Kamis, 16 Oktober 2014

IDEOLOGI/AQIDAH

 TENTANG  ‘AQIDAH


Para Sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in tidak pernah menggunakan istilah aqidah ketika membahas masalah2 keimanan, mereka cukup menyebutnya dengan istilah al-Iman atau at-Tauhid. Pun demikian, para Ahli hadis ‘Senior’ seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam at-Tirmidzi, Imam Ibn Khuzaimah dll cukup dengan menggunakan istilah Al-Iman dan At-Tauhid ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah keimanan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang mereka tulis, tidak menggunakan istilah aqidah. Maka Imam Abu Ja’far Ath-Thohawil-lah yang pertama kali menggunakan istilah aqidah, ketika ia menulis satu kitab yang secara khusus membahas masalah yang berhubungan dengan masalah-masalah keimanan (Lihat Kitab ‘’Manhaj Al-Imam Ath-Thahawi fi Daf’it Ta’arudhi fi Kitabihi “Syarhi Musykilil Atsari’’ dalam bab ‘’Tarjamah Abi Ja’far Ath-Thahawi’’ yang merupakan tesis guru kami Ustadz Muhammad Munir Ibn Abdul Majid, MA untuk meraih gelas Master dalam bidang Ilmu Hadis, dibawah bimbingan DR. Husain Al-Juburi. di Universitas Al-Islamiyah Internasional Islamabad – Pakistan). Beliau hidup antara tahun 239 s\d 321 H (Ibid hal. 10), salah satu gurunya  adalah Imam An-Nasa’I (Ibid hal. 25). Masa hidup beliau adalah sesudah masa para Ahli Hadis ‘Senior’ sepeerti Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dll. Dan salah satu karya beliau adalah Kitab Aqidah yang kemudian lebih dikenal dengan kitab Aqidah Ath-Thahawiyah. Dimana ia mengambil dari pendapat Imam Abu Hanifah, sahabatnya yaitu Abu Yusuf  Ya’qub dan Muhammad Ibn Hasan (Ibid hal. 33).

Dan pada waktu itu, terjadi perbedaan diantara para ulama tentang definisi aqidah dan dalil yang digunakan untuk membangun masalah aqidah. Lalu Para Ulama mulai memberi beragam definisi atas aqidah, diantaranya :
1-           Sampainya perasaan pada sesuatu, sehingga menggerakkan hati kita serta mengarahkan gerak kita (Kitab Lisan Al-Arab, oleh Imam Ibn Mandzur)
2-           Pembenaran yang sempurna, yang tidak berkurang, dan menerima semua rukun iman dengan penuh keyakinan (Kitab Kubra Al-Yaqiniyat Al-Kauniyah oleh DR. Said ramadhan Al-Buthi).
3-           Aqidah Adalah Imam. Iman adalah pembenaran (keyakinan) yang bulat (jazm), sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil yang qath’I (Kitab At-Ta’rifat oleh Imam Al-Jurjani).
Walhasil, pembahasan tentang definisi masalah aqidah dan dalil yang ’layak’ digunakan untuk membangun masalah aqidah telah melibatkan para ulama dari berbagai cabang disiplin ilmu dien seperti ulama ahli ushul, ulama ahlut tafsir, ulama ahul lughah, ulama ahlul hadis dll. Oleh karena itu, pembahasan masalah ini tidak boleh dibatasi hanya dari sudut pandang ulama dalam disiplin ilmu tertentu, seperti sudut pandang ulama ahlul hadis saja atau yang semisalnya. Tapi harus pula memperhatikan pendapat dari para ulama lain yang memberi perhatian ‘khusus’ tentang kajian yang berkaitan dengan masalah ini. Walaupun itu harus melibatkan ulama dari berbagai disiplin ilmu dengan perspektif yang mereka miliki. Baru setelah itu diambil satu kesimpulan tentang aqidah dan dalil yang digunakan untuk membangun masalah aqidah menurut pendapat dengan argumentasi yang terkuat.




DEFINISI  'AQIDAH YANG SHAHIH


Berdasarkan hasil kajian Syeikh Fathi Salim dalam bukunya Al-Istidhlal bi dzonii fi aqidah (Yang sudah diterjemahkan oleh penerbit Al-Izzah – Bangil, dengan judul ‘’Hadis Ahad dalam Masalah Aqidah’’), dimana beliau melakukan kajiannya dengan melibatkan pembahasan para ulama dari berbagai perspektif (sudut pandang). Dan salah satu definisi yang muncul adalah yang dirumuskan oleh Imam Haramain Al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat bahwa definisi aqidah adalah ‘’Tashdiq Al-Jazm Al-Mutahabiq lil waqi’ ‘an dalilin qath’iyin’’ (pembenaran yang pasti, sesuai dengan realitas, dan dibangun dengan dalil yang qath’I) (sebagai catatan kitab At-Tari’fat adalah salah satu kitab terbaik dalam bidangnya dan menjadi rujukan para ulama, karena ia memuat definisi dari berbagai cabang ilmu dien mulai istilah yang khas dalam masalah ilmu aqidah, ulum al-qur’an, musthalah hadis, ushul fiqh, fiqh dll).
Walhasil, aqidah adalah imam. Iman adalah pembenaran (keyakinan) yang bulat (jazm), sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil yang qath’I (Kitab At-Ta’rifat, Imam Al-Jurjani).  Definisi ini dipilih karena ia memenuhi 2 syarat, sebagai definisi yang shahih yaitu :
a- Aspek Jami : aspek yang meliputi semua unsur yang dibahas dalam masalah aqidah.
b- Aspek Mani’ : aspek yang mecegah unsur yang tidak menjadi bagian dari pada aqidah.
Berdasarkan definisi aqidah ini, maka aqidah yang shahih harus memenuhi  unsur-unsur sebagai berikut :
a-     Bersifat pasti (tashdiq al-jazm), karena aqidah tidak boleh diambil kecuali berdasar keyakinan. Dan Allah mengharamkan seorang muslim membangun keyakinannya dengan dzan (dugaan). Sebab Allah mencela orang-orang yang membangun keimanannya dari sumber yang dzan (dugaan). Allah SWT berfirman :
‘’Mereka hanya mengikuti prasangka, padahal psasangka itu tidak akan memberikan kebenaran apapun’’ (Surat An-Najm – 28).
Allah mencela orang-orang yang mengikuti dzan dalam masalah aqidah, dan menganggap dzan sebagai kesesatan. Allah SWT berfirman :‘’Bila kamu muhammad mengikuti kebanyakan manusia yang berada di muka bumi, maka mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Karena mereka hanya mengikuti prasangka ‘’ (Surat Al-An’am – 116).
Bahkan Allah tidak menganggap dzan sebagai ilmu (pengetahuan yang pasti). Allah SWT berfirman ;
“Mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Mereka hanya mengikuti prasangka, padahal psasangka itu tidak akan memberikan kebenaran apapun’’ (Surat An-Najm – 28).
b-    Sesuai dengan realitas (al-mutahbiq al-waqi’). Apatah obyek aqidah yang realitasnya ditunjukan secara aqli (metode berfikir rasional) dan yang ditunjukkan secara naqli (ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir).
1-     Contoh obyek aqidah yang realitasnya ditunjukan secara aqli (metode berfikir rasional), seperti proses untuk menetapkan wujud Allah (berkaitan dengan ada – tidaknya Allah); kebutuhan akan nabi dan Rasul (sebagai penyampai risalah pada umat manusia); Al-Qur’an adalah kalamullah (Al-Qur’an adalah firman Allah SWT); dan qadha-qadar.
2-     Contoh obyek aqidah yang realitasnya ditunjukan secara secara naqli (ditetapkan berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadis muatawatir), seperti keimanan akan sifat dan nama Allah (Ar-Rahman, Al-Hayy, Al-Qayyum, Al-Ghani, Al-Awwal, Al-Akhir dll), Para Malaikat, Nabi dan Rasul (sebelum Nabi Muhammad SAW), Kitab Suci (sebelum al-Qur’an), seputar Hari Kiamat.
c-           Dibangun dengan dalil (sumber) yang memberi kepastian (an dalil al-qath’ii), yaitu Al-Qur’an dan hadis mutawatir.

Konsekuensi dari definisi ini adalah dalil dalam masalah aqidah harus dibangun dan dibatasi pada dalil yang terbukti qath’i. Dalil qath’I harus memenuhi dua kriteria : yaitu qoth’I tsubut dan qath’I dilalah (lihat lampiran trasnparasi ‘definisi aqidah’). Sehingga sekalipun ia adalah ayat Al-Qur’an atau hadis Mutawatir sekalipun, jika ia dzoni dilalah (memiliki lebih dari 1 makna - menurut pendapat terkuat), maka ia tidak dapat dijadilkan dalil dalam masalah aqidah. Akan tetapi materi yang terkandung didalamnya tidak boleh dingkari, tapi wajib untuk dibenarkan sesuai dengan penunjukan dalil, kalau dalil itu memberi faedah ilmu nadzari\dzan\ ghulabatudz dzon (dugaan keras) maka wajib bagi kaum muslimin untuk membenarkannya sesuai dengan apa yang ditunjukan oleh dalil tersebut, sekalipun masalah itu tidak termasuk dalam salah satu pembahasan masalah aqidah. Maka akan sulit unutk membangun dialog dengan kelompok yang ‘memaksakan’ membahas masalah aqidah hanya dari satu sudut pandang saja, apalagi kalau sudah dibumbui dengan penilaian sesat bahkan mengkafirkan terhadap para Ulama yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah ini. Ini adalah hal yang berbahaya dan dapat mengarahkan umat pada perpecahan.


- Perbedaan Aqidah dan Hukum Syara :
Dari segi maudhu’ (obyek pembehasan) ayat Al-Qur’an dan hadis nabi, dapat diklasifikasikan menjadi dua. Ada yang berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum syara :
a-  Jika khitab (seruan)-nya  berkisar tentang masalah Al-Qalb (hati), maka maudhu’nya adalah masalah aqidah. Khitab Al-Qalb itu adakalanya berbentuk perintah, kisah (qasas), berita (ahbar), yang semua menuntut untuk diyakini secara bulat. Seperti firman Allah SWT berikut :
Contoh ’khitab al-qalb’ dalam bentuk perintah :

أمنوا با الله ورسوله                                 

‘’Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya ‘’ (Surat Ali Imran – 136)

الله خالق كل شئ

‘’Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu (Ar-Ra’du – 16)

Contoh 'khitab al-qalb’ dalam bentuk kisah (Qasas) :

و اذ يرفع ابراهيم القواعد من اليبت

‘’(Dan) ketika Ibrahim mengangkat fondasi baitullah (Surat Al-Baqarah – 127).
Contoh ‘khitab al-qalb’ dalam bentuk berita (ahbar) :

يطاف عليه بأنيته من فضة

‘’(Dan) Diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak (Surat Ad-Dahr – 15). Atau nash syara’ yang lain yang tidak menuntut adanya perbuatan semuanya adalah termasuk aqidah.

b- Jika khitab (seruan)-nya  berkisar tentang masalah amal anggota tubuh (amal al-jawarih), berarti maudhu’-nya membahas hukum syara’. Seperti firman Allah SWT berikut :

فان أرضعن لكم فأتوهن أجور هن

‘’Dan bila mereka (para isteri yang sudah dicerai) menyusui anak-anak kamu, maka berilah nafkahnya’’ (Surat Ath-Thalaq-6).

أحل الله البيع

‘’Allah menghalalkan jual-beli’’ (Surat Al-Baqarah – 275).

الا أن يعفون أو يعفوا الذي بيده عقدة النكاح

‘’Kecuali mereka (para istri yang sudah melepaskan haknya dalam mendapatkan mahar) memaafkan atau dimaafkan oleh orang-orang yang memegang ikatan nikah (suami atau wali) (Surat Al-Baqarah – 237).
Atau sabda Rasul SAW :

لا صلاة الا بفا تحة الكتاب

‘’ Tidak sah sholat kecuali dengan membaca al-fatihah’’ (HR. Bukhari)

البيعان با الخيار مالم يتفرقا

‘’Kedua belah pihak (penjual dan pembeli) yang mengadakan transaksi boleh memilih (antara melangsungkan transaksi atau membatalkannya), selagi keduanya belum berpisah’’ (HR. Muslim).
Begitu pula nash syara’ yang lain, yang menghendaki adanya suatu aktifitas yang dilakukan oleh anggota badan (amal al-jawarih), semua itu dianggap hukum syara’.
Hukum Syara’ boleh diambil dari dalil dzani, seperti juga boleh diambil dari dalil qath’i. Oleh karena itu, hadis ahad dapat digunakan sebagai dalil untuk semua hukum syara’ dan wajib dilaksanakan, baik yang menyangkut hukum-hukum ibadah, muamalat, uqubat (sangsi), maupun hukum-hukum lainnya. Sebab Rasul SAW pernah bersabda :
عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه جبير قال ثم قام رسول الله  صلى الله عليه وسلم  بالخيف فقال  نضر  الله عبدا سمع مقالتي فوعاها ثم أداها إلى من لم يسمعها فرب حامل فقه لا فقه له ورب حامل فقه إلى من هو أفقه منه
‘’Semoga Allah memuliakan seseorang yang mendengar da memahami kata-kataku kemudian menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarnya. Betapa banyak pengemban ilmu fiqih yang belum mengeri hukum, dan betapa banyak orang yang menyampaikan masalah kepada orang yang lebih faqih darinya’’ (HR. Al-Hakim jilid 1\hal. 162 - no. 294).

Dalam hadis ini Rasul SAW menggunakan kata ‘abdan’, bukan kata ‘abidan’. Kata ‘Abdan’ adalah kata jenis yang bisa digunakan untuk menyebut satu orang atau banyak orang. Maka makna hadis ini adalah bahwa rasul SAW memuji al-wahid (seseorang) maupuan al-ahad (perorangan) yangsecara perorangan menyampaikan hadis. Selain itu Rasul SAW juga pernah mengutus 12 orang sebagai delegasi kepada 12 orang raja pada waktu yang bersamaan untuk menyampaikan dakwah islam. Setiap ututsan terdiri dari satu orang yang diberangkatkan ke arah yang berbeda-beda. Jika penyampaian dakwah Islam (tabligh) tidak wajib diikuti karena hanya disampaikan oleh satu orang, tentu Rasul SAW tidak akan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan tabligh (dakwah). Para Sahabat sesungguhnya telah bersepakat (ijma’) untuk menetapkan pelaksanaan hukum syara’ sekalipun berdasarkan khabar ahad.

Wilayah  Pembahasan  Pokok Aqidah :


Wilayah pembahasan  pokok aqidah meliputi pemikiran yang menyeluruh (tentang) keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat serta qadha – qadar, baik – buruknya berasal dari Allah SWT (Surat An-Nisaa’ – 36 dan HR. Bukhari – Muslim dari Umar Ibn Khatab ra.).
Sedang berbagai hadis yang maudhu’-nya adalah tentang masalah aqidah, status hadis-hadis tesebut beragam ada yang mutawatir dan ahad (seperti masyhur, azis, dan gharib).
Hadis-hadis itu membahas beragam tema yang berhubungan dengan masalah aqidah. Hadis-hadis ini fungsi utamanya sebagai ‘bayan’, maksudnya hadis-hadis ini menjadi penjelas dan memberikan rincian terhadap tema-tema pokok dalam aqidah yang dikenal dengan istilah ‘rukun iman’. Seperti contoh berikut :
1-     Hadis yang membahas sifat takjub, tertawa, bersemayam, ketinggiannya Allah SWT di Arsy dll, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada Allah SWT .
2-     Hadis yang membahas nama-nama, tingkatan, tugas para Malaikat dll, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada para Malaikat.
3-     Hadis yang membahas kitab-kitab sebelum Al-Qur’an dll, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada Kitab Suci .
4-     Hadis tentang jumlah nabi dan rasul, kenabian adam, Nuh sebagai Rasul pertama, kekhususan nabi SAW – (misalnya masuk surga, melihat penghuninya dan apa yang disediakan bagi orang yang beriman), dan masuknya darinya  bangsa jin ke dalam agama islam;  Allah mengharamkan atas bumi untuk memakan jasad para nabi dan rasul, syafa’at nabi SAW untuk pelaku dosa besar dari umatnya; banyak mukjizat Nabi Saw selain mukjizat al-Qur’an adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada Nabi dan Rasul .
5-     Hadis yang membahas siksa kubur, penyempitan liang; pertanyaan malaikat munkar dan nakir dalam kubur; kriteria tentang surga dan neraka, serta rincian hari kiamat seperti turunnya Isa pada saat menjelang ‘kiamat kubra’, bentuk dan orang yang melintasi ash-shirath, haudh (telaga) nabi, dan orang yang meminumnya sekali teguk - tidak akan haus selamanya, masuknya ke dalam surga tujuh ribu dari umatnya ke surga tanpa hisab, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada hari Kiamat dan hari Akhir .
6-     Hadis yang membahas qadha dan qadar, baik – buruknya dari Alllah SWT, dan Allah menulis atas setiap manusia kebahagiaan dan kesengsaraannya, rizki dan ajalnya; Qalam, lauh dan Allah menulis segala sesuatu didalamnya, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada qadha – qadar, baik – buruknya berasal dari Allah SWT.

Dan alasan yang sering mereka sampaikan juga banyak yang tidak ilmiah. Mereka berdalih bahwa konsep seperti ini tidak bisa atau sulit mereka fahami atau tidak mungkin diterapkan dsb. Padahal konsep seperti ini sudah dikaji dan diadopsi oleh ratusan bahkan ribuan ulama dari masa ke masa. Lalu kalau memang konsep seperti tidak dapat difahami dan tidak aplikatif, lalu bagaimana bisa ratusan atau bahkan ribuan ulama mengadopsi konsep ini dan mereka tuliskan dalam karya-karya mereka (Lihat tulisan kami yang berjudul ‘Sekali tentang hadis Ahad’). Dan sangat mudah bagi mereka yang akrab dengan kitab-kitab ‘kuning’ untuk mendapatkan pembahasan seperti ini, walaupun ada perbedaan pendapat diantara mereka dalam beberapa hal. Akan tetapi hal ini tidak sampai membuat mereka saling menyesatkan atau bahkan saling mengkafirkan seperti yang dilakukan oleh sebagian kelompok-kelompok ghulat (yang melampau batas). Dengan kesimpulan-kesimpulan mereka yang ‘prematur’ dan sebagian masih perlu dikaji secara lebih mendalam. Dan para Ulama Ahlul Tahqiq yang mempunyai kemampuan yang handal dan sudah mengkaji puluhan kitab berkaitan dengan masalah ini telah memberi kesimpulan yang serupa. Dan untuk membuktikan itu, silahkan para pembaca membaca buku-buku dan kitab yang menjadi rujukan mereka dalam menulis dan menyimpulkan bhawa hadis ahad hanya memberi faedah dzan, berbeda dengan kelompok yang hanya menukil satu atau dua kitab dan memiliki pemahaman yang sangat ‘terbatas’ tentang masalah ini, mulai dari segi histories, perspeltik para ulama tentang masalah ini dan bagaimana cara melakukan tarjih yang benar. Seperti yang dikemukan oleh DR. Mahmud Al-Kholidi (Guru besar Universitas Yarmuk –Yordania) dalam bukunya (yang berisi Desertasi beliau untuk meraih delar doktor dalam bidang syari’ah) yaitu Qowaid Nidzon Al-Hukmi hal. 363-364 :‘’Undzur Tafshilal qauli fi dalilil aqidah. Quwa Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Mutawatirat faqod. Wa ana haditsal ahadi laisa hujjatun li aqoidin fiima yalii’’ (Perhatikan penjelasan scr detail tentang dalil aqidah. Yaitu Al-Qur’an dan Hadis mutawatir saja dan hadis ahad adalah bukan dalil dalam masalah aqidah, sbb) :
1-        Kitab At-Talwih ‘ala at-taudhih, jilid 2\hal. 2-4\Tiba’ah (Penerbit) Shabih\tahun 1957
2-        Ushuludin lil Baghdadi hal. 12\Cetakan Pertama – Istambul\1968
3-        Kitabul Mu’tamad fi Ushulil hadis hal.21\Cetakan pertama – Auqaf Al-Iraq\Tahun 1971
4-        Kifayah fi ‘ilmil Riwayah lil Baghdadi hal. 16-17\Tiba’ah Al-Utsmaniyah\Tahun 1357 H
5-        Hasyiyatul Bananii ‘Ala Syarhil Jalaali Ala matani jami’il jawami’ jilid 2\hal.  120
6-        Nihayatus su’ali Syarhu minhajil Wushul fi ‘Ilmil Ushul\jilid 1\hal. 10; jilid 2\hal. 29\ Penerbit Shobih\Tahun 1951
7-        Shohih Muslim bi syarhi An-Nawawi\Jilid 1\hal. 132\At-Tiba’ah Al-Mishriyah – Al-Hamisy
8-        Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam li Ibn Hazm\jilid 1\hal. 107
9-        Al-Showa’iqu li Ibnil Qoyim jilid 2\hal. 482
10-    Al-Musawadah fi ‘Ilmil Ushul li Ibn Taimiyah hal. 42-44
11-    Fawatihul Ar-Rahamut bi syarhi muslim Ats-Tsubut jilid 2\hal. 121
12-    Nihayatus Sual fi ‘Ilmil Ushul lil Sarkhasi\ jilid 1\hal. 267 – Nuskhah Al-Afghanii – Al-Kitab Al-Arabi
13-    Hasyiyatul ‘Athar ‘Ala Syarhil Al-Jalaali Al-Mahalii\jilid 2\hal. 157
14-    Tafsir Al-Kasyaf\ jilid 4\hal. 422-424; jilid 1\hal. 587
15-    Al-Muwafaqot\Jilid 2\hal. 11\Tiba’ah Shobih\Tahun 1969
16-    Ushulut tasyri’ Al-Islamii – Ali Hasbullah\hal. 40\Cetakan kedua\Penerbit darul ‘Aarif\Tahun 1964
17-    Ushulul Fiqhi – Syeikh Zakiyuddin Sya’ban\hal. 62\Cetakan kedua\Penerbit Darut ta’lif\Tahun 1964
18-    Ushulul Fiqhi – Imam Muhammad Abu Zahrah\Hal. 102\Penerbit darul Fikri Al-‘Arabii\Tahun 1957
19-    Al-Ijtihadu wa madaa hajatuna ilaihi fi hadzal Ashri – DR. Sayid Musa\ Cetakan tahun 1972
20-    Ushulul Fiqhi – Syeikh Abbas Mutawalii Al-Hamidah\Hal. 85\Cetakan Dar An-Nahdhah\Tahun 1965
21-    Taudhihul Afkar li ma’anii tanqihil andzar – Imam Shan’anii\jilid 1\ hal. 24-25
22-    Manahijul Ijtihadi fil Islam – Syeikh Madkur\cetakan pertama\hal. 219, 508\Jami’ah Al-Kuwait
23-    Ushulul Fiqhi – Syeikh Badran Abu Al-Ainain Badran\Hal. 82\Penerbit Darul Ma’arif\Tahun 1965
24-    Ushulul Fiqhi – Syeikh Al-Khudhuri\jilid 252\Cetakan kelima\Tahun 1915\Penerbit Maktabah At-Tijariyah
‘’Undzur Al-Bahtsa Al-Manshura lana fi jaridah Ar-Ra’yi Al-Ami – Al-Kuwaitiyah bi tarikh 04\08\1987 wa 05\08\1978, 06\08\1979 bi unwanin : ‘’AlAqaid la tu’khadzu ilaa ‘ani yaqinin’’, wa yaqa’u fi 40 shufhah minal hajimil kabiri . Wa qad nasyartuhu radaa jama’ah As-Salafiyah Al-Mu’ashirin, liqaulihim bi ana khabaral ahadi yufidul yaqina (Lihat Kajian yang kami terbitkan di surat kabar “Ar-Ra’yu Al-‘Am” – Kuwait pada tanggal 04\08\1987 , 05\08\1978, dan 06\08\1979 dengan judul ‘’Aqidah tidak diambil kecuali dari (dalil yang memberi faedah) yakin yang terdiri dari 40 halaman. Dan Aku telah menerbitkannya sebagai bantahan kepada kelompok Salafi Kontemporer atas pendapat mereka yang menyatakan bahwa hadis ahad memberi faedah yaqin (hujah dalam masalah aqidah)). Hal ini diperkuat oleh DR. Muhammad Ajaj Al-Khotib (Guru Besar pada fakultas Syari’ah di Umiversitas Dimsyaq) bahwa ….Dzahaba Al-Hanafiyatu, wa Asy-Syafi’iyatu, wa jumhuru Al-Malikiyati wa ghairuhum ila annahu (ya’ni khabarul wahidi) yufidu Adz-Dzana wa yujibul ‘Amala …(Para Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Jumhur Malikiyah dll menegaskan bahwa ia (hadis ahad) hanya memberi faedah dzon dan wajib diamalkan (dalam masalah hukum furu’\cabang –pent) (Lihat kitab Ushul Al-Hadis ‘ulumuhu wa Musthalahuhu hal. 303 pada bagian footnote) (Lihat kitab Al-Ihkam li Ibn Hazm jilid 1\hal. 97, 108-122; Al-Mutashfa li Imam Al-Ghozali jilid 1\hal. 93-99; Al-Ihkam li Al-Amidi jilid 2\hal. 49-60). DR. Abdul Muhsin At-Turki – Ketua Rabithah ‘Alam Al-Islami di Mekkah dalam bukunya Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad dalam bab ‘Al-Istidlal bi ahaditsil ahad fil aqaid’ menyatakan bahwa ….Fal jumhuru yaruna ana Akhbaral ahadi tufidu ghalabatadz dzanni kama taaqadamma, Qad banuu ‘ala dzalika ra’yahum fi istidhlali fil aqqadi, fa qaluu : innahu yastadillu biha fil ahkamil amaliyati dunal ahkamil I’tiqadiyati (Jumhur ulama memandang bahwa khabar ahad memberi faedah ghalabatudz dzanni (dugaan keras) sebagimana sebelumnya. Dan mereka membangun pendapat mereka dalam masalah aqidah berdasarkan hal ini, kemudian mereka berkata : bahwa khabar ahad digunakan sebagai dalil dalam masalah hukum amaliyah bukan dalam masalah hukum aqidah) (Lihat Kitab Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad Ibn Hambal hal. 313,  bab ‘Al-Istidlal bi ahaditsil ahad fil aqaid’). Bahkan Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “ Sesungguhnya jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’  yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)”  ( Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal. 147-148).

Apakah para pembaca mulia akan percaya dengan ucapan dan tulisan dari ‘para penuntut ilmu’ (yang tidak jelas dalam bidang apa kemampuan akademis serta prestasi mereka, yang hanya pandai menulil saja !!!?) atau anda akan mengambil hasil kajian para Ulama yang terpercaya dibidangnya (karena mereka punya gelar akademis sehingga karya-karya mereka dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah) !!?? Kalau kami pilihannya jelas, yaitu hasil kajian para Ulama inilah yang dijadikan pegangan !!??  Wallalu A’lam bi Ash-Shawab.

ULAMA DAN PENGUASA SERTA PENGARUHNYA DALAM POLITIK ISLAM

ULAMA DAN PENGUASA SERTA PENGARUHNYA DALAM POLITIK ISLAM
 Umat Islam saat ini sedang mengalami suatu fase kemunduran yang sangat parah . kondisi ini merupakan maalapetaka yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya . Pemahaman umat secara berangsur-angsur tapi pasti sedang menuju titik terendah. Kenyataan ini menjadikan umat menyimpang dalam memahami hakikat islam sebagai ideologi atau mabda’. Tingkat ketakwaan umat dan para ulamanya menjadi lemah yang ditunjukkan dengan sikap mereka yang berdiam diri terhadap fenomena yang menyimpang dari Islam. sehingga menyebabkan umat tidak berani mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan problem-problem yang menimpa dirinya. Sikap inilah yang akan membawa kehancuran kehidupan kaum muslimin.Pada saat yang sama, secara intelektual umat islam mengalami peracunan dari barat ( tashmim al-gharbi wa ats-tsaqofi) dalam berbagi aspek kehidupan mereka. Dalam kurun waktu yang lama, umat Islam telah memisahkan diri dan sengaja dipisahkan dari ajaran islam yang diwujudkan dalam bentuk cara hidup sekuler (fashl ad-din ’anil hayah). Akibatnya umat islam mengalami keterasingan (aleanisasi) dari ajaran agamanya, dan proses peracunan pemikiran dan budaya Barat semakin gencar berlangsung melalui berbagai macam sarana media cetak dan laayar kaaca seiring dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan teknologi. kondisi ini semakin dipersulit dengan kemampuan para ulama Islam dan para cendekiawannya untuk melakukan counter dan dialog yang seimbang terhadap setiap pemikiran barat yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam seperti ide demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat (soverignity), HAM, pluralisme, civil socciety, nasionalisme, sosialisme dll. Lebih parah lagi, sebagian ulama yang menjadi panutan umat tergelincir dalam proses pembenaran terhadap berbagai konsepsi barat tersebut dan menganggapnya merupakan bagian dari Islam. Kemandulan intelektual ini sangat jelas merupakan akibat dari kemunduran pemikiran dan politik umat. Yang ujung-ujungnya akan berimbas pada tidak jelasnya sistem dan aturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan mereka. Dimana realitas semacam ini nampak pada sistem pemerintah di Dunia Islam yang ditegakkan di atas asas demokrasi dan sistem ekonomi yang kapitalistik yang sangat bergantung kepada “kemurahan”  Barat kepada negeri-negeri kaum muslimin.
 Siapakah Ulama ?Secara bahasa, ulama itu merupakan jamak dari dari kata alim yang berati orang berilmu. Syekh Abdul Aziz Al-Badri menambahkan, para ulama adalah ni’mat Allah untuk penghuni bumi, tanpa ulama manusia akan terjerumus dalam jurang kebodohan. Mereka adalah hujjah Allah di muka bumi ( Al-Islam bayna Al-Ulama’ wa Al-Hukam, hal 61-62).
Secara syar’i, Allah SWT dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai sifat dari ulama diatas, diantaranya adalah:Pertama, Ulama adalah orang-orang yang merupakan lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keterikatannya terhadap wahyu Allah SWT. Rasullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan Ulama dimuka bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad). Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “ Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).Seorang ulama rabbani tidak akan menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Misalkan, ia tidak akan menghalalkan darah sesama muslim hanya karena berbeda pendapat atau menuduhnya dan memberikan gelar yang buruk hanya karena tidak sesuai denga pendapat kelompoknya. Sebab, rasulullah SAW bersabda:“ Mencaci maki seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah perbuatan kufur” (HR. Muslim).Begitu pula seorang yang benar-benar ulama tidak akan menghalalkan sesuatu yang haram dengan alasan kemaslahatan seperti supaya investor tidak lari ke luar negeri. Dalam kaidah ushul yang digali dari berbagai nash disebutkan : “Dimana ada hukum syara di situ ada kemaslahatan”, bukan sebaliknya ( M. Muhammad Ismail, Al-Fikrul Al-Islam, hal. 24). Imam Nawawi Al-Bantani menjelaskan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama adalah hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki peabdian yang tinggi semata-semata  karena mencari keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan kemudian dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq, baik dalam masalah ibadat maupun muamalat. Beberapa ciri-ciri ulama menurutnya a.l:
(a)  Memiliki keimanan yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten terhadap kebenaran
(b) Memiliki sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas (fatanah), dan menyampaikan (tabligh)
(c)  Faqih fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm’
(d) Mengenal situasi dan kondisi masyarkat
(e)  Mengapdikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.
Kedua,Ulama itu berjuang di jalan Allah SWT serta senatiasa memberikan nasihat kepada para penguasa takkala mereka menyimpang dari Islam, sebagaimana sabda nabi SAW : “ Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiyat terhadap allah SWT”( HR. Muslim). Mereka tabah dan sabar menghadapi segala macam tantangan dan halangan, demi memperjuangkan Islam dan Umatnya. Bukan membela kepentingan pribadi, pimpinan, atau kelompoknya. Mereka senantiasa ingat akan sabda Rasullah SAW: “Barangsiapa melihat penguasa yang yang dzalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, melanggar janjinya dengan Allah SWT dan menyalahi sunnah Rasul-Nya, berbuat kejam dan aniaya terhadap hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang, dan orang itu tidak mencegahnya baik dengan tangan ataupun lisan, maka patutlah bagi orang itu menempati tempat yang telah disediakan oleh Allah SWT baginya.” (HR. Thabrani).
Ketiga, Ulama selalu menegakkan kewajiban dan mencegah kemungkaran. mereka tidak menyembunyikan apalagi memutarbalikkan syariat Islam. Mereka menyakini akan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah datang dari kami berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam Al-Qur’an, mereka dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat” (QS. Al-Baqarah [2] : 159).Keempat,Ulama itu bener-benar takut kepada Allah SWT; dalam hati, ucapan dan perbuatannya berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT :
Sessungguhnya mereka yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS. Al-Fathir [35] :28)
Dengan demikian seseorang dikatakan ulama tidaklah dilihat dari wajahnya, pakaiannya, gelarnya, julukannya, ataupun keturunannya, melainkan dari ilmu dan karakter-karakter tadi. Boleh jadi seseorang disebut ulama, tetapi, disisi Allah SWT bukanlah ulama.Kelima, Tidak menjadikan perbedaan dalam masalah furu’ (cabang), sebagai sumber konflik. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah SWT :
“ Dan ingatkan ketika Kami memberikan kepada kalian ni’mat persaudaraan, dan melembutkan hati kalian” . Beliau menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman untuk perbedaan dalam masalah hukum-hukum cabang. Dengan cacatan pendapat-pendapat tersebut memiliki landasan dari Al-qur’an dan hadis yang shahih. Kita bisa melihat bagaimana perilaku para salafus shaleh dalam menyikapi perbedaan yang terjadi diantara mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berikut : “ Kaum Muslimin sepakat mengenai kebolehan sholat sebagian mereka dibelakang yang lainnya. Adalah para Shahabat dan Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam yang empat , Sholat sebagian dibelakang sebagian yang lainnya. Barang siapa mengingkari hal ini maka dia adalah pelaku bid’ah yang sesat karena menyelisihi Al-Qur’an dan As-sunnah dan Ijma’ kaum muslimim. Para Shahabat dan Tabi’in, sebagian diantara mereka membaca bismillah dan sebagian yang lain tidak membacanya, walaupun demikiam sebagian diantara mereka tetap sholat dibelakang yang lainnya. Misalnya Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya sholat dibelakang imam-imam di Madinah dari Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca bismilah baik dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu Yusuf sholat dibelakang Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. DAn Imam Ahmad memandang keharusan orang yang berbekam untuk wudlu’, kemudian ada seseorang yang bertanya kepadanya: Bagaimana dengan seorang imam sholat yang darinya mengeluarkan darah (sedang berbekam) dan belum berwudlu’, Apakah kita boleh sholat dibelakang mereka ? Imam ahmad menjawab:” Apa yang menghalangimu untuk sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan Imam Malik ?” (al-Manfur, Fawakihul Adidah, juz 2 hal.171). Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf fiqhiyah harus disikapi dengan akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan kebencian dan permusuhan yang dilarang dalam Islam (Dr. Thoha Jabir Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf).
 Tidak Berpihak Kepada KedzalimanSalah satu Ulama hamba Allah SWT, terlebih-lebih ulama, adalah tidak mendiamkan, tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut:“Dan janganlah kalian cenderung (la Tarkanuu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian disentuh api neraka...” (QS. Hud [11] : 113)Ibnu Juraij menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti ‘jangan cenderung kepadanya’; Qatadah menyebutkan, ‘jangan bermesraan dan jangan mentaatinya’; sementara Abu Aliyah menerangkan kata itu berarti ‘jangan meridlai perbuatan-perbuatannya’.
Larangan cenderung tersebut ditujukan pada orang-orang mukmin agar tidak berpihak kepada orang-orang yang melakukan tindak kedzaliman. Allah SWT melarang cenderung kepada mereka karena dalam keberpihakan tersebutn terkandung pengakuan terhadap kekufuran, kedzaliman, dan kekasikan mereka. Pengakuan ini dipandang sebagai peran serta dalam dosa dan siksa.Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz II/416 mengutip beberapa pendapat berkaitan dengan hal ini. Dinyatakan bahwa Imam Ats-Tsauri berkata : “Di nereaka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur’an yang suka berkunjungkepada para penguasa”.Senada dengan hal ini, Imam Auza’i mengatakan, “Termasuk yang dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.” Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasullullah SAW bersabda : “ Siapa yang berdo’a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.
Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi hak-hak masyarakat serta tidak meninggalkan kebatilan. Terdapat seseorang yang mengiriminya suratnasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia menyebut tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebatilan yang mereka lakukan, pengakuan atas bencana yang mereka lakukan, dan pembenaran atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan keraguan para ulama serta akan diikuti masyarakat umum. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat “ Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”.Sementara itu, kedzaliman penguasa muslim itu ditunjukkan oleh perbuatannya yang tidak menerapkan aturan Islam. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT mewahyukan :” Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim (QS. Al-Maidah [5] : 45).
Ayat diatas ditujukan kepada manusia secara umum, termasuk juga kepada umat Islam. Seorang penguasa Islam yang tidak memerintah dengan apa-apa yang diturunkan allah SWT, yakni tidak menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh atau menerapakn sebagian dan meninggalkan sebagian lain., disebut oleh Allah SWT dalam ayat diatas sebagi orang yang berbuat kedzaliman apabila masih menyakini kelayakan Islam untuk diterapkan (Taqiyyuddin An-Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 228).Berdasarkan hal ini, seorang mukmin –terlebih-lebih lagi ulama- tidak akan mendukung kedzliman tersebut. Sebab, merka takut kepada Allah SWT yang kan membakarkan api neraka pada orang yang berbuat demikian seperti firmannya dalam surat Hud [11] ayat 113 tadi.Para Ulama Salafus Shaleh senantiasa berada digaris depan menentang setiap kedzliman yang dilakukan para penguasanya. Tatkala Khalifah Muawiyah memulai pidato pada suatu hari, Abu Muslim Al-Khaulani berdiri dan mengatakan tidak mau mendengar dan mentaati Khlifah. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab , “Karena engkau Khalifah telah berani memutuskan bantuan kepada kaum muslimin. Padahal harta itu bukan hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu.”. Mendengar itu Muawiyyah sangat marah, lalu turun mimbar, pergi, dan sejenak kembali dengan wajah yang basah. Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilahkan siapa saja yang merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari baitul mal (Al-Badri, Peran Ulama dan Penguasa, hal. 101). Begitu pula kisah Abu Hanifah yang menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far Al-Manshur dan menolak uang 10.000 ribu dirham yang akan diberiakan kepadanya. Kemudian ia ditanya oleh seseorang: “Apa yang anda berikan kepada keluarga anada, padahal anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab :”Keluargaku kuserahkan kepada Allah dan sebulan aku hanya cukup hidup dengan 2 dirham saja” ( M. Isa Selamat, 1001 Duka, Himpunan Kisah yang Menyayat hati ; Adz-dzahabi Siyarul Alam Al-Nubala juz 6). Ulama dan PolitikKuatnya proses depolitisasi dan deislamisasi yang terjadi selama ini mengakibatkan kesenjangan antara para ulama dan aktivitas politik. Tidak sedikit kaum muslimin yang beranggapan bahwa  politik identik dengan kekuasaan sehingga politik adalah sesuatu yang kotor dan najis yang harus ditinggalkan dan dijauhi . Pandangan ini tentu tidak benar dan harus segera diluruskan.  Bagi kaum muslimin termasuk diantaranya para ulamanya terlibat dengan aktivitas politik adalah sesuatu yang wajar, bahkan dapat menjadi sebuah keharusan. Alasannya, politil /siyasah dalam ajaran Islam dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah strategis dalam kerangka untuk memelihara urusan umat  (ri’ayah syu’un al-ummah). Pelaksana praktis aktivitas politik adalah daulah (negara), sedang umat melakukan muhasabah (kritik, saran dan nasihat) kepada penguasa (khalifah).Politik secara bahasa, berasal dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan. Maknanya adalah mengurus kepentingan seseorang. dalam kamus al-Muhith dinyatakan, “Sustu ar-ra’iyyata siyasatan (Saya memerintah rakyat dan melarangnya).Definisi diatas diambil dari hadis-hadis Rasullah  yang menunjukkan aktifitas penguasa, kewajiban untuk melakukan koreksi (muhasabah), dan pentingnya mnengurus berbagi kepentingan kaum muslimin. Rasul SAW sebagaimana dituturkan oleh Ma’qil ibn Yasar, bersabda:“Seseorang yang ditetapkan allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, sementara dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), maka dia tidak akan mencium bau surga. (HR. Bukhari).
Dalam hadis yang lain Rasul SAw bersabda : “Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan dia mati, sedangkan ia menipu umat, maka Allah SWT akan mengharamkan baginya masuk kedalam surganya”(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ummu Salamah menyatakan bahwa rasul SAW juga pernah bersabda :
Akan terdapat para penguasa, lalu kalian (ada yang) mengakuinya dan (ada yang) mengingkarinya), siapa saja yang mengakui perbuatannya (karena tidak bertentangan denga hukum syariat), maka dia tidak akan dimintai tanggung jawabnya; siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang bertentangan dengan hukum syariat) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, ‘Tidak, selama mereka menegakkan sholat (hukum-hukum Islam) (HR. Muslim).
 Khudzidfah r.a juga menuturkan bahwa Rasul SAW pernah bersabda:
“Siapa saja yang bangun pagi hari, sementara perhatiannya tertuju kepada yang selain Allah. Siapa saja yng bangun pada pagi hari dan tidak memperhatikan urursan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka” (HR. Al-Hakim dan Khatib).
Hadis-hadis diatas berkenaan denga para penguasa dan kedudukannya, pengoreksian umat terhadap para penguasanya, serta hubungan antar kaum muslimim dalam mengurus urusan mereka dan untuk saling menasehati diantara mereka. Semua itu menunjukkan makna politik yang sesungguhnya, yaitu mengurus kepentingan umat. Definisi politik semacam ini merupakan definisi syar’i (digali dari dalil-dalil syara’). Walhasil, politik (siyasah) dalam Islam adalah bermakna mengatur berbagai urusan umat, baik di dalam negari maupun di luar negeri (riayyah as-su’unil ummah dakhilan wa khrijiyan bi hukmi muayyanin) ( Abdul Qadim Zalum, At-Ta’rif ). ULAMA MEMBANGUN KEKUATAN POLITIK UMATAktivitas politik disini tentu saja dilaksanakan oleh negara. Negara adalah institusi yang melaksanakan aktifitas politik secara praktis. Artinya, secara internal, negara dalam Islam (khilafah) berfungsi untuk melaksanakan seluruh hukum-hukum Islam dalam seluruh wilayah kekuasaannya. Negara menerapkan aturan yang mengatur interaksi antar individu (muamalat), melaksanakan hukum pidana (hudud), memelihara akhlak dan etika, menjamin pelaksanaan ibadat, dan mengatur berbagai urusan rakyat sesuai dengan ketentuan syariat. Sementara secara eksternal, negara dalam Islam mengatur berbagai urusan politik luar negeri, umat dan bangsa lain; sekaligus mendakwahkan Islam keseluruh penjuru dunia.Pada sisi lain, aktifitas politik juga dilakukan oleh umat dan dipimpin oleh para ulama. Dengan cara mengoreksi (mengawasi) penguasa dan para aparatnya agar tidak menyimpang dalam pengurusan kemaslahatan umat dan penerapan syariat Islam. Muhasabah umat kepada para pengussanya adalah wajib dan mentaatinya selama tidak menyimpang dari Islam juga wajib. Allah SWT memerintahakan dengan tegas untuk mengganti para penguasa yang menyimpang dan merampas hak-hak rakyat, mengabaikan tugas-tugasnya, melalaikan kepentingan umat, dan penguasa melanggar syariat Islam atau penguasa memberlakukan hukum selain hukum Islam.Beberapa langkah strategis  yang harus dilakukan para ulama dalam rangka membangkitkan umat diantaranya adalah :(1)  Membangun kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana mereka memelihara urusannya. Untuk itu para ulama harus mampu menyakinkan umat bahwa solusi dari semua permasalahan mereka yang super kompleks adalah dengan mengambil dan menerapkan ide/konsepsi yang bersumber dari aqidah yang mereka yakini yaitu aqidah Islam.
(2) Menggalakkan kajian aqidah yang shahih dan kajian-kajian fikih yang lebih luas, yakni tidak hanya terbatas pada kajian yang membahas masalah bersuci, sholat, zakat, puasa dan haji semata, tetapi juga kajian-kajian fikih yang menjelaskan kenegaraan, perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan internasional,politik, ekonomi, sosial, jihad, serta masalah pendidikan dengan merujuk kepada kitab-kitab fikih mu’tabarah (valid). Sehingga semakin jelaslah konsep kehidupan dibawah naungan daulah khilafah bagi umat dan mereka tidak punya alasan lain kecuali memperjuangkannya dan berusaha merealisasikannya (An-Nabhani, Asy-Syaksiyah Islamiyah, juz II/7).
(3) Selain mengkaji kitab-kitab fikih klasik, para ulama hendaknya selalu berusaha mengkaitkan kajiannya dengan berbagai permasalahan aktual, dalam rangka menjelaskan pandangan Islam terhadap berbagi persoalan yang sedang berkembang. sehingga kaum muslimin tidak mudah terkecoh dengan ide dan pemikiran yang menyimpang dari Barat seperti demokrasi, kebebasan, HAM dll.
Selanjutnya para Ulama menentukan target apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki masyarakat. Untuk itu, ada dua hal mendasar yang harus dipahami:(a)  Persoalan utama umat yang mengakibatkan krisis multidimensional adalah karena aturan Islam tidak diterapkan secara menyeluruh untuk mengatur kehidupan masyarakat
(b) Cara pemecahan untuk persoalan ini adalah dengan melangsungkan kembali kehidupan yang Islami (Istina’f al-hayah al-Islamiyah), dalam arti menerapakan seluruh aturan dan hukum Islam yang terpancar dari aqidah yang diperoleh dari sebuah proses berpikir yang shohih.
(c)  Tidak terjebak dalam konflik yang hanya akan mengalihkan umat dari persoalan utama mereka yaitu pelaksanaan hukum-hukum Allah dan memperkuat jalinan kasih sayang diantara mereka dengan merajut tali akhuwah yang telah lama terkoyak dan hialang dari diri umat.
Berikutnya harus melakukan perang pemikiran dengan semua aqidah dan aturan yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah untuk mengubah opini ditengah tengah umat dari yang tidak Islami menjadi Islami. Masyarakat harus dididik tentang kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap Islam. Masyarakat harus menerapkan Islam dalam kehidupannya sebagai konsekuensi logis dari aqidahnya. Dorongan keimananlah yang pertamakali harus dibangkitkan dalam diri umat samapai mereka sadar dan menuntut penerapan Islam dalam kehidupan mereka. Disamping itu, ditengah-tengah umat harus dibentuk opini umum dan kesadarn untuk menolak semua konsepsi dan pemikiran yang bertentangan dengan Islam seperti ideologi kapitalsisme, sosialisme, komunisme, pluralisme, HAM dll. Dan pada saat yang bersamaan menjelaskan solusi konkrit untuk menggantikan semua konsep yang menyimpang itu. Dan perubahan pemikiran masyrakat dan penolakan terhadap semua yang diluar Islam merupakan kunci utama penerimaan dan sekaligus dukungan umat terhadap adpa yang dilakukan oleh para ulamanya. Walhasil, proses penyadaran umat merupakan aspek penting dalam perjuangan para ulama. KHATIMAHRasullah SAW bersabda :“Dua macam golongan manusia yang apabila keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka akan rusaklah masyrakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa” (HR. Abu Nu’im).Dalam hadis diatas Rasul SAW memberitahu kepada umatnya bahwa penguasa itu ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula ulama itu ada yang baik dan ada pula yang buruk. Lebih tegas lagi Nabi SAW menyatakan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :“Akan datang penguasa-penguasa fasik dan dzalim. Barang siapa percaya kepada kebohongannya dan membantu kedzlimannya, maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya dan dia tidak akan masuk surga”.Berkaitan dengan ini Imam Ghozali (Ihya ‘Ulumuddin, juz 7, hal. 92) menyatakan :“ Dulu tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT. Mereka mengikhlaskan niat dan pernyataanya membekas dihati. Namun, sekarang terdapat penguasa yang dzalim namun para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasialan. Kerusakan masyrakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan  para penguasa dan para pembesar”.
Berdasarkan uraian diatas tidak ada jalan lain bagi kaum muslimin untuk kembali kepada Islam dengan dipimpin oleh para ulama rabbani. Kebenaran Islam darimanapun datangnya harus diterima dan kebatilan yang dikukan oleh siapapun harus ditentang. Wallahu A’lam bi Showab. 

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...