BOLEHKAH
BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
SELAIN MAHRAM
Diskusi dan kajian tentang
berbagai masalah fiqhiyah seringkali menimbulkan polemik dan pro-kontra
diantara para Ulama yang memiliki pendapat yang berbeda dalam sebuah masalah.
Termasuk diantaranya berkaitan dengan hukum berjabat tangan antara lelaki dan
perempuan yang bukan mahram, antara kelompok yang membolehkan dengan kelompok
yang mengharamkannya. Awalnya diskusi seputar masalah ini berlangsung wajar,
namun pada perkembangannya perbedaan pendapat ini menimbulkan berbagai
ketegangan antar pihak yang berbeda pendapat. Bahkan ada kecenderungan untuk
memberi citra negatif bagi kelompok yang membolehkan jabat tangan dengan wanita
bukan muhrim, walaupun mereka mempunyai argumentasi syar’I yang kuat. Sehingga
hal ini mendorong kami untuk melakukan kajian yang lebih mendalam berkaitan
dengan masalah jabat tangan ini. Berikut kajian singkat berkaitan dengan
masalah tersebut :
I – Pembahasan Pertama
Golongan
yang membolehkan berjabat tangan antara pria dengan wanita dan begitupula
sebaliknya, berargumentasi dengan hadis Ummu Athiyah tentang ba’iat dan
juga pemahaman yang berasal dari mafhum mukholafah yang ditunjukkan oleh ucapan
Ummu Athiyah ra.1 :

Artinya
: “Kami memba’iat Rasul SAW. Lalu beliau SAW membacakan kepada kami firman
Allah SWT ( dan janganlah kalian menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun
). Dan beliau melarang kami dari An-Nihayah (yaitu menangisi mayat dengan
meratap –pent). Kemudian salah seorang wanita diantara kami menarik tangannya .
Kemudian ia mengatakan bahwa saya telah dibahagiakan oleh seorang wanita maka
saya hendak membalasnya. Ternyata Rasul SAW tidak mengatakan kepadanya sesuatu,
lalu wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu Rasul SAW memba’iatnya” dan juga
mafhum isyarah dari ayat: “atau kamu menyentuh para wanita”. Maka “menarik
tangan” disini berarti kaum wanita yang lain (selain wanita yang menarik
tangannya) tidak melepaskan tangannya, tetapi tetap menjabat tangan Rasul SAW.
Atau ada sebagian ulama lain yang menafsirkan lafadz “Qobadhot’’ pada redaksi
hadis diatas dengan memegang tangannya seperti pada firman Allah SWT :
قال بصرت بما لم يبصروا به فقبضت قبضة من أثر الرسول فنبذتها وكذلك سولت لي نفسي
Artinya
: “ Samiri menjawab ? Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahui, maka
aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparnya, dan demikianlah
nafsuku membujukku” [1][1] ,
menurut Imam Ibn Jarir Ath-Thobari “Al-Qobadhat” (القبضة) adalah
aku memegang dengan tanganku seluruhnya tanah yang merupakan jejak kuda rasul (فأخذت بكفي كلها ترابا من تراب أثر
فرس الرسول), menurut
orang arab adalah mengambil dengan tangan seluruhnya (العرب الأخذ بالكف كلها) , dan Al-Qobashoh (القبصة) adalah
mengambil dengan ujung-ujung jari-jemari (أخذ
بأطراف الأصابع) [2][2].
Dimana
menyentuh wanita tanpa syahwat tidaklah haram seperti menyentuh yang dimaafkan
pada saat sedang thawaf, karena tangan mereka (para wanita) bukanlah termasuk
aurat. Dimana mayoritas fuqaha dari kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang
sesudah mereka berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali
yang biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak) tangan,
serta ada yang berpendapat yaitu celak dan cincin (analogi dari wajah dan
telapak tangan –pent). Dan ini merupakan pendapat sebagian besar ulama
salaf seperti : Ibn Abbas, Sa’id Ibn Jabir, Atho’, Adh-Dhohak, Qotodah dll
[3][3].
Sehingga semua ini merupakan dalil yang jelas tentang kebolehan berjabat
tangan.
Ada sebagian orang yang
mengatakan bahwa hadis Ummu Athiyah ditolak oleh Ibn Hazm. Kami
katakan bahwa apa yang ditolak oleh Ibn Hazm, tetapi telah dishohihkan
oleh Imam Bukhori tidak menjadi dasar untuk menolak hadis tersebut.
Adakalanya sebuah hadis ditolak oleh sebagian ahli Hadis tetapi diterima oleh
sebagian ahli hadis lainnya, sebagaimana hadis tentang Istikhorah yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan dianggap cacat oleh Imam Ahmad Bin
Hambal . Maka pencacatan Imam Ahmad bin Hambal tidak menghalangi
kita untuk menerima riwayat Imam Bukhori ini.
Ada juga yang mengatakan bahwa
hadis Ummu Athiyah bertentangan dengan hadis Umaimah binti Ruqaiqah
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al-Hakim : “Rasul tidak
pernah berjabat tangan dengan wanita dari kami” . Dan penolakan\keengganan
Rasul SAW untuk berjabat tangan dengan para wanita, sebagaimana ucapan Rasul
kepada para wanita :
إني لا
أصافح النساء لمئة
امرأة كقولي لامرأة واحدة
Artinya : ”Sesungguhnya aku
tidak menjabat tangan dengan para wanita. Sesungguhnya ucapanku atas seratus
wanita sama dengan untuk seorang wanita” [4][4].
Adapun riwayat
dari Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu dan
bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu. Imam Bukhari
meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Aisyah
bahwa Rasulullah SAW menguji
wanita-wanita mukminah yang berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman
Allah : " Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman
untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan
mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina,tidak
akan membunuh anak-anaknya,tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan
antara tangan dengan kaki merekadan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang
baik, maka terimalah janji setia
mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang" [5][5]. Maka Aisyah ra. berkata, "Maka
barangsiapa diantara
wanita-wanita beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah SAW berkata
kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan saja - dan
demi Allah tangan
beliau sama sekali
tidakmenyentuh tangan wanita
dalam bai'at itu; beliau tidak
membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah membai'atmu tentang
hal itu [6][6]. Riwayat
inilah yang dijadikan sandaran orang yang melarang berjabat tangan. Untuk itu
ada beberapa hal yang harus diperhatikan dari riwayat Aisyah r.a ini :
Pertama riwayat
ini memberikan gambaran sebatas pengetahuan Aisyah dalam hal ini, pengetahuan
ini ada kekurangannya karena Aisyah tidak menyaksikan sendiri peristiwa bai’at
Ummu Athiyah dan Hindun isteri Abu Sofyan ketika terjadi jabat tangan. Yang
membuktikan adalah hadis itu sendiri dan juga hadis lainnya semisal hadis Umaimah
binti Ruqoiqoh ra. ketika Rasul SAW berkata (sungguh aku tidak menjabat
tangan wanita). Dengan demikian sesungguhnya perbuatan jabat tangan nabi dengan
wanita tidak banyak sehingga Aisyah sendiri tidak mengetahuinya, sebagai
analogi nabi juga pernah mengatakan tidak menerima hadiah dari orang Musyrik,
akan tetapi nabi pernah menerima hadiah dari mereka sebanyak dua kali.
Kedua Hadis
Aisyah tidak mengandung larangan berjabat tangan melainkan hanya menghindarkan
saja, ada perbedaan antara larangan dan menjauhkan diri darinya.
Ketiga Hadis
Aisyah terbatas pada bai’at dengan perkataan saja sedangkan hadis Ummu Athiyah
menjelaskan hal selain perkataan yaitu uluran tangan. Oleh karena itu sebagian
dari mereka berkata : “Para wanita itu mengulurkan tangannya ke udara”. Yang
lain berkata jabat tangannya dilakukan dengan lapisan penghalang, atau dengan
mencelupkan tangan beliau ke dalam bejana yang berisi air atau dengan memegang
ujung tongkat. Itu semua menyalahi pengertian dengan perkataan saja,
sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah.
Keempat Para
Ulama juga pernah meninggalkan pernyataan Aisyah dan mereka mengambil perkataan
Umar dan Ibn Umar tentang mayat yang diadzab karena tangisan keluarganya, dan
mayat yang mendengar suara-suara orang yang hidup. Dalam musnad Ahmad bahwa
Rasullulah SAW melewati sebuah kuburan , lalu beliau berkata: Mayat ini sedang
disiksa sebab tangis keluarganya kepadanya. Maka Aisyah berkata : Semoga Allah
mengampuni Abu Abdurrahman. Ia salah paham . Padahal Allah SWT berfiman , “La
taziru Wazirutun Wizra Ukhra”. Aisyah ra. membantah pernyataan kedua
sahabat tersebut dan menyatakan bahwa keduanya menakut-nakuti atau tidak tahu
persis perkataan Nabi SAW. Hujjah dari orang yang membantah pernyataan Aisyah
karena hal tersebut digambarkan sebatas pengetahuan Aisyah saja. Dan dalam
hadis jabat tangan juga dengan jelas mengatakan bahwa hal itu sebatas
pengetahuan Aisyah tanpa mendengar dan menyaksikan secara langsung peristiwa bai’at
Ummu Athiyah dan para wanita dengan rasul SAW.
Sehingga, pada hakekatnya tidak
ada pertentangan antara hadis Aisyah dengan hadis Ummu Athiyah. Apa yang
disampaikan oleh Aisyah adalah berdasar pengetahuannya (dimana Aisyah tidak
melihat secara langsung peristiwa ba’iat para wanita, sebagaimana diriwayatkan
oleh Ummu Athiyah). Oleh karena itu Aisyah tidak mengatakan : Ra-aitu
(aku melihat), Syahadtu (aku menyaksikan), Akhbarani Rasulullah
SAW (Rasul SAW memberitahu aku), atau Haddatsani fulanah min Baya’na
Rasulullah SAW (Telah bercerita kepadaku Fulanah diantara mereka yang
memba’iat Rasul SAW). Sedang Aisyah sendiri pada waktu itu tidak ikut memba’iat
Rasul SAW, sehingga tidak dapat mengambarkan sifat ba’iat yang memang dia tidak
ikut membai’atnya, kecuali jika dia diberitahu. Dan sifat bai’at yang ia
riwayatkan itu benar, akan tetapi peristiwa yang ia sampaikan sebatas yang dia
ketahui, dimana dia tidak mengetahui realitas bai’at yang lain, dimana
didalamnya berlangsung peristiwa jabat tangan kaum perempuan dalam bai’atnya.
Sedangkan hadis riwayat Imam Bukhori dari Ummu Athiyyah Al-Anshori ra.
yang mengatakan :
فقبضت
امرأة يدها ....
Artinya : ‘’Seorang perempuan
menarik tangannya’’ .
Hadis shohih ini menunjukkan
bahwa seorang perempuan menarik tangannya dari Rasul SAW tatkala beliau
mengulurkan tangannya untuk memberi bai’at, ketika itu beliau melarang mereka
dari meratapi mayat. Perempuan itu sadar betul akan akibat bai’at, sehingga dia
tidak ingin terikat dengan akad bai’at, kecuali dengan melepaskan dari ikatan
sebelumnya, yang menurutnya ikatan itu harus ditepati, sedang akad bai’at
mengharamkan hal itu, untuk itu ia menarik tangannya sebelum berbai’at, dan
pergi membalas orang yang telah membuatnya bahagia, kemudian ia kembali untuk
membai’at Rasul SAW. Hal ini memberi pengertian yang sangat jelas bahwa
perempuan-perempuan selain dia (yaitu wanita yang menarik tangannya) tetap
melakukan bai’at dengan berjabat tangan. Dan jelaslah apa yang disebutkan
diatas, bahwa mafhum kalimat :
فقبضت
امرأة يدها ....
Artinya : ‘’Seorang perempuan
menarik tangannya’’ , memberi isyarat bahwa perempuan yang lain tidak menarik
tangannya (tetap menjabat tangan Rasul SAW –pent). Hadis ini merupakan nash
tentang terjadinya jabat tangan dalam bai’at kaum perempuan baik dilihat dari
mafhum maupun manthuqnya. Oleh karena itu bai’at kaum perempuan dengan berjabat
tangan itu hukumnya mubah secara syar’I, sehingga hal itu tidak mengapa
dilakukan. Dan hadis ini merupakan hadis paling shohih dalam masalah ini [7][7].
Lagipula Aisyah tidak setiap
saat mendampingi Rasul SAW. Kemudian ada hadis riwayat Imam Bukhori dari Ummu
Athiyah (dimana ia termasuk salah satu dari wanita yang memba’iat Rasul SAW,
waktu itu ia menyaksikan dan terlibat secara langsung). Dari sini dapat
disimpulkan bahwa menjabat tangan wanita ketika bai’at adalah mubah. Suatu
kali beliau menjabat tangan wanita ketika ba’iat dan pada kesempatan yang lain
beliau tidak melakukan. Menurut Imam Ghozali dan Ibn Qudamah
bahwa sesuatu yang mubah adalah apa-apa yang diizinkan oleh Asy-Syari’ dalam
melakukan dan meninggalkannya tanpa ada indikasi celaan (Dzam) atau pujian
(Madh) atas yang melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut [8][8] . Status mubah adalah hukum syara’ , sehingga
untuk menetapkan sesuatu yang mubah harus berdasarkan Khittob Asy-Syari’ atau
ditetapkan dengan dalil-dalil syara, dari Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma Shohabat
dan Qiyas dengan Illat yang Syar’I [9][9] . Oleh karena itu hukum yang mubah adalah memberi
pilihan untuk melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan dan sesuatu yang
mubah tidak selalu harus dilakukan atau dilaksanakan [10][10].
Kelima Bahkan
hadis Ummu Athiyah dapat lebih diunggulkan dari hadis Aisyah, karena Ummu
Athiyah sebagai perawi hadis ini adalah pelaku dan terlibat langsung dalam
peristiwa tersebut, dimana ia lebih mengetahui keadaan sebenarnya dari yang
tidak ikut menyaksikan, ia juga lebih peduli dan lebih menjaga apa yang ia
riwayatkan. Dan karena itulah, maka wajar kalau hati lebih condong untuk
menerima apa yang ia riwayatkan [11][11] .
Sebagian besar Ulama mengunggulkan hadis yang perawinya adalah pelaku dari
peristiwa yang ia ceritakan daripada
hadis yang perawinya bukan pelaku atau tidak terlibat secara langsung padanya [12][12].
Misalnya para Ulama diantaranya Sufyan Ats-Tsauri, Imam Syafi’I, Imam Ahmad dan
Imam Ishaq [13][13] lebih
mengunggulkan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. berikut ini :

Artinya : “ Apabila dua khitan
(kelamin) bertemu, maka sungguh wajib mandi. Aku dan Rasul SAW pernah
melakukannya kemudian kami mandi’’ [14][14] ,
daripada hadis yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id Al-Khudri ra. :
إنما
الماء من الماء
“Artinya : “ (Kewajiban) mandi
itu karena (keluarnya) air (sperma dan ovum)” [15][15] . Karena Aisyah sendiri terlibat dalam peristiwa itu,
maka hadis yang diriwayatkannya lebih unggul daripada hadis yang
diriwayatkan oleh Abi Sa’id Al-Khudri. Karena Aisyah dipandang lebih
mengetahui hal tersebut dibanding Abi Said Al-Khudri. Ada juga hadis lain yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. mengenai masalah ini sebagai ini :
فعلت ذلك ثم انا ورسول الله صلى الله عليه وسلم فاغتسلنا
II – Pembahasan Kedua
Sebagian
ulama pada masa ini ada
yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita dengan
mengambil dalil dari riwayat Ma'qil bin Yasar ra. dari Nabi
saw.,beliau bersabda :
عن معقل بن يسار قال قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم لأن يطعن في رأس أحدكم بمخبط من حديد خير له من أن يمس امرأة
لا تحل له
Artinya
: "Sesungguhnya ditusuknya kepala
salah seorang diantara kamu dengan jarum besi
itu lebih baik
daripada ia menyentuh wanita yang
tidak halal baginya” [17][17]. Kemudian
Imam Al-Mundziri berkata dalam At-Targhib : "Perawi-perawi Thabrani
adalah orang-orang tepercaya, mereka adalah perawi-perawi yang shahih".
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pengambilan hadits di
atas sebagai dalil, diantaranya adalah
:
1. Fuqaha Hanafiyah
dan sebagian fuqaha Malikiyah mengatakan bahwa pengharaman itu tidak
dapat ditetapkan kecuali dengan dalil qath'i yang tidak ada kesamaran padanya,
seperti Al-Qur'anul Karim serta hadits-hadits mutawatir dan masyhur. Adapun
jika ketetapan atau kesahihannya sendiri masih ada kesamaran, maka hal itu tidak lain hanyalah menunjukkan hukum
makruh, seperti pada hadits-hadits ahad yang shahih [18][18] .
2.
Seandainya kita terima bahwa hadits itu sahih dan dapat digunakan untuk
mengharamkan suatu masalah, maka kita akan mendapati petunjuknya tidak jelas
(dalalahnya Dzon). Dimana kalimat "menyentuh kulit wanita yang tidak halal baginya", itu tidaklah
dimaksudkan semata-mata bersentuhan kulit dengan kulit tanpa syahwat,
sebagaimana yang biasa terjadi dalam berjabat tangan. Bahkan kata-kata al-mass (massa
- yamassu - mass: menyentuh) cukup digunakan dalam nash-nash syar'iyah
seperti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan salah satu dari dua pengertian, yaitu:
A\- Bahwa ia merupakan kinayah
(kiasan) dari hubungan biologis (jima') sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas
dalam menafsirkan firman Allah:
أو
لا مستم النساء
Artinya : “ Kamu menyentuh wanita “. Ibnu Abbas berkata,
"Lafal al-lams,al-mulaamasah, dan al-mass dalam Al-Qur'an dipakai sebagai
kiasan untuk jima' (hubungan seksual) [19][19] .
Secara
umum, ayat-ayat Al-Qur'an yang menggunakan kata al-mass menunjukkan arti
seperti itu dengan jelas, seperti firman Allah yang diucapkan oleh Maryam :
"Betapa mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh
oleh seorang laki-laki pun ..." [20][20] . "Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
menyentuh mereka..." [21][21] . Dalam hadits diceritakan
bahwa Nabi saw. mendekati istri-istrinya tanpa menyentuhnya .... .
B\- Bahwa ia merupakan tindakan-tindakan dibawah kategori
jima', seperti mencium, memeluk, merangkul, dan lain-lain yang
merupakan pendahuluan bagi jima' (hubungan seksual). Pengertian ini
diriwayatkan oleh sebagian ulama salaf dalam menafsirkan makna kata mulaamasah.
Al-Hakim mengatakan dalam "Kitab ath-Thaharah" dalam al-Mustadrak
'ala ash-Shahihaini’ sebagai berikut : Imam Bukhari dan Muslim telah
sepakat mengeluarkan hadits-hadits yang berserakan dalam dua kitab yang sahih,
yang menunjukkan bahwa al-mass itu berarti sesuatu (tindakan) dibawah jima' :
(1)
Diantaranya hadits Abu Hurairah: "Tangan, zinanya ialah
menyentuh..."
(2)
Hadits Ibnu Abbas: "Barangkali engkau
menyentuhnya... ?"
(3)
Hadits lbnu Mas'ud: "Dan dirikanlah shalat
itu pada kedua tepi siang (pagi dan
petang)...". Beliau (al-Hakim) mengisyaratkan kepada riwayat Asy-Syaikhani
dan lainnya dan hadits Ibnu Mas’ud, dan dalam sebagian
riwayat-riwayatnya: Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. Lalu dia mengatakan bahwa
dia telah berbuat sesuatu terhadap wanita, mungkin menciumnya, menyentuh dengan
tangannya, atau perbuatan lainnya, seakan-akan ia menanyakan kafaratnya. Lalu
Allah menurunkan ayat (yang artinya),
"Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bagian permulaan dari malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik
itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk..." [22][22] .
(4)
Al-Hakim
berkata, "Dan masih ada beberapa hadits sahih pada mereka (Bukhari dan Muslim) mengenai tafsir
dan lainnya ...". Kemudian Al-Hakim menyebutkan diantaranya:
A\- Dari
Aisyah ra. , ia berkata: "Sedikit sekali hari (berlalu)
kecuali Rasulullah SAW. mengelilingi kami semua - yakni istri-istrinya -
lalu beliau mencium dan menyentuh (yang
derajatnya dibawah jima'). Maka apabila
beliau tiba di rumah istri yang waktu
giliran beliau di situ, beliau menetap di situ."
B\- Dari
Abdullah bin Mas'ud ra., ia berkata, "Au laamastum
an-nisa" (atau kamu menyentuh wanita) ialah tindakan mendekati jima', dan untuk ini wajib
wudhu."
C\- Dan
dari Umar ra., ia berkata, "Sesungguhnya mencium itu termasuk al-lams, oleh sebab itu berwudhulah
karenanya [23][23]
. Berdasarkan nash-nash yang telah disebutkan itu, maka Mazhab Maliki
dan Mazhab Ahmad berpendapat bahwa menyentuh wanita yang membatalkan
wudhu itu ialah yang disertai dengan syahwat. Dan dengan pengertian seperti
inilah mereka menafsirkan firman Allah, " au laamastum an-nisa' "
(atau kamu menyentuh wanita). Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah
dalam Fatawa-nya melemahkan pendapat orang yang menafsirkan lafal "mulaamasah"
atau "al-lams" dalam ayat tersebut dengan semata-mata
bersentuhan kulit walaupun tanpa syahwat. Diantara yang beliau katakan
mengenai masalah ini seperti berikut : Adapun mensyaratkan batalnya wudhu
dengan semata-mata menyentuh (yaitu persentuhan kulit, tanpa syahwat), maka hal
ini bertentangan dengan ushul,
bertentangan dengan ijma' shahabat, bertentangan dengan atsar,
serta tidak ada nash dan qiyas bagi yang berpendapat begitu. Apabila lafal al-lams (menyentuh) dalam firman Allah
(atau jika kamu menyentuh wanita... ).
Itu
dimaksudkan untuk menyentuh dengan tangan atau
mencium dan sebagainya -seperti yang dikatakan Ibnu Umar dan
lainnya – maka sudah dimengerti bahwa
ketika hal itu disebutkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, yang dimaksud ialah
yang dilakukan dengan syahwat,
seperti firman Allah sbb:
1-
Dalam ayat i'tikaf : "...Dan janganlah kamu
me-mubasyarah mereka ketika kamu sedang i'tikaf dalam masjid..." [24][24]. Mubasyarah
(memeluk) bagi orang yang sedang i'tikaf dengan tidak bersyahwat itu tidak
diharamkan, berbeda dengan memeluk yang
disertai syahwat.
2-
Demikian pula firman Allah: " Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum
kamu menyentuh mereka ..." [25][25].
3-
Atau dalam
ayat sebelumnya disebutkan: "Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas
kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka
..." [26][26]. Karena
seandainya si suami hanya menyentuhnya dengan sentuhan biasa tanpa syahwat,
maka tidak wajib iddah dan tidak wajib membayar
mahar secara utuh serta tidak menjadikan mahram karena persemendaan
menurut kesepakatan ulama. Barangsiapa menganggap bahwa lafal au
laamastum an-nisa' mencakup sentuhan biasa meskipun tidak dengan
bersyahwat, maka ia telah menyimpang dari bahasa Al-Qur'an, bahkan menyimpang
dari bahasa manusia sebagaimana yang
sudah dikenal. Sebab, jika disebutkan lafal al-mass (menyentuh) yang diiringi dengan laki-laki
dan perempuan, maka tahulah dia bahwa yang dimaksud ialah menyentuh dengan
bersyahwat, sebagaimana bila disebutkan lafal al-wath'u (yang asal
artinya adalah "menginjak") yang diikuti dengan kata-kata laki-laki
dan perempuan, maka tahulah ia bahwa yang dimaksud ialah al-wath'u
dengan kemaluan (yakni
bersetubuh), bukan menginjak
dengan kaki [27][27] .
Di
tempat lain lbnu Taimiyah menyebutkan bahwa para sahabat berbeda
pendapat mengenai maksud firman Allah au laamastumannisa'. Ibnu Abbas
ra. dan segolongan sahabat berpendapat bahwa yang dimaksud ialah
jima'. dan mereka berkata, "Allah
itu Pemalu dan Maha Mulia. Ia membuat kinayah untuk sesuatu sesuai
dengan yang Ia kehendaki". Beliau berkata : "Ini yang lebih
tepat diantara kedua pendapat tersebut". Bangsa Arab dan Mawali juga
berbeda pendapat mengenai makna kata al-lams, apakah ia berarti jima' atau
tindakan dibawah jima'. Bangsa Arab mengatakan, yang dimaksud adalah jima'.
Sedangkan
bangsa Mawali (bekas-bekas budak yang telah dimerdekakan) berkata : yang
dimaksud ialah tindakan di bawah jima'
(pra-hubungan biologis). Lalu mereka
meminta keputusan kepada Ibnu Abbas, lantas Ibnu Abbas membenarkan
bangsa Arab dan menyalahkan bangsa Mawali [28][28] .
Kemudian Ibn Taimiyah menambahkan bahwa pendapat Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik merupakan dua pendapat yang masyhur dikalangan para
salaf. Dan adapun yang mewajibkan wudhu’ bagi barangsiapa menyentuh wanita
tanpa syahwat, adalah pendapat Syadz (Asing) yang tidak mempunyai asal dalam
Al-Kitab (Al-Qur’an) , As-Sunnah dan Atsar dari seorangpun dari Salaf Umat. Dan
tidak sesuai dengan pokok syari’at. Lalu beliau juga menegaskan lagi bahwa "au
laamastum an-nisa'" (atau kamu menyentuh wanita) maksudnya adalah
Jima’ saja sebagaimana ucapan Umar dan lainnya [29][29] .
Pendapat dari Ibn Taimiyah ini sejalan dengan pendapat sebagian besar
Ulama Salaf sebagai berikut :
A)- Ibn
Abi Hatim dari Abi Ishaq dari Sa’id Ibn Jabir dari Ibn Abbas ra.
tentang firman Allah SWT (Atau menyentuh wanita), ia mengatakan adalah Jima’.
B)- Dan
diriwayatkan dari Ali, Abi Ibn
Ka’ab, Mujahid , Thowus, Al-Hasan, Ubaib, Umair,
Sa’id Ibn Jabir, Asy-Sya’bi, Qotodah dan Muqotil Ibn
Hayyan seperti itu (bahwa Al-Mulamasah adalah Jima’-pent).
C)- Berkata Ibn Jarir berkata : Dan yang
terpilih dari 2 pendapat dalam hal itu (tafsir dari lafadz Al-Lamasa) adalah
mereka yang mengatakan kepadaku bahwa maksud dari (Atau menyentuh wanita)
adalah Jima’, bukan makna yang lain dari Al-Lamasa berdasarkan shohih khobar
dari Rasul SAW bahwa beliau mencium sebagian istrinya kemudian sholat dan
beliau tidak berwudhu’ [30][30] .
D)- Dan
Ibn Abi Syaibah mengeluarkan dari Al-Hasan, ia berkata bahwa
Al-Mulamasah adalah Jima’ [31][31] .
E)-
Berkata Sufyan Ats-tsauri dan Abu hanifah dan Al-Auza’I dan
mayoritas Ulama Iraq dan sekelompok ulama Hijaz bahwa
Al-Mulamasah yang disebutkan oleh Allah SWT dalam kitabnya tentang firman-Nya
(Atau menyentuh wanita) atas apa yang dibaca dalam hal ini seluruhnya adalah
Al-Jima’ itu sendiri yang mewajibkan mandi [32][32] .
F) - Mengeluarkan darinya At-Thosati, bahwa
ia pernah bertanya pada Nafi’ Ibn Azraq tentang Al-Mulamasah, lalu ia
(Nafi’ –pent) menafsirkannya dengan Al-Jima’ [33][33] .
H)- Ibn Qudamah dalam Al- Mughni menyatakan
bahwa maksud dari firman Allah SWT au
laamastumunnisa'adalah Jima’, dalilnya adalah pengertian dari
Al-Mass adalah Jima’ sebagaimana pada ayat Thalaq [35][35] .
Sedang dalil lain yang juga
mendukung pendapat-pendapat ini antara lain :
- 1قالت
عائشة رضي الله عنها إن كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم ليصلي وإني لمعترضة بين يديه اعتراض الجنازة
فإذا أراد أن يسجد غمزني فقبضت رجلي
Artinya : Dari Aisyah ra., Sesungguhnya Nabi SAW
pernah sholat, dan aku terlentang didepannya seperti terlentangnya jenazah.
Maka ketika Beliau hendak sujud, beliau memegangku, kemudian menarik kakiku
(untuk dipindahkan sehingga Beliau SAW dapat bersujud –pent) [36][36]. Beliau SAW memegang kaki Aisyah yang tidur
dihadapannya tanpa mengulangi kembali wudhu’-nya. Hadis ini semakin menegaskan
bahwa sebatas sentuhan saja tidak membatalkan wudhu sehingga makna yang paling
tepat untuk ‘au laamastumannisa'’ adalah bukan selain jima’, tetapi jima’
itu sendiri.
2-
عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يتوضأ ثم يقبل ثم يصلي ولا
يتوضأ
Artinya : dari Aisyah nabi SAW berwudhu’ kemudian
mencium (Aisyah –pent) lalu ia sholat dan tidak berwudhu’ [37][37]. Menurut Al-Hafidz Ibn Katsier sebagian
besar jalur periwayatannya bermasalah , bahkan banyak yang lemah [38][38]. Akan tetapi hadis kedua ini bukan sebagai dalil
utama dalam bab ini, ia hanya sebagai dalil pendukung dan lagi pula hadis ini
juga memiliki beberapa jalan periwayatan walaupun kebanyakan diantaranya lemah [39][39] .
Dan dua hadis ini digunakan oleh sebagian besar
Ulama Salaf bahwa Al-Lamasa dalam arti menyentuh atau arti lain yang
semakna adalah tidak membatalkan wudhu’. Mereka itu antara lain :
1)- Dari Abdil Karim Al-Jazani dari Atho’, ia
berkata bahwa tidak ada wudhu’ dalam ciuman (Al-Qobalah) .
2) - Dari Sa’id Ibn Jabir dari Ibn Abbas ra. bahwa
ia tidak memandang dalam ciuman , ada wudhu’ [40][40] .
3)- Dari Muslim Ibn Hayyan dari Masruq , ia
berkata tidak mengapa menciumnya atau mencium tangan (misal seorang suami pada
Istrinya atau pada Ibunya dll –pent)
5)- Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf
dan Muhammad Ibn Hasan , mereka berkata barang siapa mencium atau
memeluk atau menyentuh Istrinya dengan syahwat atau tidak, maka tidak ada
wudhu’ baginya [42][42] .
Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa frasa kata Al-Lamassa adalah Lafadz Musytarak yaitu lafadz
yang mempunyai beberapa makna atau pengertian dimana penunjukannya pada
makna-maknanya adalah dengan jalan bergantian [43][43] . Atau sebuah lafadz yang mempunyai dua makna
atau lebih yang berbeda-beda [44][44] .
Seperti pada lafadz “Quru” yang mempunyai arti
haidh dan suci (Lihat Taisir Al-Ushul hal. 112 oleh Al-Hafidz Tsanaullah
Az-Zaidi) atau pada lafadz Al-Ainu mempunyai arti mata , emas, mata air,
mata-mata budak perempuan dll (Lihat Asy-syaksiyah Al-Islamiyah jilid 3\hal.
129 oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani). Sehingga untuk menetapkan makna
dari lafadz Musytarak dan mengkhususkan pada salah satu makna yang tepat untuk
frasa kata Al-Lamasa , butuh qorinah (indikasi syar’I –pent) untuk menetapkan
makna yang dimaksudkan [45][45] yaitu
apakah Jima’ (hubungan biologis antara suami – Istri –pent) atau yang selain
jima’ (seperti menyentuh, mencium dll –pent), maka dibutuhkan Qorinah Syar’iyah
(Indikasi syar’I –pent). Dan dari penjelasan sebelumnya menunjukkan bahwa baik
dari segi bahasa maupun berdasarkan penjelasan beberapa ayat dan hadis diatas
telah menunjukkan bahwa makna yang paling tepat untuk frasa Al-Lamasa
adalah Jima’. Oleh karena itu penafsiran yang benar terhadap hadis Rasul
yang mengatakan : Sesungguhnya
ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu
lebih baik daripada “ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya” adalah
“Sesungguhnya ditusuknya kepala
salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia berjima’ dengan wanita
yang tidak halal baginya (atau berzina –pent)“. Sehingga hadis ini
dan hadis lain yang semakna tidak dapat digunakan sebagai dalil untuk
mengharamkan jabat tangan.
Maksud
dikutipnya semua ini ialah agar kita mengetahui bahwa kata-kata al-mass
atau al-lams ketika digunakan dalam konteks laki-laki dan perempuan
tidaklah dimaksudkan dengan
semata-mata bersentuhan kulit
biasa, tetapi yang dimaksud ialah jima' (hubungan seks) atau pendahuluannya
seperti mencium, memeluk, dan sebagainya yang merupakan sentuhan disertai
syahwat dan kelezatan. Kalau kita perhatikan riwayat sahih dari
Rasulullah SAW, niscaya kita jumpai sesuatu yang menunjukkan bahwa semata-mata
bersentuhan tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa disertai syahwat dan
tidak dikhawatirkan terjadinya fitnah adalah tidak terlarang, bahkan pernah
dilakukan oleh Rasulullah SAW, sedangkan pada dasarnya perbuatan Nabi saw. itu
adalah tasyri' dan untuk diteladani : "Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah SAW. itu suri teladan yang baik bagimu..." [46][46] .
Imam Bukhari meriwayatkan
dalam Shahih-nya pada "Kitab al-Adab" dari Anas bin Malik r.a.,
ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak wanita
diantara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW,
lalu membawanya pergi ke mana ia suka. " Dalam riwayat Imam Ahmad
dari Anas ra. juga, ia berkata: "Sesungguhnya seorang budak
perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan
Rasulullah SAW, ternyata beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya
sehingga dia membawanya pergi kemana ia suka”. Ibnu Majah juga
meriwayatkan hal demikian.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari : "Yang
dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang
dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam sikap
tawadhu', karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan
orang merdeka, digunakannya
kata-kata umum dengan lafal Al-Imaa' (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan
perkataan haitsu syaa'at (kemana saja ia
suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan "mengambil/memegang
tangannya" itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga
meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia
meminta kepada beliau untuk membantu
memenuhi keperluannya itu niscaya
beliau akan membantunya.
III –
Pembahasan Ketiga
Tidak
adanya perbuatan Rasul atas sesuatu maka hal itu tidak dianggap sebagai dalil
syar’I, tetapi yang merupakan dalil Syar’I adalah perbuatan Rasul itu sendiri
dan bukan dengan tidak adanya perbuatan Rasul SAW. Maka ucapan beliau yang
mengatakan : “Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita” , menunjukkan
beliau menolak atau enggan untuk berjabat tangan dengan para wanita , tetapi
hadis ini bukanlah dalil tentang ketidakbolehan atau keharaman berjabat tangan
dengan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan sebuah perbuatan
yang mubah seperti tindakan beliau yang juga sering meninggalkan hal-hal mubah
seperti pada beberapa contoh kasus berikut :
A) Dari Nafi’
Ibn Umar ra. tentang seruling Ar-Ro’iy, ia meletakkan kadua jarinya
di kedua telinganya, karena Rasullullah enggan untuk mendengar suara seruling
tersebut. Pada saat yang bersamaan Rasul SAW tidak melarang Ar-Ro’iy untuk
meniupnya. Dalam kasus ini Rasul SAW enggan untuk dirinya sendiri bukan
larangan atas sesuatu yang diharamkan.
B) Dari Ibn
Abbas ra. , ia meriwayatkan dari Kholid Ibn Walid ra., bahwa ia pernah
masuk bersama Rasul SAW ke rumah Maimunah Ibn Al-Haris, maka ia Maimunah
menyuguhkan kepada Rasul SAW daging biawak yang dibawa kerabatnya dari Najd.
Kebiasaan Rasul SAW, beliau tidak mau makan sesuatu sebelum tahu apa yang ia
makan. Para wanita telah bersepakat untuk tidak memberitahukan kepada beliau
sampai menyaksikan beliau merasakannya, mengetahui sendiri bagaimana beliau
merasakannya. Tatkala beliau bertanya daging apa ini ? dan beliaupun membiarkan
dan memaafkannya. Lalu Kholid ra. bertanya kepada beliau : Apakah ini Haram ? Rasul SAW menjawab :
Tidak, tetapi ia (biawak –pent) bukan makanan yang ada pada kaumku, maka aku
enggan memakannya. Kemudian Kholid berkata : Maka daging itu lalu dihadapkan
kepadaku dan aku menyatapnya, sedangkan rasul SAW menyaksikan (melihat –pent).
Imam Muslim dalam kitab Shohihnya dari Umar Ibn
Khattab ra., yang diriwayatkan dari Abi Zubair ra. berkata :
“Aku pernah menanyakan kepada Jabir tentang Biawak” , lalu ia berkata :
Janganlah kalian memakannya, Ia (Jabir ) mengangggapnya sebagai hewan yang
menjijikkan. Lebih lanjut ia berkata : Umar pernah mengatakan sesungguhnya Nabi
SAW tidak pernah mengharamkannya. Sesungguhnya Allah menganggapnya (biawak)
bermanfaat untuk dimakan bukan untuk satu orang. Sesungguhnya ia makanan umum
para penggembala. Kalaupun ada padaku, niscaya akupun akan memakannya.
Kemudian Imam Syaukani memberi komentar
tentang hadis Nafi’ dari Ibn Umar tentang seruling, sebagai berikut : “Adapun
Rasul SAW menutup telinganya dari mendengar seruling adalah untuk menjauhinya.
Seperti yang beliau sering lakukan dengan meninggalkan banyak perbuatan yang
mubah, seperti juga ketika beliau menolak hadiah seseorang untuk disimpan di
rumahnya baik berupa uang dinar maupun dirham”.
Sehingga
penolakannya untuk tidak menyimpan (menginapkan –pent) dirham dan dinar
dirumahnya, dan beliau juga meninggalkan makan daging biawak, serta beliau juga
enggan untuk mendengar suara seruling Ar-Ra’I, adalah untuk meninggalkan
hal yang mubah karena pada saat yang bersamaan penolakan ini tidak disertai
dengan adanya larangan bagi kaum muslimin untuk menyimpan harta dirumahnya atau
larangan untuk memakan daging biawak. Dan beliaupun tidak melarang kaum
muslimin untuk mendengar suara seruling. Demikian juga yang berlaku pada sabda
beliau : “Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan para wanita” , dimana pada
saat yang lain beliau tidak memerintahkan para sahabat dan para wanita untuk
meninggalkan jabat tangan sama sekali, hal ini menunjukkan kebolehan jabat
tangan ,dimana kebolehan jabat tangan itu merupakan hak bagi para pria dan
wanita tanpa kecuali .
IV- Pembahasan Keempat
Hal lain
yang menunjukkan kebolehan jabat tangan adalah ketika para wanita mengulurkan
tangan mereka untuk berbai’at sebagaimana diriwayatkan oleh Ummu Athiyah.
Mereka (para wanita -pent) juga pernah meminta berjabat tangan dengan Rasul SAW
sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Ahmad ketika para wanita
berkata: “Apakah anda (Rasul –pent) tidak menjabat tangan kami ?”. Kemudian
Rasul SAW menjawab : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita”.
Telah dapat dipastikan juga bahwa Nabi SAW berjabat tangan dengan para wanita
dari beragam riwayat yang menjelaskan cara jabat tangannya. Imam Ar-Razi
menyebutkan [47][47] :
”Adalah Umar ra. yang telah menjabat tangan para wanita ketika berbai’at
sebagai wakil Rasul SAW. Dan Imam Thabrani meriwayatkan bahwa Umar ra.
telah menjabat tangan para wanita untuk Rasul SAW. Imam Qurthubi juga
meriwayatkan [48][48];
diriwayatkan bahwa Nabi saw membai’at para wanita, antara tangannya dan tangan
para wanita ada alas tangan\sapu tangan dan jabat tangan menjadi syarat bagi
bai’at mereka . Dan dikatakan : ”ketika selesai membai’at para lelaki di Shofa,
beliau duduk disertai Umar yang duduk
dibawahnya”. Maka jabat tangan dijadikan sebagai syarat atas bai’at para wanita
dan Umar pun menjabat tangan mereka (yaitu para wanita –pent). Berkata Ummu
Athiyah ra. : “Tatkala Rasul SAW datang ke kota Madinah, para wanita Anshor
berkumpul disebuah rumah, kemudian beliau mengutus Umar bin Khotob kepada kami,
kemudian Umar ra. berdiri didepan pintu lalu mengucapkan salam kepada kami dan
kamipun (para wanita Anshor –pent) menjawab salamnya ”. Lalu Umar berkata:
“Saya (adalah wakil –pent) Rasul SAW bagi kalian, dan janganlah kalian
mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu apapun” , kami menjawab: “baik” ;
kemudian Umar mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kamipun mengulurkan
tangan kami dari dalam rumah ; kemudian Umar berkata: “Wahai Allah saksikanlah“
[49][49] . Dan
diriwayatkan pula dari Amru bin Syua’ib dari Ayahnya dari Kakeknya bahwa Nabi
SAW ketika membai’at para wanita meminta semangkuk air lalu mencelupkan
tangannya kedalam mangkuk dan kemudian beliau juga meminta para wanita untuk
juga mencelupkan tangan mereka kedalam mangkuk tersebut. Dan diriwayatkan juga
oleh Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya dari Aisyah ra. bahwa
Hindun binti Uqbah berkata: “Wahai Nabi Allah bai’atlah saya”; Nabi menjawab :
“Aku tidak akan memba’iatmu sampai kau rubah tanganmu, karena kedua tangan itu
adalah tangan yang buas\kotor (karena dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa
tangan Hindun pernah digunakan untuk mengambil jantung Hamzah paman Rasul SAW
–pent)“ [50][50] . Dalam
riwayat yang lain Imam Tabrani meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa
Hindun menyelinap diantara kaum wanita menjauhkan diri dari Nabi SAW. Hindun membantah butir demi butir pernyataan ba’iat. Hal
ini diketahui oleh Nabi SAW sehingga beliau mendo’akannya lalu Hindun memegang
tangan Nabi meminta perlindungan kepada Nabi. Perhatikan
pernyataan “lalu Hindun memegang tangan Nabi SAW” . Imam Ibn Abi Hatim
menambahkan, dia berkata: “Lalu Rasul memandang tangan Hindun dan berkata :
”pergilah dan ubahlan tanganmu”. Hindun pun pergi dan menghiasi tangannya
dengan inai\pacar lalu datang kembali untuk membai’at nabi SAW, kemudian beliau
berkata: ”Aku memba’iatmu untuk tidak menpersekutukan Allah SWT dengan sesuatu
apapun”. Kemudian Nabi SAW membai’atnya dan di tangan Hindun terdapat gelang
yang terbuat dari emas [51][51] .
Riwayat-riwayat
ini menjelaskan bahwa Nabi SAW membai’at para wanita di bukit Shofa pada Bai’at
Aqobah kedua, dimana beliau tidak menjabat tangan mereka, akan tetapi Umar bin
Khotob-lah yang menjabat tangan mereka. Juga dijelaskan tatkala Nabi SAW sampai
di kota Madinah, beliau membai’at para wanita dan mengangkat Umar ra.
sebagai wakilnya untuk mengambil bai’at lalu Umar mengambil bai’at mereka (para
wanita –pent) dari luar rumah tanpa melihat para wanita itu. Maka mereka
dibai’at dan disalami oleh Umar, sedang mereka didalam rumah, dibalik Hijab dan
Umar menjabat tangan mereka dari luar rumah. Sebagaimana dijelaskan juga oleh
riwayat-riwayat sebelumnya bahwa Rasul SAW memba’iat wanita Muhajirun sesudah
perjanjian Hudaibiyah dengan cara meletakkan alas diatas tangannya. Beliau juga
memba’iat para wanita menggunakan cara yang lain yaitu dengan mencelupkan
tangannya ke dalam mangkuk yang berisi air. Semua kejadian ini telah dijelaskan
oleh riwayat yang shohih. Dan Al-Hafidz Ibn Hajar pun telah
menyebutkannya dalam Kitab Fath Al-Bari Syarah Shohih Bukhori [52][52] tanpa
melemahkan hadis ini atau menolaknya. Sehingga tidak perlu memperhatikan
penilaian Ibn Arobi ketika mengomentari riwayat Imam Al-Qurtubi bahwa
hadis tersebut Dhoif. Cukuplah dengan takhrij Al-Hafidz Ibn Hajar
dan persaksiannya atas hadis ini, karena para Ahli Hadis tentu lebih faham dan
mengetahui keadaan para perawi hadis serta status jarh dan ta’dil mereka.
Hadis-hadis tersebut diatas tidak menunjukkan
adanya larangan berjabat tangan. Hadis-hadis ini juga menunjukkan realitas yang
jelas bahwa ia bukan dalil yang menunjukkan tidak adanya jabat tangan, bahkan Umar
ra. pernah mengambil bai’at dengan jalan berjabat tangan sebagai wakil dari
Rasul saw. dimana ia melakukan itu atas perintah Rasul SAW kepadanya, yang
menunjukkan kebolehan jabat tangan baik dari dari pihak pria kepada pihak
wanita, atau sebaliknya dari pihak wanita kepada pihak pria.
Hadis diatas juga menunjukkan bahwa keengganan Rasul
untuk berjabat tangan adalah untuk meninggalkan sesuatu yang bersifat mubah,
karena Rasul sendiri juga sering meninggalkan banyak hal yang mubah. Sehingga
asal dari hukum yang bersifat mubah diserahkan kepada pilihan kaum muslimin
untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Karena statusnya yang bukan wajib atau fardhu,
sehingga berjabat tangan hukumnya adalah mubah. Walaupun demikian bukan berarti
kaum muslimin tidak boleh meninggalkan jabat tangan. Bahkan bagi setiap pria
boleh atau tidak untuk berjabat tangan dengan kaum wanita dan sebaliknya bagi
setiap wanita boleh atau tidak berjabat tangan dengan kaum pria. Maka berjabat
tangan tanpa alas adalah hukumnya boleh bagi keduanya (baik pihak pria atau
wanita –pent), begitu pula berjabat tangan dengan menggunakan alas pada saat
pembai’atan Kholifah untuk menaatinya (selama tidak memerintahkan kepada
kema’siyatan –pent) atau keadaan selain bai’at secara mutlak, dalam rangka
meneladani perbuatan Rasul yang menjabat tangan para wanita dengan meletakkan
kain\alas ditangannya, atau pada saat beliau mengambil bai’at dengan cara
mencelupkan tangannya ke dalam air, atau mewakilkan kepada orang lain untuk
mengambil bai’at. Hal ini berarti boleh bagi seorang Kholifah untuk menjabat
tangan para wanita pada saat bai’at dan boleh juga baginya untuk tidak berjabat
tangan dengan mereka, kemudian mewakilkan kepada orang lain untuk mengambil
bai’at dari para wanita tersebut. Atau membai’at mereka dengan cara meletakkan
sapu tangan atau kain untuk sarung tangan atau dapat dengan cara-cara yang
lain.
Tidak dapat dikatakan bahwa hadis-hadis bai’at
hanya berkaitan dengan masalah bai’at saja, dan tidak berkaitan dengan masalah
jabat tangan. Karena apabila ada dalil yang melarang bai’at dengan jabat tangan
maka dalil ini tidak melarang jabat
tangan, karena dalil tentang jabat tangan hanya khusus untuk bai’at. Dan
apabila beliau membolehkan jabat tangan pada saat bai’at, maka jabat tangan
pada kondisi seperti ini termasuk dalam kaidah Min Bab Al-Aula yang
maksudnya kalau bai’at dengan jabat tangan boleh, apalagi jabat tangan
selain dalam bai’at. Ini berdasarkan nash yang menunjukkan adanya hukum
yaitu dilihat dari manthuq nash yang menunjukkan atas hukum tersebut dan juga
mafhum dari nash yang menunjukkan kepada mafhum yang lain. Oleh karena itu
tidak terdapat pertentangan diantara keduanya.
Adapun
dalil khusus tentang masalah jabat tangan adalah firman Allah SWT: “Kamu
menyentuh wanita”, dengan jalan isyarat. Kata al-lamasa didalam ayat tersebut
berarti meraba dengan tangan, dan didalamnya termasuk jabat tangan berdasarkan
mafhum ayat tersebut. Sesungguhnya Allah SWT tidak meminta kecuali wudhu’, yang
menunjukkan kebolehan bersentuhan dan berjabat tangan.
Walaupun
demikian jabat tangan dengan wanita
dapat berubah statusnya menjadi haram apabila disertai dengan syahwat
dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita
(kalau keduanya dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi -penj.) atau dibelakang
itu dikhawatirkan terjadinya fitnah, menurut dugaan yang kuat (Gholaba
Adz-Dzon). Ketetapan diambil berdasarkan pada kaidah bahwa
menutup jalan menuju kerusakan itu adalah wajib, lebih-lebih jika telah tampak
tanda-tandanya dan tersedia sarananya. Hal ini diperkuat lagi oleh apa
yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya
yang pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila disertai
dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah, khususnya dengan anak
perempuan si istri (anak tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya
sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung, anak
kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau ibu, dan
sebagainya.
Begitu
pula terdapat keringanan berupa diperbolehkannya berjabat
tangan dengan wanita tua yang
sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak
kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan
dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki
sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita. Hal
ini didasarkan pada riwayat dari Abu
Bakar r.a. bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita
tua, dan Abdullah bin Zubair ra. mengambil pembantu wanita tua untuk
merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan
kepalanya dari kutu. Hal ini juga sudah ditunjukkan Al-Qur'an ketika
membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan
mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi
keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain
: "Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan
mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan
pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku
sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" [53][53] . Dikecualikan pula
laki-laki yang tidak memiliki gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka
dikecualikan dari tujuan larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam
hal menampakkan
perhiasannya ".
KHATIMAH :
Sebagai kata penutup, hendaknya semua pihak yang berbeda
pendapat termasuk dalam masalah hukum jabat tangan ini tidak menjadikan
perbedaan-perbedaan dalam masalah furu’ (cabang), sebagai sumber konflik yang
ujung-ujungnya akan merusak ikatan ukhuwah yang sedang kita rajut saat ini.
Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah
SWT : “Dan ingatkan ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat persaudaraan,
dan melembutkan hati kalian” [54][54] . Beliau
menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman untuk perbedaan dalam
masalah hukum-hukum cabang. Dengan cacatan pendapat-pendapat tersebut memiliki
landasan dari sumber hukum Islam yang legal seperti Al-Qur’an, As-Sunnah , Ijma
Shohabat dan Qiyas dengan Illat yang Syar’i. Kita bisa melihat bagaimana
perilaku para salafus shaleh dalam menyikapi perbedaan yang terjadi diantara
mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul
Islam Ibn Taimiyah berikut : ‘’
Kaum Muslimin sepakat mengenai kebolehan sholat sebagian mereka dibelakang yang
lainnya. Adalah para Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam
yang empat , sholat sebagian dibelakang sebagian yang lainnya. Misalnya Imam
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya
sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari Ulama Malikiyah dan mereka tidak
membaca bismilah baik dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat dibelakang Imam Al-Rasyid yang
sedang berbekam. Dan Imam Ahmad memandang keharusan orang yang berbekam
untuk wudlu’, kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya: Bagaimana dengan
seorang imam sholat yang darinya mengeluarkan darah (sedang berbekam) dan belum
berwudlu’. Apakah kita boleh sholat dibelakang mereka ?.
Imam Ahmad menjawab: ”Apa yang menghalangimu untuk
sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan Imam Malik ?” [55][55] . Dari sini
kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah harus disikapi dengan
akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan kebencian dan permusuhan yang sangat
dilarang dalam Islam [56][56]
. Wallahu A’lam bi Showab .
Maraji :
KITAB
TAFSIR :
Kitab
Tafsir Ibn Katsier\Dar Al-Fikr – Beirut\1401 H oleh Al-Hafidz Ismail Ibn
Umar Ibn Katsier Ad-Dimsyaqi (Abu Fida’)
Tafsir
Al-Qurthubi\Dar Asy-Syu’ub – Qohirah\1372 H\Cetakan kedua oleh Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Abi bakar Ibn Farah Al-Qurthubi (Abu Abdullah)
Tafsir
Ath-Thobari\Dar Al-Fikr – Beirut\1405 H oleh Muhammad Ibn Jarir Ib Yazid Ibn
Kholid Ath-Thobari (Abu Ja’far)
kitab
Ahkam Al-Qur’an li Ibnu Al-Arabi jilid 4\ Maktabah Isa Al-Halabi -
Mesir\1968 H\ Cetakan Kedua oleh Imam Ibnul Arabi
Tafsir
Ad-Dar Al-Manshur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur oleh Al-Hafidz Jalaluddin
As-Suyuti
Tafsir
Al-Jalalain\Dar Al-Hadis - Qohirah\Tanpa
tahun\Cetakan Pertama oleh Muhamad Ibn
Ahmad, Abdurrahman Ibn Abi Bakr Al-Mahali, As-Suyuti
KITAB
HADIS :
Shohih Bukhori\Dar Ibn Katsier Al-Yamamah - Beirut\1987 M – 1407 H\Cetakan ketiga oleh Imam
Muhammad Ibn Ismail (Abu Abdullah
Al-Bukhori Al-Ju’fi)
Kitab
Shohih Muslim\Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Beirut\tanpa tahun oleh Imam
Muslim Ibn Hajjaj (Abul Husain Al-Qusyairi Al-Naisaburi)
Shohih
Ibn Hibban \Muasasah Ar-Risalah – beirut\ 1993 H – 1414 M\Cetakan kedua oleh Muhamad
Ibn Hibban Ibn Ahmad (Abu Hatim
At-Tamimi Al-Busti)
Kitab Mustadrak Ala Ash-Shohihain\Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah
- Beirut\1411 H – 1990 M\Cetakan pertama oleh Imam Muhammad Abdurrahman (Abu
Abdullah Al-Hakim Al-Naisaburi)
Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra\Maktab Dar Al-Baz – Makah
Al-Mukarromah\1994 M – 1414 H oleh Muhammad Ibn Husain Ibn Ali Musa (Abu
Bakar Al-Baihaqi)
Kitab Mushonaf Abdurrozaq\Al-Maktab Al-Islami –
Beirut\1403 H\Cetakan kedua oleh Al-Hafidz Abu Bakr Abdurrozaq Ibn Humam
Ash-Shon’ani) .
Sunan Ad – Daruqutni\Dar Al-Ma’arif – beirut\1966 M –
1386 H oleh Ali Ibn Umar (Abu Al-Hasan Ad-Daruqutni Al-Baghdadi)
Sunan Abi Dawud\Dar Al-Fikr\Tanpa Tahun oleh Sulaiman
Ibn Al-Asya’sy (Abu Dawud As - Sijistani Al-Azdi)
Sunan An-Nasa’i\Al-Maktab Al-Matbuat Al-Islamiyah
Al-Halb\1986 M – 1406 H\Cetakan kedua oleh Ahmad Syua’ib (Abu Abdurrahman
An-Nasa’i)
Sunan Ibn Majah\Dar AL-Fikr - beirut\tanpa tahun oleh Muhammad Ibn Yazid
(Abu Abdullah Al-Qozwaini)
Muwatho’ Imam Malik\Dar Ihta’ At-Turats Al-Arabi - Mesir\tanpa tahun oleh Malik Ibn Anas (Abu
Badullah Al-Ashba’i)
Musnad Imam Ahmad\Muasasah Qurthubah – Mesir oleh
Ahmad Ibn Hambal (Abu Abdullah Asy-Syaibani)
Sunan At-Tirmidzi\Dar Ihya’ Al-Turats Al-Arabi –
Beirut\tanpa tahun oleh Muhammad Ibn Isa (Abu Isa At-Tirmidzi As-Salami)
Syarh Ma’ani Al-Atsar\dar Al-Kitab Al-Ilmiyah –
Beirut\1499 H \Cetakan Pertama oleh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Sulaiman Ibn
Abdul Malik Ibn Salamah (Abu Ja’far Ath-Thohawi)
Mu’jam Al-Ausath\Dar Al-Haramain – Al-Qohirah\1415 H oleh
Abul Qosim Ibn Ahmad Ath-Thabrani
Mushonnaf Abi Syaibah \Maktab Ar-Rusyd – Riyadh\1409
H\Cetakan Pertama oleh Imam Abu Bakr Abdullah Ibn Muhammad Ibn Abi Syaibah
Al-Kufi
KITAB SYARAH HADIS :
At-Tamhid li Ibn Abdil Bar\Wazirah Umum Al-Awqot wa
Asy-Syu’un Al-Islamiyah Al-Maghrib\1387 H oleh Abu Umar Yusuf Ibn Abdullah
Ibn Abdil Bar An-Namani
Fathul bari\Dar Al-Ma’arif - Beirut\1379 H oleh Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar
(Abul Fadhal Al-Asqolani Asy-Syafi’i)
Fathu Al-Bari jilid 10\ Maktabah Musthafa Al-Halabi –
Mesir\1959 M oleh Ahmad Ibn Ali
Ibn Hajar (Abul Fadhal Al-Asqolani Asy-Syafi’i)
Kitab Tuhfatul Ahwadzi\Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah –
Beirut\tanpa tahun oleh Imam Muhammad Abdurahman Ibn Abdurrahim
Al-Mubarakfury (Abu Ala)
KITAB USHUL FIQH :
Al-Ihkam
fi Al-Ushul Al-Ihkam li Al-Amidi\Dar Al-Kutub Al-Islamiyah – Beirut\1400 H oleh
Imam Saifuddin Al-Amidi
Al-Mahshul
fi llmi Ushul \Jami’ah Imam Muhammad Ibn Su’ud Al-Islamiyyah\1401 H oleh Fakhrudin
Muhammad Ibn Umar ibn Husain Ar-Razi
Syarh
Asnawi Nihayatu As-Saul Syarh Minhaju Al-Wushul Ila Ilmi Al - Ushul
Al-Baidhawi\Maktabah Muhammad Ali Shabaih –Kairo\tanpa tahun oleh Abi
Muhamamd Abdurahman Ibn Hasan Al-Asnawi
Al-Ihkam
fi Ussul Al-Ihkam\maktabah Al-Athif – Kairo\1398 H oleh Imam Abi Muhammad
Ali Ibn Hazm Al-Andalusi
Irsyad
Al-Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq\ Musthafa Al-Halabi – Kairo \ 1356 H oleh Imam Asy-Syaukani
Kitab
Taisir Al-Ushul \Dar Ibn Hazm – Beirut\ 1997 M – 1418 H\Cetakan Kedua oleh Al-Hafidz Tsanaullah Az-Zaidi;
Mughni
lil Khobazi\Jami’ah Am-Ats-Tsarwi – Makah Al-Mukaramah oleh Imam Al-Khobazi
Ushul
As-Sarkhasi \Dar Al-Ma’rifah oleh Imam As-Sarkhasi
Tashil
Al-Wushul ila Ilmi Al-Ushul \Musthafa Al-Babi – Al-Qohirah oleh Imam
Muhammad Abdurrahman Ied Al-Mahalawi
Kasyful
Asrar Syarh Ushul Al-Bazdawi\ Dar Al-Kitab Al-Arabi - Beirut oleh Imam
Al-Bazdawi
Fathul
Ghofar \Mushthafa Al-Babi – Al-Qohirah oleh Imam Ibn Najim
Taisir Wushul Ila Al-Ushul \Dar Al-Umah\2000 M –1421
H\Cetakan Ketiga oleh Al-Ustadz Atha
Ibn Kholil
Syaksiyah Al-Islamiyah jilid 2 dan 3\Hizbut Tahrir –
Al-Quds\1953 M – 1372 H\Cetakan Kedua oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani
Ilm Ushul Al-Fiqh\Markaz Al-Ghozali Al-Islami Qism
Ad-Dirasat Al-Islamiyah Al-Ulya\Cetakan pertama\tanpa tahun oleh DR. Abdurrahman
An-Nashir Al-Baghdadi
Studies
in Ushul Fiqh \Islamic Kultur Workshop – USA\Cetakan Kedua\tanpa tahun oleh Al-Ustadz
Iyadh Hilal
Mukhtalif
Al-Hadis baina Al-Fuqoha wa Al-Muhaddis\Dar Al-Wafa’\1993 M – 1414 H\Cetakan
pertama oleh DR. Nafaz Husain Hamaw
Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islam \Penerbit Al-Ma’arif – Bandung\1997 M\Cetakan
Keempat oleh Prof. DR. Fatturahman dan Prof.DR. Mukhtar Yahya).
KITAB
FIQH :
Majmu'
Fatawa li Ibn Taimiyah\Maktabah Ar-Riyadh\tanpa tahun oleh Imam Ibnu
Taimiyah
Al-Mughni
li Ibn Qudamah\Maktabah Ar-Riyadh\tanpa tahun oleh Imam Ibnu Qudamah
Subul
As-Salam \Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi – Beirut\1379 H\Cetakan Keempat oleh Imam
Muhammad Ibn Ismail Ash-Shan’ani Al-Amir
KITAB
KONTEMPORER :
Kitab Adab Al-Ikhtilaf\Ma’had Al-Alami li Al-Fikr
Al-Islami – Washinton – USA\1987 M – 1407 H\Cetakan Kedua oleh DR.
Thoha Jabir Fayadh Al-Ulwan
Malang, 13 Ramadhan 1423 H
Muhammad Lazuardi Al-Jawi
3 Lihat Tafsir Ibn Jarir Ath-Thobari jilid 16\hal 206-207, Dar Al-Fikr
-- Beirut\1405 H ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 11\hal. 240
5 HR. Imam Malik jlid 11\hal 331\No. 1775\Bab ma Ja’a fi Al-Ba’iah, HR.
Imam Ahmad jilid 6\No. 27051,27613,27635;Nasa’I jilid 7\hal. 149\No. 4181, Ibn
Majah jilid 2\hal 959\No.2874\bab Ba’iah An-Nisaa’;Ibn Hibban jilid 10\hal.
417\No. 4553; HR. Imam Baihaqi jilid 8\hal. 148; HR. Ad-Daruqutni jilid 4\hal. 146\No. 14
[9][9] Lihat kitab Asy-Syaksiyah Al-Islamiyah jilid 3\Bab
Al-Mubah\hal. 38 Oleh Imam Taqiyuddin An-Nabhani
[10][10] Lihat Taisir Wushul Ila Al-Ushul \Bab Al-Mubah\Hal. 19 Oleh Al-Ustadz Atha Ibn Kholil ;
Syaksiyah Al-Islamiyah jilid 3\Bab Al-Mubah\hal. 38 Oleh Imam Taqiyuddin
An-Nabhani ; Ilm Ushul Al-Fiqh\Bab Khithob At-Taklif\hal. 10 Oleh DR.
Abdurrahman Al-Baghdadi, Studies in Ushul Fiqh hal. 13 Oleh Al-Ustadz
Iyadh Hilal
[11][11] Lihat Mukhtalif Al-Hadis baina Al-Fuqoha wa
Al-Muhaddis hal. 238 oleh DR. Nafaz Husain Hamaw
[12][12] Lihat Al-Mahshul jilid 2\hal. 556 ; Syarh Asnawi jilid 3\hal. 167 ;
Al-Ihkam jilid 4\hal. 327; Irsyad Al-Fuhul hal. 227
[13][13] Lihat Sunan Tirmidzi jilid 1\hal 180\No.109\Bab Ma
Ja’a Idza Iltaqo Al-Khitananni Wajab Al-Ghosl
[14][14] HR. Ibn Majah jilid 1\hal 199\No. 608;
HR. At-Tirmidzi Bab Ath-Thoharoh\No. 102; HR. Imam Ahmad Baqi Musnad
AL-Anshor\No. 23.075, 23514,23673,23767, 23886,24120, 24714, 24832, HR. Imam
Malik Bab Ath-Thoharoh\No. 92-94; HR. Ibn Hibban jilid 1\hal. 117\No.1183;
Syarh Ma’ani Al-Atsar jilid 1\hal. 60
[15][15] HR. Imam Muslim jilid 1\hal. 269\No. 343; Sunan Ad-Darimi jilid 1\hal
212\No. 758 dari Abi Ayub Al-Anshori
[16][16] HR. Ibn. Hibban jilid 3\hal.451\No. 1175; HR.
At-Tirmidzi jilid 1\hal 181\No. 108;HR. Ad-Daruqutni jilid 1\hal. 11\No. 1\bab
fi Wujub Al-Ghosl bi Itiqo’ Al-Khitanain wa In Lam Yunzil ; Lihat juga Kitab
Ta’rudh Al-Adillati Asy-Syar’iah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Bainaha
terj.\hal. 213-214 Oleh DR. Muhammad Wafa’
[18][18] Lihat Kitab Taisir Al-Ushul hal. 155-162 oleh Al-Hafidz Tsanaullah
Az-Zaidi; Mughni lil Khobazi hal. 83 oleh Imam Al-Khobazi; Ushul
As-Sarkhasi jilid 1\hal. 110 oleh Imam As-Sarkhasi; Tashil
Al-Wushul hal. 248 oleh Imam Muhammad Abdurrahman Ied Al-Mahalawi;
Kasyful Asrar jilid 2\hal. 300-303 oleh Imam Al-Bazdawi; Fathul Ghofar
jilid 2\hal. 63 oleh Imam Ibn Najim
[19][19] Lihat Tafsir Ibn Katsier jilid 1\hal. 503-504 ; Tafsir Ad-Dar
Al-Manshur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur jilid 2\hal. 550-551 ; Fath Al-Bari Syarh
Shohih Al-Bukhori jilid 8\hal. 282-283
[22][22] (Surat Al-Hud -- ayat 114) (HR. Muslim dengan
lafadz ini dalam "Kitab at-Taubah," \No. 40).
[27][27] Lihat Kitab
Majmu' Fatawa oleh Imam Ibnu Taimiyah
jilid 21, hlm. 223-224\ terbitan ar-Riyadh
[38][38] Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-A’dzim li Ibn Katsier
jilid 1\hal. 503-505\Dar Al-Fikr – Beirut\1401 H
[39][39] Lihat Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra jilid 1\hal 126\No. 606 ; Majmu’
Zawa’id jilid 1\hal. 247 ; Sunan Daruqutni jilid 1\hal. 143-145\No. 29-32
[42][42] At-Tamhid li Ibn Abdil Barr jilid 12\hal.
172-173\Wazirah Umum Al-Auqof wa Syuun Al-Islamiyah –- Al-Maghrib\1387 H
[44][44] Lihat Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam hal. 254 oleh Prof. DR.
Fatturahman dan Prof. DR. Mukhtar Yahya
[49][49] HR. Imam Ahmad Musnad Al-Bashoriyyin\No. 19.867,
Musnad Al-Qoba’il\No. 26.046; lihat juga kitab Ahkam Al-Qur’an li Ibnu
Al-Arabi jilid 4\hal. 1779 Maktabah Isa Al-Halabi --- Mesir\1968 H\ Cetakan
Kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar