Para Sahabat, tabi’in dan
tabi’it tabi’in tidak pernah menggunakan istilah aqidah ketika membahas
masalah2 keimanan, mereka cukup menyebutnya dengan istilah al-Iman atau
at-Tauhid. Pun demikian, para Ahli hadis ‘Senior’ seperti Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam at-Tirmidzi, Imam Ibn Khuzaimah dll cukup dengan menggunakan
istilah Al-Iman dan At-Tauhid ketika membahas hal-hal yang berkaitan dengan
masalah keimanan sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab hadis yang mereka
tulis, tidak menggunakan istilah aqidah. Maka Imam Abu Ja’far
Ath-Thohawil-lah yang pertama kali menggunakan istilah aqidah, ketika ia
menulis satu kitab yang secara khusus membahas masalah yang berhubungan dengan
masalah-masalah keimanan (Lihat Kitab ‘’Manhaj Al-Imam Ath-Thahawi fi
Daf’it Ta’arudhi fi Kitabihi “Syarhi Musykilil Atsari’’ dalam bab ‘’Tarjamah
Abi Ja’far Ath-Thahawi’’ yang merupakan tesis guru kami Ustadz Muhammad
Munir Ibn Abdul Majid, MA untuk meraih gelas Master dalam bidang Ilmu Hadis,
dibawah bimbingan DR. Husain Al-Juburi. di Universitas
Al-Islamiyah Internasional Islamabad – Pakistan). Beliau hidup antara
tahun 239 s\d 321 H (Ibid hal. 10), salah satu gurunya adalah Imam An-Nasa’I (Ibid hal. 25). Masa hidup
beliau adalah sesudah masa para Ahli Hadis ‘Senior’ sepeerti Imam Al-Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dll. Dan salah satu karya beliau adalah Kitab
Aqidah yang kemudian lebih dikenal dengan kitab Aqidah Ath-Thahawiyah. Dimana
ia mengambil dari pendapat Imam Abu Hanifah, sahabatnya yaitu Abu Yusuf Ya’qub dan Muhammad Ibn Hasan (Ibid hal. 33).
Dan pada waktu itu, terjadi
perbedaan diantara para ulama tentang definisi aqidah dan dalil yang digunakan
untuk membangun masalah aqidah. Lalu Para Ulama mulai memberi beragam definisi
atas aqidah, diantaranya :
1-
Sampainya perasaan pada
sesuatu, sehingga menggerakkan hati kita serta mengarahkan gerak kita (Kitab
Lisan Al-Arab, oleh Imam Ibn Mandzur)
2-
Pembenaran yang
sempurna, yang tidak berkurang, dan menerima semua rukun iman dengan penuh
keyakinan (Kitab Kubra Al-Yaqiniyat Al-Kauniyah oleh DR. Said ramadhan
Al-Buthi).
3-
Aqidah Adalah Imam.
Iman adalah pembenaran (keyakinan) yang bulat (jazm), sesuai dengan realitas,
dan bersumber dari dalil yang qath’I (Kitab At-Ta’rifat oleh Imam Al-Jurjani).
Walhasil, pembahasan tentang
definisi masalah aqidah dan dalil yang ’layak’ digunakan untuk membangun
masalah aqidah telah melibatkan para ulama dari berbagai cabang disiplin ilmu
dien seperti ulama ahli ushul, ulama ahlut tafsir, ulama ahul lughah, ulama
ahlul hadis dll. Oleh karena itu, pembahasan masalah ini tidak boleh dibatasi
hanya dari sudut pandang ulama dalam disiplin ilmu tertentu, seperti sudut
pandang ulama ahlul hadis saja atau yang semisalnya. Tapi harus pula
memperhatikan pendapat dari para ulama lain yang memberi perhatian ‘khusus’
tentang kajian yang berkaitan dengan masalah ini. Walaupun itu harus melibatkan
ulama dari berbagai disiplin ilmu dengan perspektif yang mereka miliki. Baru
setelah itu diambil satu kesimpulan tentang aqidah dan dalil yang digunakan
untuk membangun masalah aqidah menurut pendapat dengan argumentasi yang
terkuat.
DEFINISI 'AQIDAH YANG SHAHIH
Berdasarkan hasil kajian
Syeikh Fathi Salim dalam bukunya Al-Istidhlal bi dzonii fi aqidah (Yang
sudah diterjemahkan oleh penerbit Al-Izzah – Bangil, dengan judul ‘’Hadis Ahad
dalam Masalah Aqidah’’), dimana beliau melakukan kajiannya dengan
melibatkan pembahasan para ulama dari berbagai perspektif (sudut pandang). Dan
salah satu definisi yang muncul adalah yang dirumuskan oleh Imam Haramain
Al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat bahwa definisi aqidah adalah ‘’Tashdiq
Al-Jazm Al-Mutahabiq lil waqi’ ‘an dalilin qath’iyin’’ (pembenaran yang
pasti, sesuai dengan realitas, dan dibangun dengan dalil yang qath’I) (sebagai
catatan kitab At-Tari’fat adalah salah satu kitab terbaik dalam bidangnya dan
menjadi rujukan para ulama, karena ia memuat definisi dari berbagai cabang ilmu
dien mulai istilah yang khas dalam masalah ilmu aqidah, ulum al-qur’an,
musthalah hadis, ushul fiqh, fiqh dll).
Walhasil,
aqidah adalah imam. Iman adalah pembenaran (keyakinan) yang bulat (jazm),
sesuai dengan realitas, dan bersumber dari dalil yang qath’I (Kitab
At-Ta’rifat, Imam Al-Jurjani). Definisi
ini dipilih karena ia memenuhi 2 syarat, sebagai definisi yang shahih yaitu :
a-
Aspek Jami : aspek yang meliputi semua unsur yang dibahas dalam masalah aqidah.
b- Aspek Mani’ : aspek yang mecegah unsur yang tidak
menjadi bagian dari pada aqidah.
Berdasarkan
definisi aqidah ini, maka aqidah yang shahih harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a-
Bersifat pasti (tashdiq
al-jazm), karena aqidah tidak boleh diambil kecuali berdasar keyakinan. Dan
Allah mengharamkan seorang muslim membangun keyakinannya dengan dzan (dugaan).
Sebab Allah mencela orang-orang yang membangun keimanannya dari sumber yang
dzan (dugaan). Allah SWT berfirman :
‘’Mereka
hanya mengikuti prasangka, padahal psasangka itu tidak akan memberikan
kebenaran apapun’’ (Surat An-Najm – 28).
Allah
mencela orang-orang yang mengikuti dzan dalam masalah aqidah, dan menganggap
dzan sebagai kesesatan. Allah SWT berfirman :‘’Bila kamu muhammad mengikuti
kebanyakan manusia yang berada di muka bumi, maka mereka akan menyesatkanmu
dari jalan Allah. Karena mereka hanya mengikuti prasangka ‘’ (Surat Al-An’am –
116).
Bahkan Allah tidak menganggap dzan sebagai ilmu
(pengetahuan yang pasti). Allah SWT berfirman ;
“Mereka
sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang sesuatu. Mereka hanya mengikuti
prasangka, padahal psasangka itu tidak akan memberikan kebenaran apapun’’
(Surat An-Najm – 28).
b-
Sesuai dengan realitas
(al-mutahbiq al-waqi’). Apatah obyek aqidah yang realitasnya ditunjukan secara
aqli (metode berfikir rasional) dan yang ditunjukkan secara naqli (ditetapkan
berdasarkan nash Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir).
1- Contoh
obyek aqidah yang realitasnya ditunjukan secara aqli (metode berfikir
rasional), seperti proses untuk menetapkan wujud Allah (berkaitan dengan ada –
tidaknya Allah); kebutuhan akan nabi dan Rasul (sebagai penyampai risalah pada
umat manusia); Al-Qur’an adalah kalamullah (Al-Qur’an adalah firman Allah SWT);
dan qadha-qadar.
2- Contoh
obyek aqidah yang realitasnya ditunjukan secara secara naqli (ditetapkan
berdasarkan nash Al-Qur’an dan hadis muatawatir), seperti keimanan akan sifat
dan nama Allah (Ar-Rahman, Al-Hayy, Al-Qayyum, Al-Ghani, Al-Awwal, Al-Akhir
dll), Para Malaikat, Nabi dan Rasul (sebelum Nabi Muhammad SAW), Kitab Suci
(sebelum al-Qur’an), seputar Hari Kiamat.
c-
Dibangun dengan dalil
(sumber) yang memberi kepastian (an dalil al-qath’ii), yaitu Al-Qur’an dan
hadis mutawatir.
Konsekuensi dari definisi ini
adalah dalil dalam masalah aqidah harus dibangun dan dibatasi pada dalil yang
terbukti qath’i. Dalil qath’I harus memenuhi dua kriteria : yaitu qoth’I tsubut
dan qath’I dilalah (lihat lampiran trasnparasi ‘definisi aqidah’).
Sehingga sekalipun ia adalah ayat Al-Qur’an atau hadis Mutawatir sekalipun,
jika ia dzoni dilalah (memiliki lebih dari 1 makna - menurut pendapat terkuat),
maka ia tidak dapat dijadilkan dalil dalam masalah aqidah. Akan tetapi materi
yang terkandung didalamnya tidak boleh dingkari, tapi wajib untuk dibenarkan
sesuai dengan penunjukan dalil, kalau dalil itu memberi faedah ilmu
nadzari\dzan\ ghulabatudz dzon (dugaan keras) maka wajib bagi kaum muslimin
untuk membenarkannya sesuai dengan apa yang ditunjukan oleh dalil tersebut,
sekalipun masalah itu tidak termasuk dalam salah satu pembahasan masalah
aqidah. Maka akan sulit unutk membangun dialog dengan kelompok yang
‘memaksakan’ membahas masalah aqidah hanya dari satu sudut pandang saja,
apalagi kalau sudah dibumbui dengan penilaian sesat bahkan mengkafirkan
terhadap para Ulama yang berbeda pendapat dengannya dalam masalah ini. Ini
adalah hal yang berbahaya dan dapat mengarahkan umat pada perpecahan.
-
Perbedaan Aqidah dan Hukum Syara :
Dari segi maudhu’ (obyek pembehasan) ayat Al-Qur’an dan
hadis nabi, dapat diklasifikasikan menjadi dua. Ada yang berkaitan dengan
masalah aqidah dan hukum syara :
a- Jika khitab
(seruan)-nya berkisar tentang masalah
Al-Qalb (hati), maka maudhu’nya adalah masalah aqidah. Khitab Al-Qalb itu
adakalanya berbentuk perintah, kisah (qasas), berita (ahbar), yang semua
menuntut untuk diyakini secara bulat. Seperti firman Allah SWT berikut :
Contoh ’khitab al-qalb’ dalam bentuk perintah :
أمنوا
با الله ورسوله
‘’Berimanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya ‘’ (Surat Ali Imran – 136)
الله خالق كل شئ
‘’Allah-lah
yang menciptakan segala sesuatu (Ar-Ra’du – 16)
Contoh 'khitab al-qalb’ dalam bentuk kisah
(Qasas) :
و اذ
يرفع ابراهيم القواعد من اليبت
‘’(Dan) ketika Ibrahim mengangkat fondasi
baitullah (Surat Al-Baqarah – 127).
Contoh ‘khitab
al-qalb’ dalam bentuk berita (ahbar) :
يطاف
عليه بأنيته من فضة
‘’(Dan) Diedarkan kepada mereka bejana-bejana
dari perak (Surat Ad-Dahr – 15). Atau nash syara’ yang lain yang tidak menuntut
adanya perbuatan semuanya adalah termasuk aqidah.
b- Jika khitab (seruan)-nya berkisar tentang masalah amal anggota tubuh
(amal al-jawarih), berarti maudhu’-nya membahas hukum syara’. Seperti firman
Allah SWT berikut :
فان أرضعن لكم فأتوهن أجور هن
‘’Dan
bila mereka (para isteri yang sudah dicerai) menyusui anak-anak kamu, maka
berilah nafkahnya’’ (Surat Ath-Thalaq-6).
أحل الله البيع
‘’Allah menghalalkan jual-beli’’ (Surat Al-Baqarah – 275).
الا أن يعفون أو يعفوا الذي بيده عقدة
النكاح
‘’Kecuali mereka (para istri yang sudah melepaskan haknya dalam
mendapatkan mahar) memaafkan atau dimaafkan oleh orang-orang yang memegang
ikatan nikah (suami
atau wali) (Surat Al-Baqarah – 237).
Atau
sabda Rasul SAW :
لا صلاة الا بفا تحة الكتاب
‘’ Tidak
sah sholat kecuali dengan membaca al-fatihah’’ (HR. Bukhari)
البيعان با الخيار مالم يتفرقا
‘’Kedua
belah pihak (penjual dan pembeli) yang mengadakan transaksi boleh memilih
(antara melangsungkan transaksi atau membatalkannya), selagi keduanya belum
berpisah’’ (HR. Muslim).
Begitu pula nash syara’ yang lain, yang menghendaki adanya
suatu aktifitas yang dilakukan oleh anggota badan (amal al-jawarih), semua itu
dianggap hukum syara’.
Hukum Syara’
boleh diambil dari dalil dzani, seperti juga boleh diambil dari dalil qath’i.
Oleh karena itu, hadis ahad dapat digunakan sebagai dalil untuk semua hukum
syara’ dan wajib dilaksanakan, baik yang menyangkut hukum-hukum ibadah,
muamalat, uqubat (sangsi), maupun hukum-hukum lainnya. Sebab Rasul SAW pernah bersabda
:
عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه جبير قال ثم قام رسول الله صلى الله عليه وسلم بالخيف فقال
نضر الله عبدا سمع مقالتي فوعاها
ثم أداها إلى من لم يسمعها فرب حامل فقه لا فقه له ورب حامل فقه إلى من هو أفقه
منه
‘’Semoga Allah
memuliakan seseorang yang mendengar da memahami kata-kataku kemudian
menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarnya. Betapa banyak pengemban
ilmu fiqih yang belum mengeri hukum, dan betapa banyak orang yang menyampaikan
masalah kepada orang yang lebih faqih darinya’’ (HR. Al-Hakim jilid 1\hal. 162
- no. 294).
Dalam hadis ini Rasul SAW
menggunakan kata ‘abdan’, bukan kata ‘abidan’. Kata ‘Abdan’ adalah kata jenis
yang bisa digunakan untuk menyebut satu orang atau banyak orang. Maka makna
hadis ini adalah bahwa rasul SAW memuji al-wahid (seseorang) maupuan al-ahad
(perorangan) yangsecara perorangan menyampaikan hadis. Selain itu Rasul SAW
juga pernah mengutus 12 orang sebagai delegasi kepada 12 orang raja pada waktu
yang bersamaan untuk menyampaikan dakwah islam. Setiap ututsan terdiri dari
satu orang yang diberangkatkan ke arah yang berbeda-beda. Jika penyampaian
dakwah Islam (tabligh) tidak wajib diikuti karena hanya disampaikan oleh satu
orang, tentu Rasul SAW tidak akan mengirim seorang utusan untuk menyampaikan
tabligh (dakwah). Para Sahabat sesungguhnya telah bersepakat (ijma’) untuk
menetapkan pelaksanaan hukum syara’ sekalipun berdasarkan khabar ahad.
Wilayah Pembahasan
Pokok Aqidah :
Wilayah pembahasan pokok aqidah meliputi pemikiran yang
menyeluruh (tentang) keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat
serta qadha – qadar, baik – buruknya berasal dari Allah SWT (Surat An-Nisaa’ –
36 dan HR. Bukhari – Muslim dari Umar Ibn Khatab ra.).
Sedang berbagai hadis yang maudhu’-nya
adalah tentang masalah aqidah, status hadis-hadis tesebut beragam ada yang
mutawatir dan ahad (seperti masyhur, azis, dan gharib).
Hadis-hadis itu membahas beragam
tema yang berhubungan dengan masalah aqidah. Hadis-hadis ini fungsi
utamanya sebagai ‘bayan’, maksudnya hadis-hadis ini menjadi penjelas dan
memberikan rincian terhadap tema-tema pokok dalam aqidah yang dikenal dengan
istilah ‘rukun iman’. Seperti contoh berikut :
1-
Hadis yang membahas sifat
takjub, tertawa, bersemayam, ketinggiannya Allah SWT di Arsy dll, adalah
sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada Allah SWT .
2-
Hadis yang membahas
nama-nama, tingkatan, tugas para Malaikat dll, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema
keimanan pada para Malaikat.
3-
Hadis yang membahas
kitab-kitab sebelum Al-Qur’an dll, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan
pada Kitab Suci .
4-
Hadis tentang jumlah nabi
dan rasul, kenabian adam, Nuh sebagai Rasul pertama, kekhususan nabi SAW –
(misalnya masuk surga, melihat penghuninya dan apa yang disediakan bagi orang
yang beriman), dan masuknya darinya bangsa
jin ke dalam agama islam; Allah
mengharamkan atas bumi untuk memakan jasad para nabi dan rasul, syafa’at nabi
SAW untuk pelaku dosa besar dari umatnya; banyak mukjizat Nabi Saw selain
mukjizat al-Qur’an adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada Nabi dan Rasul
.
5-
Hadis yang membahas siksa
kubur, penyempitan liang; pertanyaan malaikat munkar dan nakir dalam kubur;
kriteria tentang surga dan neraka, serta rincian hari kiamat seperti turunnya
Isa pada saat menjelang ‘kiamat kubra’, bentuk dan orang yang melintasi
ash-shirath, haudh (telaga) nabi, dan orang yang meminumnya sekali teguk -
tidak akan haus selamanya, masuknya ke dalam surga tujuh ribu dari umatnya ke
surga tanpa hisab, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema keimanan pada hari Kiamat
dan hari Akhir .
6-
Hadis yang membahas qadha
dan qadar, baik – buruknya dari Alllah SWT, dan Allah menulis atas setiap
manusia kebahagiaan dan kesengsaraannya, rizki dan ajalnya; Qalam, lauh dan
Allah menulis segala sesuatu didalamnya, adalah sebagai ‘bayan’ atas tema
keimanan pada qadha – qadar, baik – buruknya berasal dari Allah SWT.
Dan
alasan yang sering mereka sampaikan juga banyak yang tidak ilmiah. Mereka
berdalih bahwa konsep seperti ini tidak bisa atau sulit mereka fahami atau
tidak mungkin diterapkan dsb. Padahal konsep seperti ini sudah dikaji
dan diadopsi oleh ratusan bahkan ribuan ulama dari masa ke masa. Lalu kalau
memang konsep seperti tidak dapat difahami dan tidak aplikatif, lalu bagaimana
bisa ratusan atau bahkan ribuan ulama mengadopsi konsep ini dan mereka tuliskan
dalam karya-karya mereka (Lihat tulisan kami yang berjudul ‘Sekali
tentang hadis Ahad’). Dan sangat mudah bagi mereka yang akrab dengan
kitab-kitab ‘kuning’ untuk mendapatkan pembahasan seperti ini, walaupun ada
perbedaan pendapat diantara mereka dalam beberapa hal. Akan tetapi hal ini
tidak sampai membuat mereka saling menyesatkan atau bahkan saling mengkafirkan
seperti yang dilakukan oleh sebagian kelompok-kelompok ghulat (yang melampau
batas). Dengan kesimpulan-kesimpulan mereka yang ‘prematur’ dan sebagian masih
perlu dikaji secara lebih mendalam. Dan para Ulama Ahlul Tahqiq yang mempunyai
kemampuan yang handal dan sudah mengkaji puluhan kitab berkaitan dengan masalah
ini telah memberi kesimpulan yang serupa. Dan untuk membuktikan itu, silahkan
para pembaca membaca buku-buku dan kitab yang menjadi rujukan mereka dalam
menulis dan menyimpulkan bhawa hadis ahad hanya memberi faedah dzan, berbeda
dengan kelompok yang hanya menukil satu atau dua kitab dan memiliki pemahaman
yang sangat ‘terbatas’ tentang masalah ini, mulai dari segi histories,
perspeltik para ulama tentang masalah ini dan bagaimana cara melakukan tarjih
yang benar. Seperti yang dikemukan oleh DR. Mahmud Al-Kholidi (Guru
besar Universitas Yarmuk –Yordania) dalam bukunya (yang berisi Desertasi beliau
untuk meraih delar doktor dalam bidang syari’ah) yaitu Qowaid Nidzon
Al-Hukmi hal. 363-364 :‘’Undzur Tafshilal qauli fi dalilil aqidah. Quwa
Al-Qur’an dan As-Sunnah Al-Mutawatirat faqod. Wa ana haditsal ahadi laisa
hujjatun li aqoidin fiima yalii’’ (Perhatikan penjelasan scr detail tentang
dalil aqidah. Yaitu Al-Qur’an dan Hadis mutawatir saja dan hadis ahad adalah
bukan dalil dalam masalah aqidah, sbb) :
1-
Kitab At-Talwih ‘ala
at-taudhih, jilid 2\hal. 2-4\Tiba’ah (Penerbit) Shabih\tahun 1957
2-
Ushuludin lil Baghdadi
hal. 12\Cetakan Pertama – Istambul\1968
3-
Kitabul Mu’tamad fi
Ushulil hadis hal.21\Cetakan pertama – Auqaf Al-Iraq\Tahun 1971
4-
Kifayah fi ‘ilmil
Riwayah lil Baghdadi hal. 16-17\Tiba’ah Al-Utsmaniyah\Tahun 1357 H
5-
Hasyiyatul Bananii ‘Ala
Syarhil Jalaali Ala matani jami’il jawami’ jilid 2\hal. 120
6-
Nihayatus su’ali Syarhu
minhajil Wushul fi ‘Ilmil Ushul\jilid 1\hal. 10; jilid 2\hal. 29\ Penerbit
Shobih\Tahun 1951
7-
Shohih Muslim bi syarhi
An-Nawawi\Jilid 1\hal. 132\At-Tiba’ah Al-Mishriyah – Al-Hamisy
8-
Al-Ahkam fi Ushulil
Ahkam li Ibn Hazm\jilid 1\hal. 107
9-
Al-Showa’iqu li Ibnil
Qoyim jilid 2\hal. 482
10- Al-Musawadah
fi ‘Ilmil Ushul li Ibn Taimiyah hal. 42-44
11- Fawatihul
Ar-Rahamut bi syarhi muslim Ats-Tsubut jilid 2\hal. 121
12- Nihayatus
Sual fi ‘Ilmil Ushul lil Sarkhasi\ jilid 1\hal. 267 – Nuskhah Al-Afghanii –
Al-Kitab Al-Arabi
13- Hasyiyatul
‘Athar ‘Ala Syarhil Al-Jalaali Al-Mahalii\jilid 2\hal. 157
14- Tafsir
Al-Kasyaf\ jilid 4\hal. 422-424; jilid 1\hal. 587
15- Al-Muwafaqot\Jilid
2\hal. 11\Tiba’ah Shobih\Tahun 1969
16- Ushulut
tasyri’ Al-Islamii – Ali Hasbullah\hal. 40\Cetakan kedua\Penerbit darul
‘Aarif\Tahun 1964
17- Ushulul
Fiqhi – Syeikh Zakiyuddin Sya’ban\hal. 62\Cetakan kedua\Penerbit Darut
ta’lif\Tahun 1964
18- Ushulul
Fiqhi – Imam Muhammad Abu Zahrah\Hal. 102\Penerbit darul Fikri Al-‘Arabii\Tahun
1957
19- Al-Ijtihadu
wa madaa hajatuna ilaihi fi hadzal Ashri – DR. Sayid Musa\ Cetakan tahun 1972
20- Ushulul
Fiqhi – Syeikh Abbas Mutawalii Al-Hamidah\Hal. 85\Cetakan Dar An-Nahdhah\Tahun
1965
21- Taudhihul
Afkar li ma’anii tanqihil andzar – Imam Shan’anii\jilid 1\ hal. 24-25
22- Manahijul
Ijtihadi fil Islam – Syeikh Madkur\cetakan pertama\hal. 219, 508\Jami’ah
Al-Kuwait
23- Ushulul
Fiqhi – Syeikh Badran Abu Al-Ainain Badran\Hal. 82\Penerbit Darul Ma’arif\Tahun
1965
24- Ushulul
Fiqhi – Syeikh Al-Khudhuri\jilid 252\Cetakan kelima\Tahun 1915\Penerbit
Maktabah At-Tijariyah
‘’Undzur Al-Bahtsa Al-Manshura lana fi jaridah Ar-Ra’yi
Al-Ami – Al-Kuwaitiyah bi tarikh 04\08\1987 wa 05\08\1978, 06\08\1979 bi
unwanin : ‘’AlAqaid la tu’khadzu ilaa ‘ani yaqinin’’, wa yaqa’u fi 40 shufhah
minal hajimil kabiri . Wa qad nasyartuhu radaa jama’ah As-Salafiyah
Al-Mu’ashirin, liqaulihim bi ana khabaral ahadi yufidul yaqina (Lihat Kajian
yang kami terbitkan di surat kabar “Ar-Ra’yu Al-‘Am” – Kuwait pada tanggal
04\08\1987 , 05\08\1978, dan 06\08\1979 dengan judul ‘’Aqidah tidak diambil
kecuali dari (dalil yang memberi faedah) yakin yang terdiri dari 40 halaman.
Dan Aku telah menerbitkannya sebagai bantahan kepada kelompok Salafi
Kontemporer atas pendapat mereka yang menyatakan bahwa hadis ahad memberi
faedah yaqin (hujah dalam masalah aqidah)). Hal ini diperkuat oleh DR. Muhammad Ajaj Al-Khotib (Guru Besar pada fakultas Syari’ah di Umiversitas
Dimsyaq) bahwa ….Dzahaba Al-Hanafiyatu, wa Asy-Syafi’iyatu, wa jumhuru
Al-Malikiyati wa ghairuhum ila annahu (ya’ni khabarul wahidi) yufidu Adz-Dzana
wa yujibul ‘Amala …(Para Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Jumhur Malikiyah
dll menegaskan bahwa ia (hadis ahad) hanya memberi faedah dzon dan wajib
diamalkan (dalam masalah hukum furu’\cabang –pent) (Lihat kitab Ushul
Al-Hadis ‘ulumuhu wa Musthalahuhu hal. 303 pada bagian footnote) (Lihat
kitab Al-Ihkam li Ibn Hazm jilid 1\hal. 97, 108-122; Al-Mutashfa li Imam
Al-Ghozali jilid 1\hal. 93-99; Al-Ihkam li Al-Amidi jilid 2\hal.
49-60). DR. Abdul Muhsin At-Turki – Ketua Rabithah ‘Alam Al-Islami di
Mekkah dalam bukunya Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad dalam bab ‘Al-Istidlal bi
ahaditsil ahad fil aqaid’ menyatakan bahwa ….Fal jumhuru yaruna ana Akhbaral
ahadi tufidu ghalabatadz dzanni kama taaqadamma, Qad banuu ‘ala dzalika
ra’yahum fi istidhlali fil aqqadi, fa qaluu : innahu yastadillu biha fil
ahkamil amaliyati dunal ahkamil I’tiqadiyati (Jumhur ulama memandang bahwa
khabar ahad memberi faedah ghalabatudz dzanni (dugaan keras) sebagimana
sebelumnya. Dan mereka membangun pendapat mereka dalam masalah aqidah
berdasarkan hal ini, kemudian mereka berkata : bahwa khabar ahad digunakan
sebagai dalil dalam masalah hukum amaliyah bukan dalam masalah hukum aqidah)
(Lihat Kitab Ushul Madzhab Al-Imam Ahmad Ibn Hambal hal. 313, bab ‘Al-Istidlal bi ahaditsil ahad fil
aqaid’). Bahkan Imam Jamaluddin Al-Qosimi menyatakan : “ Sesungguhnya
jumhur kaum muslimin dari kalangan sahabat, tabi’in, golongan setelah mereka
dari kalangan fuqoha, ahli hadis, dan ulama ushul berpendapat bahwa hadis ahad
yang terpercaya dapat dijadikan hujjah dalam masalah tasyri’ yang wajib diamalkan, tetapi hadis ahad ini
hanya menghantarkan pada Dzon tidak sampai derajat ilmu (yakin)” ( Lihat Kitab Qawaidut Tahdis hal. 147-148).
Apakah para pembaca
mulia akan percaya dengan ucapan dan tulisan dari ‘para penuntut ilmu’ (yang
tidak jelas dalam bidang apa kemampuan akademis serta prestasi mereka, yang
hanya pandai menulil saja !!!?) atau anda akan mengambil hasil kajian para
Ulama yang terpercaya dibidangnya (karena mereka punya gelar akademis sehingga
karya-karya mereka dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah) !!?? Kalau kami
pilihannya jelas, yaitu hasil kajian para Ulama inilah yang dijadikan pegangan
!!?? Wallalu
A’lam bi Ash-Shawab.