Perempuan , besar
ataupun kecil, merdeka atau budak. Sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu’
anhuma , beliau berkata :
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ
شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالانْثَى وَالصَّغِيرِ
وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ
النَّاسِ إِلَى الصَّلاةِ
Artinya : “Rasulullah
mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap hamba
sahaya dan orang merdeka, laki-laki dan wanita, kecil dan besar, laki-laki dan
wanita dari kalangan kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat fitrah itu
ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk shalat (Idul Fitri).” (HR.Bukhori
No. 1503 Muslim 984)
Zakat
Fitrah Dengan Uang
ZAKAT FITRAH DENGAN UANG
Achmad Zuhdi Dh
Pengantar:
Zakat
Fitrah atau Zakat al-Fitri adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap
orang Islam pada akhir Ramadlan, menjelang Idul Fitri.
Dalam
hadits Nabi Saw[1] diterangkan sebagai berikut:
عَنِ بْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ
عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ )رواه البخارى ومسلم(وفى البخارى
: وَكَانَ يُعْطُوْنَ قَبْلَ
الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Artinya:
Dari
Ibn Umar, katanya: “Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan
Ramadlan, sebanyak satu sha’ ( + 2,5 kg) kurma atau gandum atas
tiap-tiap muslim merdeka, hamba sahaya, laki-laki atau perempuan”.
(HR.al-Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat al-Bukhari ada keterangan: “mereka
membayar zakat fitrah itu sehari atau dua hari sebelum Idul Fitri”.
Dalam
hadits Nabi Saw[2] yang lain diterangkan:
عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِيْنِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ
وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ (رواه أبو داود وابن ماجة)
Artinya:
Dari Ibn Abbas ra, katanya:
“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang
berpuasa dan pemberi makan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikan
zakat fitrah sebelum shalat Idul fitri maka zakatnya akan diterima, dan
barangsiapa membayarnya sesudah shalat maka zakatnya itu dipandang sebagai
shadaqah biasa (HR. Abu Dawud dan Ibn Majah)
Permasalahan : “Bolehkah
mengeluarkan zakat fitrah dengan uang?”
Di kalangan ulama ahli fiqh, mereka
berbeda pendapat mengenai boleh tidaknya mengeluarkan zakat dengan harga (uang)
sebagai ganti dari nilai harta zakat yang harus dikeluarkan. Imam Syafi’i dan
Imam Maliki berpendapat tidak boleh mengeluarkan zakat dengan harganya,
sedangkan Imam Hanafi berpendapat boleh-boleh saja[3].
Munculnya perbedaan pendapat
mengenai boleh tidaknya mengeluarkan zakat fitrah dengan harga (uang) ini
dikarenakan adanya perbedaan dalam memahami apakah zakat itu merupakan ibadah
atau merupakan suatu hak bagi orang-orang miskin[4]. Bagi ulama yang memahami bahwa zakat itu
merupakan ibadah maka tidak boleh mengeluarkannya kecuali sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah dan RasulNya. Pendapat ini dianut oleh Imam Syafi’i,
Maliki dan Hanbali.
Menurut
Imam yang tiga (Syafi’i, Maliki dan Hanbali), tidak diperkenankan mengeluarkan
zakat dengan harganya (uang) baik untuk zakat fitrah maupun zakat lainnya.[5]
Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya
tentang mengeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah. Ia menjawab: “Aku
kuatir tidak diperkenankan, karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah
Saw.” Dikonfirmasikan kepadanya: “Bukankah orang-orang berkata bahwa Umar bin
Abdul Aziz telah mengambil harga zakat?”. Ia berkata: “Mereka meninggalkan
ucapan Rasulullah Saw dan mengambil pendapat seseorang!” Ibn Umar berkata:
“Rasulullah Saw telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadlan, sebanyak
satu sha’ ( + 2,5 kg) kurma atau gandum atas tiap-tiap muslim
merdeka, hamba sahaya, laki-laki atau perempuan. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dan Allah juga telah berfirman:
أَطِيْعُوااللهَ
وَأَطِيْعُواالرَّسُوْلَ ...(النساء’ 59)
Artinya: “Taatilah Allah dan
taatilah RasulNya...”(QS.Al-Nisa, 59)
Keterangan tersebut menegaskan
bahwasanya Ibnu Umar berpendapat tidak boleh mengeluarkan zakat dengan harga
atau uang. Karena menurutnya, cara itu dianggap bertentangan dengan sunnah
Rasulullah Saw. Pendapat ini juga dipegangi oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i.[6] Dalam hal ini, Ibn Hazm juga berpendapat
bahwa menyerahkan harga itu sama sekali tidak diperbolehkan, karena hal itu
berbeda dengan apa yang pernah diwajibkan oleh Rasulullah Saw.[7]
Adapun ulama yang berpendapat bahwa
zakat itu adalah merupakan hak bagi orang-orang miskin, mereka berpendapat
bahwa mengeluarkan zakat fitrah dengan harga atau uangnya itu boleh-boleh saja.
Pendapat ini dianut oleh Imam al-Tsauri, Imam Abu Hanifah dan teman-temannya.
Pendapat ini merujuk pada perbuatan yang pernah dilakukan oleh Umar bin Abdul
Aziz dan juga Hasan Basri[8].
Abu Syaibah meriwayatkan dari ‘Aun,
ia berkata: “Aku telah mendengar surat Umar bin Abdul Aziz yang dibacakan pada
‘Adi, Gubernur Basrah bahwa (zakatnya) diambil dari gaji pegawai kantor,
masing-masing setengah dirham”[9]. Imam Hasan berkata: “Tidak mengapa
dikeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah. Abu Ishaq berkata: “Aku
mendapatkan orang-orang membayar zakat fitrahnya pada bulan Ramadlan beberapa
dirham seharga makanannya.[10]
Beberapa alasan yang mendukung
pendapat bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan harga atau uang adalah
sebagai berikut:
Pertama,
dari Ibn Umar Rasulullah Saw bersabda[11]:
أَغْنُوْهُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ
(رواه البيهقى والدارقطنى عن بن عمر)
"Cukupkanlah mereka pada hari ini (Idul Fitri).
HR. al-Baihaqi dan al-Daruquthni
dari Ibn Umar ra
Zakat Fitrah dengan Uang, Bolehkah?
- by Ammi Nur Baits
- August 23, 2011
Mengganti zakat fitrah (zakat fitri) dengan uang
Assalamu
‘alaikum. Ustadz, bagaimana jika
saya membayar zakat fitrah dengan uang, bukan dengan makanan
pokok? Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Jazakallahu khairan.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Masalah ini
termasuk kajian yang banyak menjadi tema pembahasan di beberapa kalangan dan
kelompok yang memiliki semangat dalam dunia Islam. Tak heran, jika kemudian
pembahasan ini meninggalkan perbedaan pendapat.
Sebagian melarang
pembayaran zakat fitrah dengan uang secara mutlak, sebagian
memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tetapi dengan bersyarat, dan sebagian
lain memperbolehkan zakat fitrah dengan uang tanpa syarat.
Yang menjadi masalah adalah sikap yang dilakukan orang awam. Umumnya, pemilihan
pendapat yang paling kuat menurut mereka, lebih banyak didasari logika
sederhana dan jauh dari ketundukan terhadap dalil. Jauhnya seseorang dari ilmu
agama menyebabkan dirinya begitu mudah mengambil keputusan dalam peribadahan
yang mereka lakukan. Seringnya, orang terjerumus ke dalam qiyas
(analogi), padahal sudah ada dalil yang tegas.
Uraian ini bukanlah
dalam rangka menghakimi dan memberi kata putus untuk perselisihan pendapat
tersebut. Namun, ulasan ini tidak lebih dari sebatas bentuk upaya untuk
mewujudkan penjagaan terhadap sunah Nabi dan dalam rangka menerapkan firman
Allah, yang artinya, “Jika kalian berselisih pendapat dalam masalah apa pun
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kalian adalah orang yang
beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.s. An-Nisa’:59)
Allah menegaskan
bahwa siapa saja yang mengaku beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka setiap
ada masalah, dia wajib mengembalikan permasalahan tersebut kepada Alquran dan As-Sunnah.
Siapa saja yang tidak bersikap demikian, berarti ada masalah terhadap imannya
kepada Allah dan hari akhir.
Pada penjelasan
ini, terlebih dahulu akan disebutkan perselisihan pendapat ulama, kemudian di-tarjih
(dipilihnya pendapat yang lebih kuat). Pada kesempatan ini, Penulis akan lebih
banyak mengambil faidah dari risalah Ahkam Zakat Fitri, karya Nida’
Abu Ahmad.
Perselisihan ulama “zakat fitrah dengan uang”
Terdapat dua
pendapat ulama dalam masalah ini (zakat fitrah dengan uang). Pendapat pertama,
memperbolehkan pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) menggunakan mata uang. Pendapat
kedua, melarang pembayaran zakat fitri menggunakan mata uang. Permasalahannya
kembali kepada status zakat fitri. Apakah status zakat fitri
(zakat fitrah) itu sebagaimana zakat harta ataukah statusnya sebagai zakat
badan?
Jika statusnya
sebagaimana zakat harta maka prosedur pembayarannya sebagaimana zakat harta
perdagangan. Pembayaran zakat perdagangan tidak menggunakan benda yang
diperdagangkan, namun menggunakan uang yang senilai dengan zakat yang
dibayarkan. Sebagaimana juga zakat emas dan perak, pembayarannya tidak harus
menggunakan emas atau perak, namun boleh menggunakan mata uang yang senilai.
Sebaliknya, jika
status zakat fitri (zakat fitrah) ini sebagaimana zakat badan maka prosedur
pembayarannya mengikuti prosedur pembayaran kafarah untuk semua jenis
pelanggaran. Penyebab adanya kafarah ini adalah adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh badan, bukan kewajiban karena harta. Pembayaran kafarah harus
menggunakan sesuatu yang telah ditetapkan, dan tidak boleh menggunakan selain
yang ditetapkan.
Jika seseorang
membayar kafarah dengan selain ketentuan yang ditetapkan maka kewajibannya
untuk membayar kafarah belum gugur dan harus diulangi. Misalnya, seseorang
melakukan pelanggaran berupa hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan,
tanpa alasan yang dibenarkan. Kafarah untuk pelanggaran ini adalah membebaskan
budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir
miskin, dengan urutan sebagaimana yang disebutkan. Seseorang tidak boleh
membayar kafarah dengan menyedekahkan uang seharga budak, jika dia tidak
menemukan budak. Demikian pula, dia tidak boleh berpuasa tiga bulan namun
putus-putus (tidak berturut-turut). Juga, tidak boleh memberi uang Rp. 5.000
kepada 60 fakir miskin. Mengapa demikian? Karena kafarah harus dibayarkan
persis sebagaimana yang ditetapkan.
Di manakah posisi zakat fitri (zakat fitrah)?
Sebagaimana yang
dijelaskan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, pendapat yang lebih tepat dalam masalah
ini adalah bahwasanya zakat fitri (zakat fitrah) itu mengikuti prosedur kafarah
karena zakat fitri (zakat fitrah) adalah zakat badan, bukan zakat harta.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa zakat fitri adalah zakat badan –bukan
zakat harta– adalah pernyataan Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma
tentang zakat fitri.
Ibnu Umar radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri, … bagi kaum muslimin, budak maupun orang merdeka, laki-laki maupun
wanita, anak kecil maupun orang dewasa ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Abbas radhiallahu
‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan
zakat fitri (zakat fitrah), sebagai penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan
yang menggugurkan pahala puasa dan perbuatan atau ucapan jorok ….”(H.r.
Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
Dua riwayat ini
menunjukkan bahwasanya zakat fitri berstatus sebagai zakat badan, bukan zakat
harta. Berikut ini adalah beberapa alasannya:
- Adanya kewajiban zakat bagi anak-anak, budak, dan wanita. Padahal, mereka adalah orang-orang yang umumnya tidak memiliki harta. Terutama budak; seluruh jasad dan hartanya adalah milik tuannya. Jika zakat fitri merupakan kewajiban karena harta maka tidak mungkin orang yang sama sekali tidak memiliki harta diwajibkan untuk dikeluarkan zakatnya.
- Salah satu fungsi zakat adalah penyuci orang yang berpuasa dari perbuatan yang menggugurkan pahala puasa serta perbuatan atau ucapan jorok. Fungsi ini menunjukkan bahwa zakat fitri berstatus sebagaimana kafarah untuk kekurangan puasa seseorang.
Apa konsekuensi hukum jika zakat fitri (zakat fitrah) berstatus sebagaimana kafarah?
Ada dua konsekuensi
hukum ketika status zakat fitri itu sebagaimana kafarah:
- Harus dibayarkan dengan sesuatu yang telah ditetapkan yaitu bahan makanan.
- Harus diberikan kepada orang yang membutuhkan untuk menutupi hajat hidup mereka, yaitu fakir miskin. Dengan demikian, zakat fitri tidak boleh diberikan kepada amil, mualaf, budak, masjid, dan golongan lainnya. (lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 25:73)
Sebagai tambahan
wacana, berikut ini kami sebutkan perselisihan ulama dalam masalah ini.
Pendapat
yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang
Ulama yang
berpendapat demikian adalah Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan Al-Bashri, Atha’,
Ats-Tsauri, dan Abu Hanifah.
Diriwayatkan dari
Al-Hasan Al-Bashri, bahwa beliau mengatakan, “Tidak mengapa memberikan zakat
fitri dengan dirham.”
Diriwayatkan dari
Abu Ishaq; beliau mengatakan, “Aku menjumpai mereka (Al-Hasan dan Umar bin
Abdul Aziz) sementara mereka sedang menunaikan zakat Ramadan (zakat fitri)
dengan beberapa dirham yang senilai bahan makanan.”
Diriwayatkan dari
Atha’ bin Abi Rabah, bahwa beliau menunaikan zakat fitri dengan waraq
(dirham dari perak).
Pendapat yang melarang pembayaran zakat fitri (zakat fitrah) dengan uang
Pendapat ini
merupakan pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Mereka mewajibkan
pembayaran zakat fitri menggunakan bahan makanan dan melarang membayar zakat
dengan mata uang. Di antara ulama yang berpegang pada pendapat ini adalah Imam
Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan, Imam Malik dan Imam Ahmad
secara tegas menganggap tidak sah jika membayar zakat fitri mengunakan mata
uang. Berikut ini nukilan perkataan mereka.
Perkataan
Imam Malik
Imam Malik
mengatakan, “Tidak sah jika seseorang membayar zakat fitri dengan mata uang apa
pun. Tidak demikian yang diperintahkan Nabi.” (Al-Mudawwanah Syahnun)
Imam Malik juga
mengatakan, “Wajib menunaikan zakat fitri senilai satu sha’ bahan
makanan yang umum di negeri tersebut pada tahun itu (tahun pembayaran zakat
fitri).” (Ad-Din Al-Khash)
Perkataan
Imam Asy-Syafi’i
Imam Asy-Syafi’i
mengatakan, “Penunaian zakat fitri wajib dalam bentuk satu sha’ dari
umumnya bahan makanan di negeri tersebut pada tahun tersebut.” (Ad-Din
Al-Khash)
Perkataan
Imam Ahmad
Al-Khiraqi
mengatakan, “Siapa saja yang menunaikan zakat menggunakan mata uang maka
zakatnya tidak sah.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah)
Abu Daud
mengatakan, “Imam Ahmad ditanya tentang pembayaran zakat mengunakan dirham.
Beliau menjawab, “Aku khawatir zakatnya tidak diterima karena menyelisihi sunah
Rasulullah.” (Masail Abdullah bin Imam Ahmad; dinukil dalam Al-Mughni,
2:671)
Dari Abu Thalib,
bahwasanya Imam Ahmad kepadaku, “Tidak boleh memberikan zakat fitri dengan
nilai mata uang.” Kemudian ada orang yang berkomentar kepada Imam Ahmad, “Ada
beberapa orang yang mengatakan bahwa Umar bin Abdul Aziz membayar zakat
menggunakan mata uang.” Imam Ahmad marah dengan mengatakan, “Mereka
meninggalkan hadis Nabi dan berpendapat dengan perkataan Fulan. Padahal
Abdullah bin Umar mengatakan, ‘Rasulullah mewajibkan zakat fitri satu sha’
kurma atau satu sha’ gandum.’ Allah juga berfirman, ‘Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul.’ Ada beberapa orang yang menolak
sunah dan mengatakan, ‘Fulan ini berkata demikian, Fulan itu berkata demikian.”
(Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2:671)
Zahir mazhab Imam
Ahmad, beliau berpendapat bahwa pembayaran zakat fitri dengan nilai mata uang
itu tidak sah.
Beberapa perkataan
ulama lain:
- Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Allah mewajibkan pembayaran zakat fitri dengan bahan makanan sebagaimana Allah mewajibkan pembayaran kafarah dengan bahan makanan.” (Majmu’ Fatawa)
- Taqiyuddin Al-Husaini Asy-Syafi’i, penulis kitab Kifayatul Akhyar (kitab fikih Mazhab Syafi’i) mengatakan, “Syarat sah pembayaran zakat fitri harus berupa biji (bahan makanan); tidak sah menggunakan mata uang, tanpa ada perselisihan dalam masalah ini.” (Kifayatul Akhyar, 1:195)
- An-Nawawi mengatakan, “Ishaq dan Abu Tsaur berpendapat bahwa tidak boleh membayar zakat fitri menggunakan uang kecuali dalam keadaan darurat.” (Al-Majmu’)
- An-Nawawi mengatakan, “Tidak sah membayar zakat fitri dengan mata uang menurut mazhab kami. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Malik, Ahmad, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Majmu’)
- Asy-Syairazi Asy-Syafi’i mengatakan, “Tidak boleh menggunakan nilai mata uang untuk zakat karena kebenaran adalah milik Allah. Allah telah mengkaitkan zakat sebagaimana yang Dia tegaskan (dalam firman-Nya), maka tidak boleh mengganti hal itu dengan selainnya. Sebagaimana berkurban, ketika Allah kaitkan hal ini dengan binatang ternak, maka tidak boleh menggantinya dengan selain binatang ternak.” (Al-Majmu’)
- Ibnu Hazm mengatakan, “Tidak boleh menggunakan uang yang senilai (dengan zakat) sama sekali. Juga, tidak boleh mengeluarkan satu sha’ campuran dari beberapa bahan makanan, sebagian gandum dan sebagian kurma. Tidak sah membayar dengan nilai mata uang sama sekali karena semua itu tidak diwajibkan (diajarkan) Rasulullah.” (Al-Muhalla bi Al-Atsar, 3:860)
- Asy-Syaukani berpendapat bahwa tidak boleh menggunakan mata uang kecuali jika tidak memungkinkan membayar zakat dengan bahan makanan.” (As-Sailul Jarar, 2:86)
Di antara ulama
abad ini yang mewajibkan membayar dengan bahan makanan adalah Syekh Ibnu Baz,
Syekh Ibnu Al-Utsaimin, Syekh Abu Bakr Al-Jazairi, dan yang lain. Mereka
mengatakan bahwa zakat fitri tidak boleh dibayarkan dengan selain makanan dan
tidak boleh menggantinya dengan mata uang, kecuali dalam keadaan darurat,
karena tidak terdapat riwayat bahwa Nabi mengganti bahan makanan dengan mata
uang. Bahkan tidak dinukil dari seorang pun sahabat bahwa mereka membayar zakat
fitri dengan mata uang. (Minhajul Muslim, hlm. 251)
Dalil-dalil
masing-masing pihak
Dalil
ulama yang membolehkan pembayaran zakat fitri dengan uang:
- Dalil riwayat yang disampaikan adalah pendapat Umar bin Abdu l Aziz dan Al-Hasan Al-Bashri. Sebagian ulama menegaskan bahwa mereka tidak memiliki dalil nash (Alquran, al-hadits, atau perkataan sahabat) dalam masalah ini.
- Istihsan (menganggap lebih baik). Mereka menganggap mata uang itu lebih baik dan lebih bermanfaat untuk orang miskin daripada bahan makanan.
Dalil dan
alasan ulama yang melarang pembayaran zakat dengan mata uang:
Pertama, riwayat-riwayat yang menegaskan bahwa zakat fitri
harus dengan bahan makanan.
- Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, berupa satu sha’ kurma kering atau gandum kering ….” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, … sebagai makanan bagi orang miskin .…” (H.r. Abu Daud; dinilai hasan oleh Syekh Al-Albani)
- Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan, “Dahulu, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ kurma, satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur kering.” (H.r. Al-Bukhari dan Muslim)
- Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Dahulu, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan.” Kemudian Abu Sa’id mengatakan, “Dan makanan kami dulu adalah gandum, anggur kering (zabib), keju (aqith), dan kurma.” (H.r. Al-Bukhari, no. 1439)
- Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadan (zakat fitri). Kemudian datanglah seseorang mencuri makanan, lalu aku berhasil menangkapnya ….”(H.r. Al-Bukhari, no. 2311)
Kedua, alasan para ulama yang melarang pembayaran zakat
fitri dengan mata uang.
1. Zakat
fitri adalah ibadah yang telah ditetapkan ketentuannya.
Termasuk
yang telah ditetapkan dalam masalah zakat fitri adalah jenis, takaran, waktu
pelaksanaan, dan tata cara pelaksanaan. Seseorang tidak boleh mengeluarkan
zakat fitri selain jenis yang telah ditetapkan, sebagaimana tidak sah membayar
zakat di luar waktu yang ditetapkan.
Imam Al-Haramain Al-Juwaini
Asy-Syafi’i mengatakan, “Bagi mazhab kami, sandaran yang dipahami bersama dalam
masalah dalil, bahwa zakat termasuk bentuk ibadah kepada Allah. Pelaksanaan
semua perkara yang merupakan bentuk ibadah itu mengikuti perintah Allah.”
Kemudian beliau membuat permisalan, “Andaikan ada orang yang mengatakan kepada
utusannya (wakilnya), ‘Beli pakaian!’ sementara utusan ini tahu bahwa tujuan
majikannya adalah berdagang, kemudian utusan ini melihat ada barang yang lebih
manfaat bagi majikannya (daripada pakaian), maka sang utusan ini tidak berhak
menyelisihi perintah majikannya. Meskipun dia melihat hal itu lebih bermanfaat
daripada perintah majikannya . (Jika dalam masalah semacam ini saja wajib
ditunaikan sebagaimana amanah yang diberikan, pent.) maka perkara yang
Allah wajibkan melalui perintah-Nya tentu lebih layak untuk diikuti.”
Harta yang ada di
tangan kita semuanya adalah harta Allah. Posisi manusia hanyalah sebagaimana
wakil. Sementara, wakil tidak berhak untuk bertindak di luar batasan yang
diperintahkan. Jika Allah memerintahkan kita untuk memberikan makanan kepada
fakir miskin, namun kita selaku wakil justru memberikan selain makanan, maka
sikap ini termasuk bentuk pelanggaran yang layak untuk mendapatkan hukuman.
Dalam masalah ibadah, termasuk zakat, selayaknya kita kembalikan sepenuhnya
kepada aturan Allah. Jangan sekali-kali melibatkan campur tangan akal dalam
masalah ibadah karena kewajiban kita adalah taat sepenuhnya.
Oleh karena itu,
membayar zakat fitri dengan uang berarti menyelisihi ajaran Allah dan
Rasul-Nya. Sebagaimana telah diketahui bersama, ibadah yang ditunaikan tanpa
sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya adalah ibadah yang tertolak.
2. Di
zaman Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para
sahabat radhiallahu ‘anhum sudah ada mata uang dinar dan dirham.
Akan tetapi, yang
Nabi praktikkan bersama para sahabat adalah pembayaran zakat fitri menggunakan
bahan makanan, bukan menggunakan dinar atau dirham. Padahal beliau adalah orang
yang paling memahami kebutuhan umatnya dan yang paling mengasihi fakir miskin.
Bahkan, beliaulah paling berbelas kasih kepada seluruh umatnya.
Allah berfirman
tentang beliau, yang artinya, “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan
dan keselamatan) bagimu, amat berbelas kasi lagi penyayang terhadap orang-orang
mukmin.” (Q.s. At-Taubah:128)
Siapakah
yang lebih memahami cara untuk mewujudkan belas kasihan melebihi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam?