Al-Qur’an dan As-Sunnah serta menghadapi orang-orang zalim, fasik, munafik, dan kafir.
     Berdasarkan hadits-hadits thaifah manshurah yang sampai pada derajat mutawatir, dapat disimpulkan bahwa karakteristik dasar thaifah manshurah ada lima:
1.     Komitmen kepada kebenaran, istiqamah di atas agama yang benar, dan berjalan di atas sunnah.
2.    Melaksanakan perintah Allah dengan menyebarkan sunnah, amar makruf nahi mungkar, dan jihad.
3.    Menjadi pembaru urusan agama yang sudah hilang dari tengah umat.
4.    Selalu eksis sampai hari kiamat, dengan segala makna zhahir yang mencakup arti tampak tidak tersembunyi, teguh di atas agama dan manhajnya, menang dengan hujjah dan burhan (bukti/dalil), dan mendapat pertolongan Allah dalam mengalahkan musuh, sekalipun terkadang juga menerima kekalahan.
5.     Sabar di atas kebenaran yang mereka pegang teguh. Tidak membahayakan mereka orang-orang yang membuat makar kepadanya, orang-orang yang menyelisihinya, dan orang-orang yang memusuhinya sampai datang keputusan Allah mereka tetap sabar di atas kebenaran tersebut.
      Syaikh Abdul Qadir menekankan urgensi karakteristik kedua sebagai ciri khas thaifah manshurah dengan menyebutkan secara spesifik siapa thaifah manshurah untuk masa sekarang ini. Beliau berkata, “Ilmu dan jihad; keduanya adalah sifat thaifah manshurah yang paling penting. … Kelompok yang berilmu dan berjihad dari umat inilah yang dimaksud thaifah manshurah.
      Beliau menambahkan, “Namun demikian, bisa jadi thaifah manshurah adalah firqah najiyyah secara keseluruhan, yaitu nanti pada akhir zaman ketika mukminin bergabung ke Syam, lalu di sanalah turun Nabi Isa untuk memerangi Dajjal, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Beginilah cara mendudukkan berbagai riwayat yang menyebutkan bahwa thaifah manshurah itu berada di Syam atau Baitul Maqdis (hadits Abu Umamah), yaitu terjadi pada akhir thaifah ini secara mutlak. Adapun pada masa-masa sebelum itu, thaifah ini bisa berada di Syam atau tempat lainnya. Wallahu Ta’ala a’lam.”
Adapun pada hari ini kita sangat membutuhkan kesungguhan para ulama dan mujahidin, yang berada di medan masing-masing. Agama ini tidak akan tegak hanya dengan ilmu saja, tidak pula dengan jihad saja, namun harus dengan keduanya secara bersamaan.
Ibnu Taimiyyah berkata, ”Agama ini tidak akan tegak kecuali dengan Al-Kitab, mizan (neraca), dan besi (senjata); Al-Kitab sebagai petunjuk dan besi sebagai pembela, sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan, dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia.” (Al-Hadid [57]: 25).
Syaikh Abdul Qadir berkata, ”Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa thaifah manshurah adalah thaifah mujahidah (kelompok yang berjihad) yang mengikuti manhaj syar’i yang lurus yaitu manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
     Kesimpulan dari nukilan-nukilan di atas, tidak ada pertentangan antara pendapat Syaikh Salman dan Syaikh Abdul Qadir. Keduanya memiliki pendapat yang sama ketika menentukan siapa sebenarnya thaifah manshurah itu. Hanya saja, Syaikh Salman menyebutkan thaifah manshurah itu dalam bentuk poin-poin yang menjadi karakteristik dari thaifah manshurah, sedangkan Syaikh Abdul Qadir tidak menyebutkan karakteristik-karakteristik yang disebutkan Syaikh Salman dalam bentuk poin-poin secara berurutan.

     Hal ini bisa kita pahami karena Syaikh Salman membahas masalah tersebut dalam bentuk kitab khusus yang memang dibutuhkan sistematika yang baku dan urut, sedangkan Syaikh Abdul Qadir membahasnya dalam sebuah kitab yang secara khusus mengupas masalah fikih jihad kontemporer, yang memang fokus pembahasannya masalah jihad. Wallahu a’lam

Minggu, 07 Desember 2014

POTENSI MANUSIA

KEBUTUHAN NALURI (Al-Gharizah)&
KEBUTUHAN JASMANI (Hajatul Adlawiyah

     Allah SWT telah menciptakan manusia dan menjadikanya sebagai sebaik-baik makhluk dengan memberikan  kepadanya akal untuk membedakan baik dan buruk dimana Allah SWT telah mengutus rasul-Nya dalam rangka menjelaskan kepada manusia mana yang baik dan mana yang buruk terhadap seluruh aktivitasnya.
Allah SWT juga telah menciptakan potensi kehidupan (thaqatul hayawiyah) pada diri manusia, yang berupa :
1.KEBUTUHAN NALURI (Al-Gharizah). Yang terdiri dari :
a. Naluri beragama (Gharizatut Taddayun)
b. Naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa)
c. Naluri melangsungkan keturunan (Gharizatun Nau’)
2. KEBUTUHAN JASMANI (Hajatul Adlawiyah),yang penampakanya berupa rasa lapar, rasa haus, menghirup udara dan lain-lain.
     Perbedaan dalam segi pemenuhan kebutuhannya, dari kedua potensi kehidupan manusia diatas ialah: kalau kebutuhan jasmani (Hajatul Adlawiyah) tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan kematian. Namun tidak demikian dengan kebutuhan Naluri (Al-Gharizah) jika tidak dipenuhi tidak sampai mengakibatkan kematian akan tetapi hanya menimbulkan perasaan gelisah saja pada diri manusia.
     Naluri beragama (Gharizatut Tadayyun). Penampakannya mendorong manusia untuk mensucikan sesuatu yang mereka anggap sebagai wujud dari Sang Pencipta, maka dari itu dalam diri manusia ada kecenderungan untuk beribadah kepada Allah, perasaan kurang, lemah dan membutuhkan kepada yang lainya. Hanya saja diantara manusia banyak yang keliru dalam rangka memenuhi kebutuhan naluri yang satu ini. Contohnya diantara manusia ada yang menyembah berhala, mensucikan pohon keramat, dijawa ada khurafat “Dewi Sri, Nyi roro kidul”, menyembah sesama manusia dan lain-lain. Ada kisah orang atheis pun yang katanya tidak mengakui adanya tuhan, toh mereka juga mensucikan orang-orang tertentu semacam lenin dan stelin. Semua itu sebenarnya penampakan dari naluri yang memang diberikan oleh Allah SWT sebagai sang penciptanya. Adanya kebutuhan ini dalam AL-quran telah di isyaratkan. Allah SWT berfirman:
Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan ni’mat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah ia berdo’a (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah : “Bersenang-senanglahlah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka”. (QS Az Zumar 8)
     Naluri mempertahankan diri (Gharizatul Baqa). Penampakanya mendorong manusia untuk melaksanakan berbagai aktivitas dalam rangka melestarikan kelangsungan hidup. Berdasarkan hal ini maka pada diri manusia ada rasa takut, keinginan menguasai, cinta pada bangsa dan lain-lain. Adanya naluri ini telah diisyaratkan dalam Al-Quran. Allah SWT ber firman :
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebagai bagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan kami sendiri, lalu mereka menguasainya ?” (QS Yaasin : 71)
     Naluri melangsungkan keturunan (Gharizatun nau”). Penampakanya akan mendorong manusia melangsungkan jenis manusia. Sebagai penampakan dari naluri ini, manusia memiliki kecenderungan seksual, rasa kebapakkan, rasa keibuan, cinta pada anak2, cinta pada orang tua, cinta pada orang lain dan lain-lain. Adanya naluri ini telah banyak diisyaratkan dalam Al-Quran. Contohnya rasa suka terhadap lawan jenis, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan yusuf, dan yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.” (QS Yusuf : 24)
Tak aneh jika ada beberapa agama yang melarang pengikutnya untuk memenuhi kebutuhan naluri satu ini sehingga banyak pelanggaran2 seksual yang terkuak di berbagai tempat2 yang dianggapnya suci (baca saja : gereja).
KETERIKATAN PADA HUKUM SYARA’
     Setiap muslim yang hendak melakukan perbuatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan naluri diwajibkan secara syar’i mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut, sehingga ia dapat berbuat sesuai dengan hukum syara’.Allah SWT telah mengutus rasul-Nya dalam rangka menjelaskan kepada manusia mana yang baik dan mana yang buruk terhadap seluruh aktivitasnya.
(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul itu.” (QS An Nisa’ 165)
     Allah SWT tidak membiarkan pemenuhan terhadap seluruh kebutuhan tersebut diserahkan kepada keinginan hawa nafsu dan akal manusia semata. Sebab, hawa nafsu itu umumnya mengajak kepada keburukan (ammaratum bissu) kecuali yang dirahmati Allah. Demikian pula, akal manusia sangatlah lemah. Manusia seringkali menyangka sesuatu baik padahal sebenarnya buruk, demikian sebaliknya. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu; dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 216.
     Dan setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Begitulah Islam satu-satunya agama yang haq sebagai solusi bagi diri manusia yang bisa memuaskan akal, sesuai fitrah manusia dan menentramkan jiwa.     Wallahu a’lam.


HUKUM MEMILIH PEMIMPIN

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...