Minggu, 22 Februari 2015

HUKUM JABAT TANGAN

BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
  SELAIN MAHRAM


Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali menimbulkan polemik dan pro-kontra diantara para Ulama yang memiliki pendapat yang berbeda dalam sebuah masalah. Termasuk diantaranya berkaitan dengan hukum berjabat tangan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahram, antara kelompok yang membolehkan dengan kelompok yang mengharamkannya. Awalnya diskusi seputar masalah ini berlangsung wajar, namun pada perkembangannya perbedaan pendapat ini menimbulkan berbagai ketegangan antar pihak yang berbeda pendapat. Bahkan ada kecenderungan untuk memberi citra negatif bagi kelompok yang membolehkan jabat tangan dengan wanita bukan muhrim, walaupun mereka mempunyai argumentasi syar’I yang kuat. Sehingga hal ini mendorong kami untuk melakukan kajian yang lebih mendalam berkaitan dengan masalah jabat tangan ini. Berikut kajian singkat berkaitan dengan masalah tersebut :

I – Pembahasan Pertama
Golongan yang membolehkan berjabat tangan antara pria dengan wanita dan begitupula sebaliknya, berargumentasi dengan hadis Ummu Athiyah tentang ba’iat dan juga pemahaman yang berasal dari mafhum mukholafah yang ditunjukkan oleh ucapan Ummu Athiyah ra.1 :
Artinya : “Kami memba’iat Rasul SAW. Lalu beliau SAW membacakan kepada kami firman Allah SWT ( dan janganlah kalian menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun ). Dan beliau melarang kami dari An-Nihayah (yaitu menangisi mayat dengan meratap –pent). Kemudian salah seorang wanita diantara kami menarik tangannya . Kemudian ia mengatakan bahwa saya telah dibahagiakan oleh seorang wanita maka saya hendak membalasnya. Ternyata Rasul SAW tidak mengatakan kepadanya sesuatu, lalu wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu Rasul SAW memba’iatnya” dan juga mafhum isyarah dari ayat: “atau kamu menyentuh para wanita”. Maka “menarik tangan” disini berarti kaum wanita yang lain (selain wanita yang menarik tangannya) tidak melepaskan tangannya, tetapi tetap menjabat tangan Rasul SAW. Atau ada sebagian ulama lain yang menafsirkan lafadz “Qobadhot’’ pada redaksi hadis diatas dengan memegang tangannya seperti pada firman Allah SWT :
قال بصرت بما لم يبصروا به فقبضت  قبضة من أثر الرسول فنبذتها وكذلك سولت لي نفسي
Artinya : “ Samiri menjawab ? Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparnya, dan demikianlah nafsuku membujukku” [1][1] , menurut Imam Ibn Jarir Ath-Thobari “Al-Qobadhat” (القبضة) adalah aku memegang dengan tanganku seluruhnya tanah yang merupakan jejak kuda rasul (فأخذت بكفي كلها ترابا من تراب أثر فرس الرسول), menurut orang arab adalah mengambil dengan tangan seluruhnya (العرب الأخذ بالكف كلها) , dan Al-Qobashoh (القبصة) adalah mengambil dengan ujung-ujung jari-jemari (أخذ بأطراف الأصابع) [2][2].
Dimana menyentuh wanita tanpa syahwat tidaklah haram seperti menyentuh yang dimaafkan pada saat sedang thawaf, karena tangan mereka (para wanita) bukanlah termasuk aurat. Dimana mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan, serta ada yang berpendapat yaitu celak dan cincin (analogi dari wajah dan telapak tangan –pent). Dan ini merupakan pendapat sebagian besar ulama salaf seperti : Ibn Abbas, Sa’id Ibn Jabir, Atho’, Adh-Dhohak, Qotodah dll [3][3]. Sehingga semua ini merupakan dalil yang jelas tentang kebolehan berjabat tangan.
Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hadis Ummu Athiyah ditolak oleh Ibn Hazm. Kami katakan bahwa apa yang ditolak oleh Ibn Hazm, tetapi telah dishohihkan oleh Imam Bukhori tidak menjadi dasar untuk menolak hadis tersebut. Adakalanya sebuah hadis ditolak oleh sebagian ahli Hadis tetapi diterima oleh sebagian ahli hadis lainnya, sebagaimana hadis tentang Istikhorah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan dianggap cacat oleh Imam Ahmad Bin Hambal . Maka pencacatan Imam Ahmad bin Hambal tidak menghalangi kita untuk menerima riwayat Imam Bukhori ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis Ummu Athiyah bertentangan dengan hadis Umaimah binti Ruqaiqah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim : “Rasul tidak pernah berjabat tangan dengan wanita dari kami” . Dan penolakan\keengganan Rasul SAW untuk berjabat tangan dengan para wanita, sebagaimana ucapan Rasul kepada para wanita :
إني لا أصافح النساء لمئة امرأة كقولي لامرأة واحدة
Artinya : ”Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan dengan para wanita. Sesungguhnya ucapanku atas seratus wanita sama dengan untuk seorang wanita” [4][4].

Adapun riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.  Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Aisyah  bahwa Rasulullah SAW menguji  wanita-wanita  mukminah  yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah : " Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan  yang beriman  untuk  mengadakan  janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina,tidak akan membunuh anak-anaknya,tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dengan kaki merekadan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka  terimalah  janji setia  mereka  dan  mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [5][5]. Maka Aisyah ra. berkata,  "Maka  barangsiapa  diantara wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja -  dan  demi  Allah  tangan  beliau  sama  sekali  tidakmenyentuh  tangan  wanita  dalam  bai'at itu; beliau tidak membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang hal itu [6][6]. Riwayat inilah yang dijadikan sandaran orang yang melarang berjabat tangan. Untuk itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari riwayat Aisyah r.a  ini :
Pertama riwayat ini memberikan gambaran sebatas pengetahuan Aisyah dalam hal ini, pengetahuan ini ada kekurangannya karena Aisyah tidak menyaksikan sendiri peristiwa bai’at Ummu Athiyah dan Hindun isteri Abu Sofyan ketika terjadi jabat tangan. Yang membuktikan adalah hadis itu sendiri dan juga hadis lainnya semisal hadis Umaimah binti Ruqoiqoh ra. ketika Rasul SAW berkata (sungguh aku tidak menjabat tangan wanita). Dengan demikian sesungguhnya perbuatan jabat tangan nabi dengan wanita tidak banyak sehingga Aisyah sendiri tidak mengetahuinya, sebagai analogi nabi juga pernah mengatakan tidak menerima hadiah dari orang Musyrik, akan tetapi nabi pernah menerima hadiah dari mereka sebanyak dua kali.
Kedua Hadis Aisyah tidak mengandung larangan berjabat tangan melainkan hanya menghindarkan saja, ada perbedaan antara larangan dan menjauhkan diri darinya.
Ketiga Hadis Aisyah terbatas pada bai’at dengan perkataan saja sedangkan hadis Ummu Athiyah menjelaskan hal selain perkataan yaitu uluran tangan. Oleh karena itu sebagian dari mereka berkata : “Para wanita itu mengulurkan tangannya ke udara”. Yang lain berkata jabat tangannya dilakukan dengan lapisan penghalang, atau dengan mencelupkan tangan beliau ke dalam bejana yang berisi air atau dengan memegang ujung tongkat. Itu semua menyalahi pengertian dengan perkataan saja, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah.
Keempat Para Ulama juga pernah meninggalkan pernyataan Aisyah dan mereka mengambil perkataan Umar dan Ibn Umar tentang mayat yang diadzab karena tangisan keluarganya, dan mayat yang mendengar suara-suara orang yang hidup. Dalam musnad Ahmad bahwa Rasullulah SAW melewati sebuah kuburan , lalu beliau berkata: Mayat ini sedang disiksa sebab tangis keluarganya kepadanya. Maka Aisyah berkata : Semoga Allah mengampuni Abu Abdurrahman. Ia salah paham . Padahal Allah SWT berfiman , “La taziru Wazirutun Wizra Ukhra”. Aisyah ra. membantah pernyataan kedua sahabat tersebut dan menyatakan bahwa keduanya menakut-nakuti atau tidak tahu persis perkataan Nabi SAW. Hujjah dari orang yang membantah pernyataan Aisyah karena hal tersebut digambarkan sebatas pengetahuan Aisyah saja. Dan dalam hadis jabat tangan juga dengan jelas mengatakan bahwa hal itu sebatas pengetahuan Aisyah tanpa mendengar dan menyaksikan secara langsung peristiwa bai’at Ummu Athiyah dan para wanita dengan rasul SAW.
Sehingga, pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara hadis Aisyah dengan hadis Ummu Athiyah. Apa yang disampaikan oleh Aisyah adalah berdasar pengetahuannya (dimana Aisyah tidak melihat secara langsung peristiwa ba’iat para wanita, sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Athiyah). Oleh karena itu Aisyah tidak mengatakan : Ra-aitu (aku melihat), Syahadtu (aku menyaksikan), Akhbarani Rasulullah SAW (Rasul SAW memberitahu aku), atau Haddatsani fulanah min Baya’na Rasulullah SAW (Telah bercerita kepadaku Fulanah diantara mereka yang memba’iat Rasul SAW). Sedang Aisyah sendiri pada waktu itu tidak ikut memba’iat Rasul SAW, sehingga tidak dapat mengambarkan sifat ba’iat yang memang dia tidak ikut membai’atnya, kecuali jika dia diberitahu. Dan sifat bai’at yang ia riwayatkan itu benar, akan tetapi peristiwa yang ia sampaikan sebatas yang dia ketahui, dimana dia tidak mengetahui realitas bai’at yang lain, dimana didalamnya berlangsung peristiwa jabat tangan kaum perempuan dalam bai’atnya. Sedangkan hadis riwayat Imam Bukhori dari Ummu Athiyyah Al-Anshori ra. yang mengatakan :
 فقبضت امرأة يدها ....
Artinya : ‘’Seorang perempuan menarik tangannya’’ .
Hadis shohih ini menunjukkan bahwa seorang perempuan menarik tangannya dari Rasul SAW tatkala beliau mengulurkan tangannya untuk memberi bai’at, ketika itu beliau melarang mereka dari meratapi mayat. Perempuan itu sadar betul akan akibat bai’at, sehingga dia tidak ingin terikat dengan akad bai’at, kecuali dengan melepaskan dari ikatan sebelumnya, yang menurutnya ikatan itu harus ditepati, sedang akad bai’at mengharamkan hal itu, untuk itu ia menarik tangannya sebelum berbai’at, dan pergi membalas orang yang telah membuatnya bahagia, kemudian ia kembali untuk membai’at Rasul SAW. Hal ini memberi pengertian yang sangat jelas bahwa perempuan-perempuan selain dia (yaitu wanita yang menarik tangannya) tetap melakukan bai’at dengan berjabat tangan. Dan jelaslah apa yang disebutkan diatas, bahwa mafhum kalimat :
 فقبضت امرأة يدها ....
Artinya : ‘’Seorang perempuan menarik tangannya’’ , memberi isyarat bahwa perempuan yang lain tidak menarik tangannya (tetap menjabat tangan Rasul SAW –pent). Hadis ini merupakan nash tentang terjadinya jabat tangan dalam bai’at kaum perempuan baik dilihat dari mafhum maupun manthuqnya. Oleh karena itu bai’at kaum perempuan dengan berjabat tangan itu hukumnya mubah secara syar’I, sehingga hal itu tidak mengapa dilakukan. Dan hadis ini merupakan hadis paling shohih dalam masalah ini [7][7].

Lagipula Aisyah tidak setiap saat mendampingi Rasul SAW. Kemudian ada hadis riwayat Imam Bukhori dari Ummu Athiyah (dimana ia termasuk salah satu dari wanita yang memba’iat Rasul SAW, waktu itu ia menyaksikan dan terlibat secara langsung). Dari sini dapat disimpulkan bahwa menjabat tangan wanita ketika bai’at adalah mubah. Suatu kali beliau menjabat tangan wanita ketika ba’iat dan pada kesempatan yang lain beliau tidak melakukan. Menurut Imam Ghozali dan Ibn Qudamah bahwa sesuatu yang mubah adalah apa-apa yang diizinkan oleh Asy-Syari’ dalam melakukan dan meninggalkannya tanpa ada indikasi celaan (Dzam) atau pujian (Madh) atas yang melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut [8][8] . Status mubah adalah hukum syara’ , sehingga untuk menetapkan sesuatu yang mubah harus berdasarkan Khittob Asy-Syari’ atau ditetapkan dengan dalil-dalil syara, dari Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma Shohabat dan Qiyas dengan Illat yang Syar’I [9][9] . Oleh karena itu hukum yang mubah adalah memberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan dan sesuatu yang mubah tidak selalu harus dilakukan atau dilaksanakan [10][10].
Kelima Bahkan hadis Ummu Athiyah dapat lebih diunggulkan dari hadis Aisyah, karena Ummu Athiyah sebagai perawi hadis ini adalah pelaku dan terlibat langsung dalam peristiwa tersebut, dimana ia lebih mengetahui keadaan sebenarnya dari yang tidak ikut menyaksikan, ia juga lebih peduli dan lebih menjaga apa yang ia riwayatkan. Dan karena itulah, maka wajar kalau hati lebih condong untuk menerima apa yang ia riwayatkan [11][11] . Sebagian besar Ulama mengunggulkan hadis yang perawinya adalah pelaku dari peristiwa yang ia ceritakan  daripada hadis yang perawinya bukan pelaku atau tidak terlibat secara langsung padanya [12][12]. Misalnya para Ulama diantaranya Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan Imam Ishaq [13][13] lebih mengunggulkan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. berikut ini :
Artinya : “ Apabila dua khitan (kelamin) bertemu, maka sungguh wajib mandi. Aku dan Rasul SAW pernah melakukannya kemudian kami mandi’’ [14][14] , daripada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id Al-Khudri ra. :
 إنما الماء من الماء 
“Artinya : “ (Kewajiban) mandi itu karena (keluarnya) air (sperma dan ovum)” [15][15] . Karena  Aisyah sendiri terlibat dalam peristiwa itu, maka hadis yang diriwayatkannya lebih unggul daripada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id Al-Khudri. Karena Aisyah dipandang lebih mengetahui hal tersebut dibanding Abi Said Al-Khudri. Ada juga hadis lain yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. mengenai masalah ini sebagai ini :
فعلت ذلك ثم انا ورسول الله  صلى الله عليه وسلم  فاغتسلنا
Artinya : “Aku melakukannya bersama rasul SAW dan kami pun mandi (Janabah).[16][16] .


II – Pembahasan Kedua
Sebagian ulama  pada masa ini  ada  yang  mengharamkan  berjabat tangan dengan wanita dengan mengambil dalil dari riwayat Ma'qil bin Yasar  ra. dari  Nabi  saw.,beliau bersabda : 
عن معقل بن يسار قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يطعن في رأس أحدكم بمخبط من حديد خير له من أن   يمس امرأة  لا تحل له
Artinya : "Sesungguhnya  ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi  itu  lebih  baik  daripada  ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” [17][17]. Kemudian Imam Al-Mundziri berkata dalam At-Targhib : "Perawi-perawi Thabrani adalah orang-orang tepercaya, mereka adalah perawi-perawi yang shahih". Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di atas sebagai dalil, diantaranya   adalah : 
1. Fuqaha Hanafiyah dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya, seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka  hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum makruh, seperti pada hadits-hadits ahad yang shahih [18][18] .
2. Seandainya kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk mengharamkan suatu masalah, maka kita akan mendapati petunjuknya tidak jelas (dalalahnya Dzon). Dimana kalimat "menyentuh kulit wanita  yang tidak halal baginya", itu tidaklah dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat, sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa - yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
A\- Bahwa ia merupakan kinayah (kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas dalam menafsirkan firman Allah:
 أو لا مستم النساء
Artinya : “ Kamu  menyentuh wanita “. Ibnu Abbas berkata, "Lafal al-lams,al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai kiasan untuk jima' (hubungan seksual) [19][19] .
Secara umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan oleh Maryam : "Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun ..." [20][20] . "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh   mereka..." [21][21] . Dalam hadits diceritakan bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya .... .

B\- Bahwa ia merupakan tindakan-tindakan dibawah kategori jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Pengertian ini diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah. Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak 'ala ash-Shahihaini’ sebagai berikut : Imam Bukhari dan Muslim telah sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua kitab yang sahih, yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan)  dibawah jima' :
(1)  Diantaranya hadits Abu Hurairah:  "Tangan, zinanya ialah menyentuh..."    
(2)  Hadits Ibnu Abbas: "Barangkali engkau menyentuhnya... ?"    
(3)  Hadits lbnu Mas'ud: "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang  (pagi dan petang)...". Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat Asy-Syaikhani dan lainnya dan hadits Ibnu Mas’ud, dan dalam sebagian riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang  kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu Allah menurunkan ayat (yang  artinya), "Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." [22][22] .
(4)   Al-Hakim berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada   mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir dan lainnya ...". Kemudian Al-Hakim menyebutkan diantaranya:  
A\- Dari Aisyah ra. , ia berkata: "Sedikit sekali hari (berlalu) kecuali Rasulullah SAW. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya - lalu  beliau mencium dan menyentuh (yang derajatnya dibawah  jima'). Maka apabila beliau tiba di rumah istri yang  waktu giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."     
B\- Dari Abdullah bin Mas'ud ra., ia berkata, "Au laamastum an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan  mendekati jima', dan untuk ini wajib wudhu." 
C\- Dan dari Umar ra., ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu  termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah karenanya [23][23] . Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka Mazhab Maliki dan Mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti inilah mereka menafsirkan firman Allah, " au laamastum an-nisa' " (atau kamu menyentuh wanita). Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah" atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat. Diantara yang beliau katakan mengenai masalah ini seperti berikut :  Adapun mensyaratkan batalnya wudhu dengan semata-mata menyentuh (yaitu persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal ini bertentangan dengan ushul,  bertentangan  dengan  ijma' shahabat, bertentangan dengan atsar, serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu. Apabila  lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah (atau jika kamu menyentuh wanita... ).





Itu dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau  mencium dan sebagainya -seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan lainnya – maka sudah dimengerti  bahwa ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah yang dilakukan dengan syahwat,  seperti  firman  Allah sbb:
1-    Dalam ayat i'tikaf : "...Dan janganlah kamu me-mubasyarah mereka ketika  kamu  sedang i'tikaf dalam masjid..." [24][24]. Mubasyarah (memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak diharamkan,  berbeda dengan memeluk yang disertai syahwat. 
2-    Demikian pula firman Allah: " Jika kamu  menceraikan istri-istrimu  sebelum  kamu  menyentuh mereka ..."  [25][25]. 
3-    Atau  dalam ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka ..." [26][26]. Karena seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat, maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar  mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan menurut kesepakatan ulama. Barangsiapa menganggap bahwa lafal au laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang dari bahasa manusia  sebagaimana yang sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass  (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal artinya adalah "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki dan  perempuan, maka  tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath'u dengan kemaluan (yakni  bersetubuh),  bukan menginjak dengan kaki  [27][27] .

Di tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastumannisa'. Ibnu Abbas ra. dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah jima'. dan mereka berkata, "Allah  itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai dengan yang Ia kehendaki".  Beliau berkata : "Ini yang lebih tepat diantara kedua pendapat tersebut". Bangsa Arab dan Mawali juga berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'.
Sedangkan bangsa Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata : yang dimaksud ialah tindakan di bawah  jima' (pra-hubungan  biologis). Lalu mereka meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan bangsa Arab dan menyalahkan bangsa Mawali [28][28] . Kemudian Ibn Taimiyah menambahkan bahwa pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik merupakan dua pendapat yang masyhur dikalangan para salaf. Dan adapun yang mewajibkan wudhu’ bagi barangsiapa menyentuh wanita tanpa syahwat, adalah pendapat Syadz (Asing) yang tidak mempunyai asal dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) , As-Sunnah dan Atsar dari seorangpun dari Salaf Umat. Dan tidak sesuai dengan pokok syari’at. Lalu beliau juga menegaskan lagi bahwa "au laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita) maksudnya adalah Jima’ saja sebagaimana ucapan Umar dan lainnya [29][29] . Pendapat dari Ibn Taimiyah ini sejalan dengan pendapat sebagian besar Ulama Salaf sebagai berikut :
A)- Ibn Abi Hatim dari Abi Ishaq dari Sa’id Ibn Jabir dari Ibn Abbas ra. tentang firman Allah SWT (Atau menyentuh wanita), ia mengatakan adalah Jima’.
B)- Dan diriwayatkan dari  Ali, Abi Ibn Ka’ab, Mujahid , Thowus, Al-Hasan, Ubaib, Umair, Sa’id Ibn Jabir, Asy-Sya’bi, Qotodah dan Muqotil Ibn Hayyan seperti itu (bahwa Al-Mulamasah adalah Jima’-pent).
C)- Berkata Ibn Jarir berkata : Dan yang terpilih dari 2 pendapat dalam hal itu (tafsir dari lafadz Al-Lamasa) adalah mereka yang mengatakan kepadaku bahwa maksud dari (Atau menyentuh wanita) adalah Jima’, bukan makna yang lain dari Al-Lamasa berdasarkan shohih khobar dari Rasul SAW bahwa beliau mencium sebagian istrinya kemudian sholat dan beliau tidak berwudhu’ [30][30] .
D)- Dan Ibn Abi Syaibah mengeluarkan dari Al-Hasan, ia berkata bahwa Al-Mulamasah  adalah Jima’ [31][31] .
E)- Berkata Sufyan Ats-tsauri dan Abu hanifah dan Al-Auza’I dan mayoritas Ulama Iraq dan sekelompok ulama Hijaz bahwa Al-Mulamasah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam kitabnya tentang firman-Nya (Atau menyentuh wanita) atas apa yang dibaca dalam hal ini seluruhnya adalah Al-Jima’ itu sendiri yang mewajibkan mandi [32][32] .
F) - Mengeluarkan darinya At-Thosati, bahwa ia pernah bertanya pada Nafi’ Ibn Azraq tentang Al-Mulamasah, lalu ia (Nafi’ –pent) menafsirkannya dengan Al-Jima’ [33][33] .
G)- Imam Malik mengatakan bahwa Al-Mulamasah adalah Jima’ [34][34] .
H)- Ibn Qudamah dalam Al- Mughni menyatakan bahwa maksud dari firman Allah SWT au  laamastumunnisa'adalah Jima’, dalilnya adalah pengertian dari Al-Mass adalah Jima’ sebagaimana pada ayat Thalaq [35][35] .

Sedang dalil lain yang juga mendukung pendapat-pendapat ini antara lain :
 - 1قالت عائشة رضي الله عنها إن كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليصلي وإني لمعترضة بين يديه اعتراض الجنازة  فإذا أراد أن يسجد غمزني فقبضت رجلي 
Artinya : Dari Aisyah ra., Sesungguhnya Nabi SAW pernah sholat, dan aku terlentang didepannya seperti terlentangnya jenazah. Maka ketika Beliau hendak sujud, beliau memegangku, kemudian menarik kakiku (untuk dipindahkan sehingga Beliau SAW dapat bersujud –pent) [36][36]. Beliau SAW memegang kaki Aisyah yang tidur dihadapannya tanpa mengulangi kembali wudhu’-nya. Hadis ini semakin menegaskan bahwa sebatas sentuhan saja tidak membatalkan wudhu sehingga makna yang paling tepat untuk ‘au laamastumannisa'’ adalah bukan selain jima’, tetapi jima’ itu sendiri.

2- عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ ثم يقبل ثم يصلي ولا يتوضأ
Artinya : dari Aisyah nabi SAW berwudhu’ kemudian mencium (Aisyah –pent) lalu ia sholat dan tidak berwudhu’ [37][37]. Menurut Al-Hafidz Ibn Katsier sebagian besar jalur periwayatannya bermasalah , bahkan banyak yang lemah [38][38]. Akan tetapi hadis kedua ini bukan sebagai dalil utama dalam bab ini, ia hanya sebagai dalil pendukung dan lagi pula hadis ini juga memiliki beberapa jalan periwayatan walaupun kebanyakan diantaranya lemah [39][39] .
Dan dua hadis ini digunakan oleh sebagian besar Ulama Salaf bahwa Al-Lamasa dalam arti menyentuh atau arti lain yang semakna adalah tidak membatalkan wudhu’. Mereka itu antara lain :
1)- Dari Abdil Karim Al-Jazani dari Atho’, ia berkata bahwa tidak ada wudhu’ dalam ciuman (Al-Qobalah) .
2) - Dari Sa’id Ibn Jabir dari Ibn Abbas ra. bahwa ia tidak memandang dalam ciuman , ada wudhu’ [40][40] .  
3)- Dari Muslim Ibn Hayyan dari Masruq , ia berkata tidak mengapa menciumnya atau mencium tangan (misal seorang suami pada Istrinya atau pada Ibunya dll –pent)
4)- Dari Jabir dari Ibi Ja’far, ia berkata tidak ada wudhu’ dalam ciuman [41][41] .
5)- Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan , mereka berkata barang siapa mencium atau memeluk atau menyentuh Istrinya dengan syahwat atau tidak, maka tidak ada wudhu’ baginya [42][42] .
Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa frasa kata Al-Lamassa adalah Lafadz Musytarak yaitu lafadz yang mempunyai beberapa makna atau pengertian dimana penunjukannya pada makna-maknanya adalah dengan jalan bergantian [43][43] . Atau sebuah lafadz yang mempunyai dua makna atau lebih yang berbeda-beda [44][44] .
Seperti pada lafadz “Quru” yang mempunyai arti haidh dan suci (Lihat Taisir Al-Ushul hal. 112 oleh Al-Hafidz Tsanaullah Az-Zaidi) atau pada lafadz Al-Ainu mempunyai arti mata , emas, mata air, mata-mata budak perempuan dll (Lihat Asy-syaksiyah Al-Islamiyah jilid 3\hal. 129 oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani). Sehingga untuk menetapkan makna dari lafadz Musytarak dan mengkhususkan pada salah satu makna yang tepat untuk frasa kata Al-Lamasa , butuh qorinah (indikasi syar’I –pent) untuk menetapkan makna yang dimaksudkan [45][45]  yaitu apakah Jima’ (hubungan biologis antara suami – Istri –pent) atau yang selain jima’ (seperti menyentuh, mencium dll –pent), maka dibutuhkan Qorinah Syar’iyah (Indikasi syar’I –pent). Dan dari penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa baik dari segi bahasa maupun berdasarkan penjelasan beberapa ayat dan hadis diatas telah menunjukkan bahwa makna yang paling tepat untuk frasa Al-Lamasa adalah Jima’. Oleh karena itu penafsiran yang benar terhadap hadis Rasul yang mengatakan : Sesungguhnya  ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada “ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya adalah “Sesungguhnya  ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih  baik daripada ia berjima’ dengan wanita yang tidak halal baginya (atau berzina –pent)“. Sehingga hadis ini dan hadis lain yang semakna tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk mengharamkan jabat tangan.

Maksud dikutipnya semua ini ialah agar kita mengetahui bahwa kata-kata  al-mass  atau  al-lams ketika digunakan  dalam konteks laki-laki dan perempuan tidaklah dimaksudkan  dengan semata-mata  bersentuhan  kulit  biasa, tetapi yang dimaksud ialah jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai syahwat dan kelezatan.  Kalau kita perhatikan riwayat sahih dari Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah adalah tidak terlarang, bahkan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu adalah tasyri' dan untuk diteladani : "Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW. itu suri teladan yang baik bagimu..." [46][46] .  Imam Bukhari  meriwayatkan dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a., ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak  wanita  diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW, lalu membawanya pergi ke mana ia suka. " Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas ra. juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah SAW, ternyata beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi kemana ia suka”. Ibnu Majah juga meriwayatkan hal demikian. 
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari : "Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam sikap tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan  disebutkannya budak  bukan  orang  merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal Al-Imaa' (budak-budak perempuan), yakni  budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia  suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu  memenuhi  keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya.

III – Pembahasan Ketiga
Tidak adanya perbuatan Rasul atas sesuatu maka hal itu tidak dianggap sebagai dalil syar’I, tetapi yang merupakan dalil Syar’I adalah perbuatan Rasul itu sendiri dan bukan dengan tidak adanya perbuatan Rasul SAW. Maka ucapan beliau yang mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita” , menunjukkan beliau menolak atau enggan untuk berjabat tangan dengan para wanita , tetapi hadis ini bukanlah dalil tentang ketidakbolehan atau keharaman berjabat tangan dengan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan sebuah perbuatan yang mubah seperti tindakan beliau yang juga sering meninggalkan hal-hal mubah seperti pada beberapa contoh kasus berikut :
A)   Dari Nafi’ Ibn Umar ra. tentang seruling Ar-Ro’iy, ia meletakkan kadua jarinya di kedua telinganya, karena Rasullullah enggan untuk mendengar suara seruling tersebut. Pada saat yang bersamaan Rasul SAW tidak melarang Ar-Ro’iy untuk meniupnya. Dalam kasus ini Rasul SAW enggan untuk dirinya sendiri bukan larangan atas sesuatu yang diharamkan.
B)   Dari Ibn Abbas ra. , ia meriwayatkan dari Kholid Ibn Walid ra., bahwa ia pernah masuk bersama Rasul SAW ke rumah Maimunah Ibn Al-Haris, maka ia Maimunah menyuguhkan kepada Rasul SAW daging biawak yang dibawa kerabatnya dari Najd. Kebiasaan Rasul SAW, beliau tidak mau makan sesuatu sebelum tahu apa yang ia makan. Para wanita telah bersepakat untuk tidak memberitahukan kepada beliau sampai menyaksikan beliau merasakannya, mengetahui sendiri bagaimana beliau merasakannya. Tatkala beliau bertanya daging apa ini ? dan beliaupun membiarkan dan memaafkannya. Lalu Kholid ra. bertanya kepada beliau :  Apakah ini Haram ? Rasul SAW menjawab : Tidak, tetapi ia (biawak –pent) bukan makanan yang ada pada kaumku, maka aku enggan memakannya. Kemudian Kholid berkata : Maka daging itu lalu dihadapkan kepadaku dan aku menyatapnya, sedangkan rasul SAW menyaksikan (melihat –pent).
Imam Muslim dalam kitab Shohihnya dari Umar Ibn Khattab ra., yang diriwayatkan dari Abi Zubair ra. berkata : “Aku pernah menanyakan kepada Jabir tentang Biawak” , lalu ia berkata : Janganlah kalian memakannya, Ia (Jabir ) mengangggapnya sebagai hewan yang menjijikkan. Lebih lanjut ia berkata : Umar pernah mengatakan sesungguhnya Nabi SAW tidak pernah mengharamkannya. Sesungguhnya Allah menganggapnya (biawak) bermanfaat untuk dimakan bukan untuk satu orang. Sesungguhnya ia makanan umum para penggembala. Kalaupun ada padaku, niscaya akupun akan memakannya.
Kemudian Imam Syaukani memberi komentar tentang hadis Nafi’ dari Ibn Umar tentang seruling, sebagai berikut : “Adapun Rasul SAW menutup telinganya dari mendengar seruling adalah untuk menjauhinya. Seperti yang beliau sering lakukan dengan meninggalkan banyak perbuatan yang mubah, seperti juga ketika beliau menolak hadiah seseorang untuk disimpan di rumahnya baik berupa uang dinar maupun dirham”.
Sehingga penolakannya untuk tidak menyimpan (menginapkan –pent) dirham dan dinar dirumahnya, dan beliau juga meninggalkan makan daging biawak, serta beliau juga enggan untuk mendengar suara seruling Ar-Ra’I, adalah untuk meninggalkan hal yang mubah karena pada saat yang bersamaan penolakan ini tidak disertai dengan adanya larangan bagi kaum muslimin untuk menyimpan harta dirumahnya atau larangan untuk memakan daging biawak. Dan beliaupun tidak melarang kaum muslimin untuk mendengar suara seruling. Demikian juga yang berlaku pada sabda beliau : “Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita” , dimana pada saat yang lain beliau tidak memerintahkan para sahabat dan para wanita untuk meninggalkan jabat tangan sama sekali, hal ini menunjukkan kebolehan jabat tangan ,dimana kebolehan jabat tangan itu merupakan hak bagi para pria dan wanita tanpa kecuali .

IV- Pembahasan Keempat
Hal lain yang menunjukkan kebolehan jabat tangan adalah ketika para wanita mengulurkan tangan mereka untuk berbai’at sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Athiyah. Mereka (para wanita -pent) juga pernah meminta berjabat tangan dengan Rasul SAW sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Ahmad ketika para wanita berkata: “Apakah anda (Rasul –pent) tidak menjabat tangan kami ?”. Kemudian Rasul SAW menjawab : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita”. Telah dapat dipastikan juga bahwa Nabi SAW berjabat tangan dengan para wanita dari beragam riwayat yang menjelaskan cara jabat tangannya. Imam Ar-Razi menyebutkan [47][47] : ”Adalah Umar ra. yang telah menjabat tangan para wanita ketika berbai’at sebagai wakil Rasul SAW. Dan Imam Thabrani meriwayatkan bahwa Umar ra. telah menjabat tangan para wanita untuk Rasul SAW. Imam Qurthubi juga meriwayatkan [48][48]; diriwayatkan bahwa Nabi saw membai’at para wanita, antara tangannya dan tangan para wanita ada alas tangan\sapu tangan dan jabat tangan menjadi syarat bagi bai’at mereka . Dan dikatakan : ”ketika selesai membai’at para lelaki di Shofa, beliau duduk disertai  Umar yang duduk dibawahnya”. Maka jabat tangan dijadikan sebagai syarat atas bai’at para wanita dan Umar pun menjabat tangan mereka (yaitu para wanita –pent). Berkata Ummu Athiyah ra. : “Tatkala Rasul SAW datang ke kota Madinah, para wanita Anshor berkumpul disebuah rumah, kemudian beliau mengutus Umar bin Khotob kepada kami, kemudian Umar ra. berdiri didepan pintu lalu mengucapkan salam kepada kami dan kamipun (para wanita Anshor –pent) menjawab salamnya ”. Lalu Umar berkata: “Saya (adalah wakil –pent) Rasul SAW bagi kalian, dan janganlah kalian mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun” , kami menjawab: “baik” ; kemudian Umar mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kamipun mengulurkan tangan kami dari dalam rumah ; kemudian Umar berkata: “Wahai Allah saksikanlah“ [49][49] . Dan diriwayatkan pula dari Amru bin Syua’ib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Nabi SAW ketika membai’at para wanita meminta semangkuk air lalu mencelupkan tangannya kedalam mangkuk dan kemudian beliau juga meminta para wanita untuk juga mencelupkan tangan mereka kedalam mangkuk tersebut. Dan diriwayatkan juga oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Aisyah ra. bahwa Hindun binti Uqbah berkata: “Wahai Nabi Allah bai’atlah saya”; Nabi menjawab : “Aku tidak akan memba’iatmu sampai kau rubah tanganmu, karena kedua tangan itu adalah tangan yang buas\kotor (karena dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa tangan Hindun pernah digunakan untuk mengambil jantung Hamzah paman Rasul SAW –pent)“ [50][50] . Dalam riwayat yang lain Imam Tabrani meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Hindun menyelinap diantara kaum wanita menjauhkan diri dari Nabi SAW. Hindun membantah butir demi butir pernyataan ba’iat. Hal ini diketahui oleh Nabi SAW sehingga beliau mendo’akannya lalu Hindun memegang tangan Nabi meminta perlindungan kepada Nabi. Perhatikan pernyataan “lalu Hindun memegang tangan Nabi SAW” . Imam Ibn Abi Hatim menambahkan, dia berkata: “Lalu Rasul memandang tangan Hindun dan berkata : ”pergilah dan ubahlan tanganmu”. Hindun pun pergi dan menghiasi tangannya dengan inai\pacar lalu datang kembali untuk membai’at nabi SAW, kemudian beliau berkata: ”Aku memba’iatmu untuk tidak menpersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun”. Kemudian Nabi SAW membai’atnya dan di tangan Hindun terdapat gelang yang terbuat dari emas [51][51] .
Riwayat-riwayat ini menjelaskan bahwa Nabi SAW membai’at para wanita di bukit Shofa pada Bai’at Aqobah kedua, dimana beliau tidak menjabat tangan mereka, akan tetapi Umar bin Khotob-lah yang menjabat tangan mereka. Juga dijelaskan tatkala Nabi SAW sampai di kota Madinah, beliau membai’at para wanita dan mengangkat Umar ra. sebagai wakilnya untuk mengambil bai’at lalu Umar mengambil bai’at mereka (para wanita –pent) dari luar rumah tanpa melihat para wanita itu. Maka mereka dibai’at dan disalami oleh Umar, sedang mereka didalam rumah, dibalik Hijab dan Umar menjabat tangan mereka dari luar rumah. Sebagaimana dijelaskan juga oleh riwayat-riwayat sebelumnya bahwa Rasul SAW memba’iat wanita Muhajirun sesudah perjanjian Hudaibiyah dengan cara meletakkan alas diatas tangannya. Beliau juga memba’iat para wanita menggunakan cara yang lain yaitu dengan mencelupkan tangannya ke dalam mangkuk yang berisi air. Semua kejadian ini telah dijelaskan oleh riwayat yang shohih. Dan Al-Hafidz Ibn Hajar pun telah menyebutkannya dalam Kitab Fath Al-Bari Syarah Shohih Bukhori [52][52] tanpa melemahkan hadis ini atau menolaknya. Sehingga tidak perlu memperhatikan penilaian Ibn Arobi ketika mengomentari riwayat Imam Al-Qurtubi bahwa hadis tersebut Dhoif. Cukuplah dengan takhrij Al-Hafidz Ibn Hajar dan persaksiannya atas hadis ini, karena para Ahli Hadis tentu lebih faham dan mengetahui keadaan para perawi hadis serta status jarh dan ta’dil mereka.
Hadis-hadis tersebut diatas tidak menunjukkan adanya larangan berjabat tangan. Hadis-hadis ini juga menunjukkan realitas yang jelas bahwa ia bukan dalil yang menunjukkan tidak adanya jabat tangan, bahkan Umar ra. pernah mengambil bai’at dengan jalan berjabat tangan sebagai wakil dari Rasul saw. dimana ia melakukan itu atas perintah Rasul SAW kepadanya, yang menunjukkan kebolehan jabat tangan baik dari dari pihak pria kepada pihak wanita, atau sebaliknya dari pihak wanita kepada pihak pria.
Hadis diatas juga menunjukkan bahwa keengganan Rasul untuk berjabat tangan adalah untuk meninggalkan sesuatu yang bersifat mubah, karena Rasul sendiri juga sering meninggalkan banyak hal yang mubah. Sehingga asal dari hukum yang bersifat mubah diserahkan kepada pilihan kaum muslimin untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Karena statusnya yang bukan wajib atau fardhu, sehingga berjabat tangan hukumnya adalah mubah. Walaupun demikian bukan berarti kaum muslimin tidak boleh meninggalkan jabat tangan. Bahkan bagi setiap pria boleh atau tidak untuk berjabat tangan dengan kaum wanita dan sebaliknya bagi setiap wanita boleh atau tidak berjabat tangan dengan kaum pria. Maka berjabat tangan tanpa alas adalah hukumnya boleh bagi keduanya (baik pihak pria atau wanita –pent), begitu pula berjabat tangan dengan menggunakan alas pada saat pembai’atan Kholifah untuk menaatinya (selama tidak memerintahkan kepada kema’siyatan –pent) atau keadaan selain bai’at secara mutlak, dalam rangka meneladani perbuatan Rasul yang menjabat tangan para wanita dengan meletakkan kain\alas ditangannya, atau pada saat beliau mengambil bai’at dengan cara mencelupkan tangannya ke dalam air, atau mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil bai’at. Hal ini berarti boleh bagi seorang Kholifah untuk menjabat tangan para wanita pada saat bai’at dan boleh juga baginya untuk tidak berjabat tangan dengan mereka, kemudian mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil bai’at dari para wanita tersebut. Atau membai’at mereka dengan cara meletakkan sapu tangan atau kain untuk sarung tangan atau dapat dengan cara-cara yang lain.
Tidak dapat dikatakan bahwa hadis-hadis bai’at hanya berkaitan dengan masalah bai’at saja, dan tidak berkaitan dengan masalah jabat tangan. Karena apabila ada dalil yang melarang bai’at dengan jabat tangan maka dalil ini tidak melarang  jabat tangan, karena dalil tentang jabat tangan hanya khusus untuk bai’at. Dan apabila beliau membolehkan jabat tangan pada saat bai’at, maka jabat tangan pada kondisi seperti ini termasuk dalam kaidah Min Bab Al-Aula yang maksudnya kalau bai’at dengan jabat tangan boleh, apalagi jabat tangan selain dalam bai’at. Ini berdasarkan nash yang menunjukkan adanya hukum yaitu dilihat dari manthuq nash yang menunjukkan atas hukum tersebut dan juga mafhum dari nash yang menunjukkan kepada mafhum yang lain. Oleh karena itu tidak terdapat pertentangan diantara keduanya.
Adapun dalil khusus tentang masalah jabat tangan adalah firman Allah SWT: “Kamu menyentuh wanita”, dengan jalan isyarat. Kata al-lamasa didalam ayat tersebut berarti meraba dengan tangan, dan didalamnya termasuk jabat tangan berdasarkan mafhum ayat tersebut. Sesungguhnya Allah SWT tidak meminta kecuali wudhu’, yang menunjukkan kebolehan bersentuhan dan berjabat tangan.
Walaupun demikian jabat tangan  dengan  wanita  dapat berubah statusnya menjadi haram apabila disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu  lebih terlarang lagi -penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat (Gholaba Adz-Dzon). Ketetapan diambil berdasarkan pada kaidah bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan tersedia sarananya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai dengan syahwat atau  dikhawatirkan  terjadinya fitnah, khususnya dengan anak perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu  kandung, anak  kandung,  saudara  wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan sebagainya. 
Begitu pula terdapat keringanan berupa diperbolehkannya  berjabat  tangan  dengan wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal ini didasarkan  pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair ra. mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu. Hal ini juga sudah ditunjukkan Al-Qur'an ketika membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain : "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [53][53] . Dikecualikan pula laki-laki yang  tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari tujuan larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal  menampakkan perhiasannya ".


KHATIMAH :
Sebagai kata penutup, hendaknya semua pihak yang berbeda pendapat termasuk dalam masalah hukum jabat tangan ini tidak menjadikan perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’ (cabang), sebagai sumber konflik yang ujung-ujungnya akan merusak ikatan ukhuwah yang sedang kita rajut saat ini. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah SWT : “Dan ingatkan ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat persaudaraan, dan melembutkan hati kalian” [54][54] . Beliau menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman untuk perbedaan dalam masalah hukum-hukum cabang. Dengan cacatan pendapat-pendapat tersebut memiliki landasan dari sumber hukum Islam yang legal seperti Al-Qur’an, As-Sunnah , Ijma Shohabat dan Qiyas dengan Illat yang Syar’i. Kita bisa melihat bagaimana perilaku para salafus shaleh dalam menyikapi perbedaan yang terjadi diantara mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berikut : ‘’ Kaum Muslimin sepakat mengenai kebolehan sholat sebagian mereka dibelakang yang lainnya. Adalah para Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam yang empat , sholat sebagian dibelakang sebagian yang lainnya. Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca bismilah baik dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat dibelakang Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. Dan Imam Ahmad memandang keharusan orang yang berbekam untuk wudlu’, kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya: Bagaimana dengan seorang imam sholat yang darinya mengeluarkan darah (sedang berbekam) dan belum berwudlu’. Apakah kita boleh sholat dibelakang mereka ?.
Imam Ahmad menjawab: ”Apa yang menghalangimu untuk sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan Imam Malik ?” [55][55] . Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah harus disikapi dengan akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan kebencian dan permusuhan yang sangat dilarang dalam Islam [56][56] . Wallahu A’lam bi Showab .
































Maraji :

KITAB TAFSIR :
Kitab Tafsir Ibn Katsier\Dar Al-Fikr – Beirut\1401 H oleh Al-Hafidz Ismail Ibn Umar Ibn Katsier Ad-Dimsyaqi (Abu Fida’)
Tafsir Al-Qurthubi\Dar Asy-Syu’ub – Qohirah\1372 H\Cetakan kedua oleh Muhammad Ibn Ahmad Ibn Abi bakar Ibn Farah Al-Qurthubi (Abu Abdullah)
Tafsir Ath-Thobari\Dar Al-Fikr – Beirut\1405 H oleh Muhammad Ibn Jarir Ib Yazid Ibn Kholid Ath-Thobari (Abu Ja’far)
kitab Ahkam Al-Qur’an li Ibnu Al-Arabi jilid 4\ Maktabah Isa Al-Halabi - Mesir\1968 H\ Cetakan Kedua oleh Imam Ibnul Arabi
Tafsir Ad-Dar Al-Manshur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur oleh Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuti
Tafsir Al-Jalalain\Dar Al-Hadis  - Qohirah\Tanpa tahun\Cetakan Pertama oleh Muhamad Ibn  Ahmad, Abdurrahman Ibn Abi Bakr Al-Mahali, As-Suyuti


KITAB HADIS :
Shohih Bukhori\Dar Ibn Katsier Al-Yamamah -  Beirut\1987 M – 1407 H\Cetakan ketiga oleh Imam Muhammad Ibn Ismail  (Abu Abdullah Al-Bukhori Al-Ju’fi)
Kitab Shohih Muslim\Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Beirut\tanpa tahun oleh Imam Muslim Ibn Hajjaj (Abul Husain Al-Qusyairi Al-Naisaburi)
Shohih Ibn Hibban \Muasasah Ar-Risalah – beirut\ 1993 H – 1414 M\Cetakan kedua oleh Muhamad Ibn Hibban Ibn Ahmad (Abu Hatim  At-Tamimi Al-Busti)
Kitab Mustadrak Ala Ash-Shohihain\Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah - Beirut\1411 H – 1990 M\Cetakan pertama oleh Imam Muhammad Abdurrahman (Abu Abdullah Al-Hakim Al-Naisaburi)
Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra\Maktab Dar Al-Baz – Makah Al-Mukarromah\1994 M – 1414 H oleh Muhammad Ibn Husain Ibn Ali Musa (Abu Bakar Al-Baihaqi)
Kitab Mushonaf Abdurrozaq\Al-Maktab Al-Islami – Beirut\1403 H\Cetakan kedua oleh Al-Hafidz Abu Bakr Abdurrozaq Ibn Humam Ash-Shon’ani) .
Sunan Ad – Daruqutni\Dar Al-Ma’arif – beirut\1966 M – 1386 H oleh Ali Ibn Umar (Abu Al-Hasan Ad-Daruqutni Al-Baghdadi)
Sunan Abi Dawud\Dar Al-Fikr\Tanpa Tahun oleh Sulaiman Ibn Al-Asya’sy (Abu Dawud As - Sijistani Al-Azdi)
Sunan An-Nasa’i\Al-Maktab Al-Matbuat Al-Islamiyah Al-Halb\1986 M – 1406 H\Cetakan kedua oleh Ahmad Syua’ib (Abu Abdurrahman An-Nasa’i)
Sunan Ibn Majah\Dar AL-Fikr -  beirut\tanpa tahun oleh Muhammad Ibn Yazid (Abu Abdullah Al-Qozwaini)
Muwatho’ Imam Malik\Dar Ihta’ At-Turats Al-Arabi -  Mesir\tanpa tahun oleh Malik Ibn Anas (Abu Badullah Al-Ashba’i)
Musnad Imam Ahmad\Muasasah Qurthubah – Mesir oleh Ahmad Ibn Hambal (Abu Abdullah Asy-Syaibani)
Sunan At-Tirmidzi\Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi – Beirut\tanpa tahun oleh Muhammad Ibn Isa (Abu Isa At-Tirmidzi As-Salami)
Syarh Ma’ani Al-Atsar\dar Al-Kitab Al-Ilmiyah – Beirut\1499 H \Cetakan Pertama oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Sulaiman Ibn Abdul Malik Ibn Salamah (Abu Ja’far Ath-Thohawi)
Mu’jam Al-Ausath\Dar Al-Haramain – Al-Qohirah\1415 H oleh Abul Qosim Ibn Ahmad Ath-Thabrani
Mushonnaf Abi Syaibah \Maktab Ar-Rusyd – Riyadh\1409 H\Cetakan Pertama oleh Imam Abu Bakr Abdullah Ibn Muhammad Ibn Abi Syaibah Al-Kufi


KITAB SYARAH HADIS :
At-Tamhid li Ibn Abdil Bar\Wazirah Umum Al-Awqot wa Asy-Syu’un Al-Islamiyah Al-Maghrib\1387 H oleh Abu Umar Yusuf Ibn Abdullah Ibn Abdil Bar An-Namani
Fathul bari\Dar Al-Ma’arif -  Beirut\1379 H oleh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar (Abul Fadhal Al-Asqolani Asy-Syafi’i)
Fathu Al-Bari jilid 10\ Maktabah Musthafa Al-Halabi – Mesir\1959 M oleh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar (Abul Fadhal Al-Asqolani Asy-Syafi’i)
Kitab Tuhfatul Ahwadzi\Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah – Beirut\tanpa tahun oleh Imam Muhammad Abdurahman Ibn Abdurrahim Al-Mubarakfury (Abu Ala)


KITAB USHUL FIQH :
Al-Ihkam fi Al-Ushul Al-Ihkam li Al-Amidi\Dar Al-Kutub Al-Islamiyah – Beirut\1400 H oleh Imam Saifuddin Al-Amidi
Al-Mahshul fi llmi Ushul \Jami’ah Imam Muhammad Ibn Su’ud Al-Islamiyyah\1401 H oleh Fakhrudin Muhammad Ibn Umar ibn Husain Ar-Razi
Syarh Asnawi Nihayatu As-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al - Ushul Al-Baidhawi\Maktabah Muhammad Ali Shabaih –Kairo\tanpa tahun oleh Abi Muhamamd Abdurahman Ibn Hasan Al-Asnawi
Al-Ihkam fi Ussul Al-Ihkam\maktabah Al-Athif – Kairo\1398 H oleh Imam Abi Muhammad Ali Ibn Hazm Al-Andalusi
Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq\ Musthafa Al-Halabi – Kairo \ 1356 H oleh  Imam Asy-Syaukani
Kitab Taisir Al-Ushul \Dar Ibn Hazm – Beirut\ 1997 M – 1418 H\Cetakan Kedua  oleh Al-Hafidz Tsanaullah Az-Zaidi;
Mughni lil Khobazi\Jami’ah Am-Ats-Tsarwi – Makah Al-Mukaramah oleh Imam Al-Khobazi
Ushul As-Sarkhasi \Dar Al-Ma’rifah oleh Imam As-Sarkhasi
Tashil Al-Wushul ila Ilmi Al-Ushul \Musthafa Al-Babi – Al-Qohirah oleh Imam Muhammad Abdurrahman Ied Al-Mahalawi
Kasyful Asrar Syarh Ushul Al-Bazdawi\ Dar Al-Kitab Al-Arabi - Beirut oleh Imam Al-Bazdawi
Fathul Ghofar \Mushthafa Al-Babi – Al-Qohirah oleh Imam Ibn Najim
Taisir Wushul Ila Al-Ushul \Dar Al-Umah\2000 M –1421 H\Cetakan Ketiga  oleh Al-Ustadz Atha Ibn Kholil
Syaksiyah Al-Islamiyah jilid 2 dan 3\Hizbut Tahrir – Al-Quds\1953 M – 1372 H\Cetakan Kedua oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani 
Ilm Ushul Al-Fiqh\Markaz Al-Ghozali Al-Islami Qism Ad-Dirasat Al-Islamiyah Al-Ulya\Cetakan pertama\tanpa tahun  oleh DR. Abdurrahman An-Nashir Al-Baghdadi
Studies in Ushul Fiqh \Islamic Kultur Workshop – USA\Cetakan Kedua\tanpa tahun oleh Al-Ustadz Iyadh Hilal
Mukhtalif Al-Hadis baina Al-Fuqoha wa Al-Muhaddis\Dar Al-Wafa’\1993 M – 1414 H\Cetakan pertama oleh DR. Nafaz Husain Hamaw
Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam \Penerbit Al-Ma’arif – Bandung\1997 M\Cetakan Keempat oleh Prof. DR. Fatturahman dan Prof.DR. Mukhtar Yahya).

KITAB FIQH :
Majmu' Fatawa li Ibn Taimiyah\Maktabah Ar-Riyadh\tanpa tahun oleh Imam Ibnu Taimiyah
Al-Mughni li Ibn Qudamah\Maktabah Ar-Riyadh\tanpa tahun oleh Imam Ibnu Qudamah
Subul As-Salam \Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Beirut\1379 H\Cetakan Keempat oleh Imam Muhammad Ibn Ismail Ash-Shan’ani Al-Amir

KITAB KONTEMPORER  :
Kitab Adab Al-Ikhtilaf\Ma’had Al-Alami li Al-Fikr Al-Islami – Washinton – USA\1987 M – 1407 H\Cetakan Kedua oleh DR. Thoha Jabir Fayadh Al-Ulwan

                                                                                   
                                                                                      Malang, 13 Ramadhan 1423 H


                                                                                         Muhammad Lazuardi Al-Jawi








[1][1] Surat Thoha -- ayat 96
3 Lihat Tafsir Ibn Jarir Ath-Thobari jilid 16\hal 206-207, Dar Al-Fikr -- Beirut\1405 H ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 11\hal. 240
4 Lihat Tafsir Ath-Thobari jilid 18\hal.117-125; Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim li Ibn Katsier jilid 3\hal 283-286; Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Hafidz Al-Qurthubi jilid 12\hal. 226-230 , Tafsir Jalalain jilid 1\hal 462 pada “Surat An-Nur Ayat 31”
5 HR. Imam Malik jlid 11\hal 331\No. 1775\Bab ma Ja’a fi Al-Ba’iah, HR. Imam Ahmad jilid 6\No. 27051,27613,27635;Nasa’I jilid 7\hal. 149\No. 4181, Ibn Majah jilid 2\hal 959\No.2874\bab Ba’iah An-Nisaa’;Ibn Hibban jilid 10\hal. 417\No. 4553; HR. Imam Baihaqi jilid 8\hal. 148; HR. Ad-Daruqutni jilid  4\hal. 146\No. 14 

[5][5] Surat al-Mumtahanah – ayat 12
[6][6] HR Bukhari - Kitab Tafsir Surat al-Mumtahanah, Bab "Idzaa Jaa'aka al-Mu'minaatu Muhaajiraat"
[7][7] Lihat Kitab Asy-Syakhsiyah Al-Islamiyah jilid 2\hal. 23 oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani
[8][8] Lihat Al-Ihkam li Al-Amidi jilid hal. 94 oleh Imam Al-Amidi
[9][9] Lihat kitab Asy-Syaksiyah Al-Islamiyah jilid 3\Bab Al-Mubah\hal. 38 Oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani
[10][10] Lihat Taisir Wushul Ila Al-Ushul \Bab Al-Mubah\Hal. 19  Oleh Al-Ustadz Atha Ibn Kholil ; Syaksiyah Al-Islamiyah jilid 3\Bab Al-Mubah\hal. 38 Oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani ; Ilm Ushul Al-Fiqh\Bab Khithob At-Taklif\hal. 10 Oleh DR. Abdurrahman Al-Baghdadi, Studies in Ushul Fiqh hal. 13 Oleh Al-Ustadz Iyadh Hilal
[11][11] Lihat Mukhtalif Al-Hadis baina Al-Fuqoha wa Al-Muhaddis hal. 238 oleh DR. Nafaz Husain Hamaw
[12][12] Lihat Al-Mahshul jilid 2\hal. 556 ; Syarh Asnawi jilid 3\hal. 167 ; Al-Ihkam jilid 4\hal. 327; Irsyad Al-Fuhul hal. 227
[13][13] Lihat Sunan Tirmidzi jilid 1\hal 180\No.109\Bab Ma Ja’a Idza Iltaqo Al-Khitananni Wajab Al-Ghosl
[14][14] HR. Ibn Majah jilid 1\hal 199\No. 608;  HR. At-Tirmidzi Bab Ath-Thoharoh\No. 102; HR. Imam Ahmad Baqi Musnad AL-Anshor\No. 23.075, 23514,23673,23767, 23886,24120, 24714, 24832, HR. Imam Malik Bab Ath-Thoharoh\No. 92-94; HR. Ibn Hibban jilid 1\hal. 117\No.1183; Syarh Ma’ani Al-Atsar jilid 1\hal. 60
[15][15] HR. Imam Muslim jilid 1\hal. 269\No. 343; Sunan Ad-Darimi jilid 1\hal 212\No. 758 dari Abi Ayub Al-Anshori
[16][16] HR. Ibn. Hibban jilid 3\hal.451\No. 1175; HR. At-Tirmidzi jilid 1\hal 181\No. 108;HR. Ad-Daruqutni jilid 1\hal. 11\No. 1\bab fi Wujub Al-Ghosl bi Itiqo’ Al-Khitanain wa In Lam Yunzil ; Lihat juga Kitab Ta’rudh Al-Adillati Asy-Syar’iah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Bainaha terj.\hal. 213-214 Oleh DR. Muhammad Wafa’
[17][17] HR. At-Tabrani jilid 4\hal. 326\Bab An-Nahi an Al-Kholwat bi Ghoiri Mahram
[18][18] Lihat Kitab Taisir Al-Ushul hal. 155-162 oleh Al-Hafidz Tsanaullah Az-Zaidi; Mughni lil Khobazi hal. 83 oleh Imam Al-Khobazi; Ushul As-Sarkhasi jilid 1\hal. 110 oleh Imam As-Sarkhasi; Tashil Al-Wushul hal. 248 oleh Imam Muhammad Abdurrahman Ied Al-Mahalawi; Kasyful Asrar jilid 2\hal. 300-303 oleh Imam Al-Bazdawi; Fathul Ghofar jilid 2\hal. 63 oleh Imam Ibn Najim
[19][19] Lihat Tafsir Ibn Katsier jilid 1\hal. 503-504 ; Tafsir Ad-Dar Al-Manshur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur jilid 2\hal. 550-551 ; Fath Al-Bari Syarh Shohih Al-Bukhori jilid 8\hal. 282-283
[20][20] Surat Ali Imran -- ayat 47
[21][21] Surat Al-Baqarah -- ayat 237
[22][22] (Surat Al-Hud -- ayat 114) (HR. Muslim dengan lafadz ini dalam "Kitab at-Taubah," \No. 40).
[23][23] Lihat Kitab al-Mustadrak jilid 1\hal. 135)
[24][24] Surat Al-Baqarah -- ayat 187
[25][25] Surat Al-Baqarah -- ayat  237
[26][26] Surat Al-Baqarah -- ayat 236
[27][27] Lihat Kitab  Majmu' Fatawa oleh Imam Ibnu Taimiyah  jilid 21, hlm. 223-224\ terbitan ar-Riyadh
[28][28] Lihat Kitab Majmu' Fatawa, Ibnu Taimiyah jilid 21\hal. 223-224\ Maktab Ar-Riyadh
[29][29] Lihat Kitab Majmu Al-fatawa jilid 20\kitab Ushul Fiqh\hal. 368
[30][30] Tafsir Ibn Katsier jilid 1\hal. 503-504
[31][31] Tafsir Ad-Dar Al-Manshur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur jilid 2\hal. 550-551
[32][32] At-Tamhid li Ibn Abdil Barr jilid 12\hal. 172-173
[33][33] Subul As-Salam jilid 1\hal. 66-67
[34][34] Tafsir Al-Qurthubi jilid 5\hal. 223-227
[35][35] Al-Mughni jilid 1\hal. 123- 125
[36][36] HR. Bukhori-Muslim; Lihat juga Kitab Al-Mughni jilid 1\hal. 123-125 oleh Imam Ibn Qudamah
[37][37] HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dari Jama’ah dari Guru mereka dari Waki’
[38][38] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim li Ibn Katsier jilid 1\hal. 503-505\Dar Al-Fikr – Beirut\1401 H
[39][39] Lihat Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra jilid 1\hal 126\No. 606 ; Majmu’ Zawa’id jilid 1\hal. 247 ; Sunan Daruqutni jilid 1\hal. 143-145\No. 29-32
[40][40] Sunan Daruqutni jilid 1\hal. 143-145\No. 29-32
[41][41] Sunan Daruqutni jilid 1\hal. 143-145\No. 29-32
[42][42] At-Tamhid li Ibn Abdil Barr jilid 12\hal. 172-173\Wazirah Umum Al-Auqof wa Syuun Al-Islamiyah –- Al-Maghrib\1387 H
[43][43] Lihat Taisir Al-Ushul hal. 112 oleh Al-Hafidz Tsanaullah Az-Zaidi
[44][44] Lihat Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal. 254 oleh Prof. DR. Fatturahman dan Prof. DR. Mukhtar Yahya

[45][45] Lihat Asy-Syakhsiyah Al-Islamiyah jilid 3\hal. 130 oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani
[46][46] Surat Al-Ahzab -- ayat 21
[47][47] Lihat Tafsirnya Al-Kabir jilid 8\hal. 137
[48][48] Lihat Tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an jilid 18\hal. 71
[49][49] HR. Imam Ahmad Musnad Al-Bashoriyyin\No. 19.867, Musnad Al-Qoba’il\No. 26.046; lihat juga kitab Ahkam Al-Qur’an li Ibnu Al-Arabi jilid 4\hal. 1779 Maktabah Isa Al-Halabi --- Mesir\1968 H\ Cetakan Kedua
[50][50] HR. Abu Dawud No. 4165
[51][51] Lihat Kitab Tafsir Ibn Katsier jilid 5\hal. 255
[52][52] Lihat Fathu Al-Bari jilid 8\hal. 232; Kitab At-Tafsir
[53][53] Surat An-Nur -- ayat 60
[54][54] Surat Ali Imran - ayat 103
[55][55] Lihat Kitab Adab Al-Ikhtilaf oleh DR. Thoha Jabir Fayadh Al-Ulwani – Bab Khatimah
[56][56] Idem

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...