Rabu, 05 September 2018

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN


HUKUM MEMILIH PEMIMPIN
Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt:
-(Al-Maidah: 51)
-(Al-Maidah: 57).

-(Ali ‘Imran: 28).
-(An-Nisa’: 144)
-(An-Nisa’: 138-139).
-(Al-Mumtahanah: 1).
Ayat-ayat diatas semuanya merupakan dalil-dalil yang mengharamkan seorang muslim menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, baik dengan cara mendukung, membela maupun memilihnya.Ayat-ayat tersebut juga merupakan dalil-dalil yang mewajibkan umat Islam memilih pemimpin muslim. Inilah ajaran Islam yang wajib diketahui dan diamalkan oleh seorang muslim. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mendukung, membela dan memilih pemimpin muslim, sebagaimana perintah Allah swt di ayat-ayat Al-Quran di atas.
Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa persoalan memilih pemimpin kafir berkaitan erat dengan keislaman dan keimanan seseorang. Memilih pemimpin kafir dapat membatalkan keislaman dan keimanannya. Begitu pula mendukung dan membela orang kafir menjadi pemimpin serta menjadikan orang kafir sebagai TEMAN SETIA.
Hukumnya sama seperti orang yang memilih pemimpin kafir yaitu zhalim, munafik dan sesat. Karena, memilih orang kafir menjadi pemimpin itu berarti mendukung dan membelanya untuk menjadi pemimpin.
Selain itu, orang tersebut telah melanggar kewajiban al-walaa’ (mencintai dan berloyalitas kepada Allah Swt, Rasul-Nya dan umat Islam) dan al-baraa’ (membenci dan berlepas diri dari musuh-musuh Allah Swt, Rasul-Nya dan umat Islam, yaitu orang-orang kafir, musyrik, atheis/komunis dan orang-orang sesat). Dia telah berwalaa’ kepada orang kafir dan tidak melakukan al-baraa’.
Padahal, umat Islam wajib berwalaa’ kepada Allah Swt dan berbaraa’ terhadap orang kafir. Tentu saja sikapnya ini bisa membatalkan keislamannya. Kewajiban walaa’ dan baraa’ termasuk aqidah Islam. Semoga Allah Swt memberi petunjuk kepada kita dan menjauhkan kita dari kesesatan....
Jangan tanyakan lagi keharamannya memilih pemimpin yang tidak berniat melaksanakan Islam….

Senin, 19 Februari 2018

IMAM MAHDI TURUN SETELAH KHILAFAH TEGAK

MUNCULNYA DAULAH KHILAFAH SEBELUM KEHADIRAN IMAM MAHDI



x
Diantara kaum muslimin hari ini berada dalam paradigma keliru yang menyatakan bahwa takkan pernah tegak Khilafah Islam, kecuali tiba masanya kedatanya Imam Al-Mahdi. Sebagai pemimpin kaum muslimin yang telah dijanjikan oleh Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam yang akan membawa keadilan dan kedamaian di antara umat manusia.
Lebih lanjut, mereka juga ada yang beranggapan—seraya menyandarkan pada hadits Rasululloh  Shallallohu ‘alaihi wasallam tentang Nubuwwat Akhir Zaman—dengan menyatakan bahwa seandainya saja benar ada Daulah Khilafah sebelum era Al-Mahdi, pastilah tidak akan ada kedzaliman pada masa-masa sebelum datangnya Imam Mahdi. Sebab, dalam bayangan mereka, ketika Daulah Khilafah ini wujud di dunia ini, maka serta merta kehidupan akan menjadi nyaman dan tentram, sementara kezaliman akan sirna dengan sendirinya.
Kita berdo’a kepada Alloh Subhanahu wata’ala agar menjadikannya sebagai Daulah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam. Semoga Alloh memberikan pertolongan dan memberi petunjuk kepadanya dan kepada seluruh bala tentaranya, beserta seluruh rakyatnya. Dan semoga Alloh memudahkan seluruh kaum muslimin untuk berhijrah ke wilayah yang dikuasai oleh Daulah Khilafah ini, sertia mengambil mereka sebagai bagian dari bala tentaranya dan meraih Syahadah di jalanNya.  Dan hendaknya kita senantiasa berdo’a semoga Alloh Subhanahu wata’ala melapangkan hati dan memberi petunjuk kepada seluruh kaum muslimin untuk bersatu di bawah naungan Daulah Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah.  Aamiin!

Sabtu, 29 Juli 2017

MENGEJUDKAN !! JAWABAN Tak TERDUGA BUYA YAHYA Tentang KETUA PBNU Said A...

[ Orasi Aksi 287 ] Advokat Ormas Islam

Orasi Ust. Ismail Yusanto dalam Aksi 287

Aksi 287, Tolak PERPPU Ormas

'LANJUTAN' SU4SANA 4KS1 287 DIPADATI PULUHAN RIBU UM4T ISL4M T0LAK PERPP...

SUASANA 4KS1 287 DIPADATI PULUHAN RIBU UM4T ISL4M T0LAK PERPPU 0T0RITER

287 JAKARTA B4NJ1R MANUSIA LAGI !! ALUMNI 212 DAN GNPF MUI GELAR 4KS1 ME...

20 Ormas Dipastikan Ikut Aksi 287

Mars Perjuangan Al Maidah 51

Dengar Lagu ini Jadi Merinding, Terinspirasi dari aksi bela islam

Dengar Lagu aksi bela islam

TOKOH SYARIKAT ISLAM INDONESIA ANGKAT BICARA TENTANG RENCANA PEMBUBARAN HTI

Jumat, 28 Juli 2017


AKSI 287

Presidium Alumni 212 Bacakan 5 Resolusi Aksi 287

Cici Marlina Rahayu - detikNews
Presidium Alumni 212 Bacakan 5 Resolusi Aksi 287 Foto: Massa aksi 287 di depan Patung Kuda, Jakarta Pusat. (Cici Marlina-detikcom)
FOKUS BERITA: Aksi 287
Jakarta - Wakil Ketua Presidium Alumni 212 Hasri Harahap membacakan 5 resolusi Aksi Bela Islam 287. Mereka menilai pemerintah tidak simpatik pada umat Islam.

Resolusi itu dibacakan Hasri saat berorasi di atas mobil komando di depan Patung Kuda, Silang Monas Barat Daya, Jakarta Pusat, Jumat (28/7/2017). Eks Ketua Presidium Alumni 212 Ustaz Sambo juga ada di atas mobil komando.

Sebelum membacakan 5 resolusi, Hasri awalnya menyampaikan pandangannya tentang pemerintah Jokowi. Dia menilai Jokowi tidak simpatik pada sebagian umat Islam yang mengkritisi pemerintahannya.

Selain itu, kritik soal pembubaran ormas juga disampaikannya dalam orasi itu.

"Pembubaran ormas itu tidak lewat pengadilan bila hal ini dibiarkan, bila perlu ini disetujui dan dibenarkan oleh MK, pilar demokrasi hak asasi manusia yang dijamin di UUD 1945 langsung runtuh," ujarnya.

Karena itu, pihaknya mengeluarkan 5 resolusi Aksi Bela Islam 287. Berikut bunyinya:

1. Kepada seluruh umat Islam Indonesia, terlepas dari mazhab maupun partai yang diyakininya hakikatnya kita satu tubuh, Baginda Rasulullah bersabda, perumpamaan mukmin satu tubuh,

HTI adalah bagian integral dari umat Islam, HTI jadi korban pertama, dan kemungkinan besar akan ada korban lainnya. Mereka tidak sadar, mereka tidak sadar, karena mereka pada akhirnya akan menjadi target selanjutnya.

2. DPR RI berpikir lah ke depan jangan sampai kepentingan jangka pendek mempengaruhi jangka panjang. Jadilah lembaga yang sesungguhnya, jangan jadi tugas stempel dengan imbalan imbalan keduniaan.

3. Kepada MK, pertimbangkan lah dengan benar benar usaha judicial review dengan Perppu yang kontroversi itu. MK adalah benteng terakhir, apalagi keputusan MK bersifat final, mohon pertimbangkan, dan tidak langsung munculnya Perppu nomor 2/2017.

4. MUI diharapkan memberikan pendapat yang murni dari sisi agama, sehingga pendapat MUI menjadi berbobot, jangan membuka pintu masyarakat jadi rezim,

5. Kepada bapak presiden kami ingatkan bahwa kekuasaan politik di 2014 hanyalah titipan dari Allah, Allah berkenan atau memperpanjang, di dunia ini, tetapi juga berkenan kami harapkan dari presidium 212, khusus yang kami hormati, bapak presiden berkenan mencabutnya, berkenan mencabutnya, sesuai dengan kehendak Allah, tunaikan amanat kekuasaan rakyat secara hati-hati.
(idh/fdn)

Selasa, 25 Juli 2017


APA ITU BUGHOT ?



Apa itu Bughat???

     Salah satu istilah dalam siyasah syar’iyah yang penting untuk dipahami adalah istilah bughat. Istilah ini perlu dipahami kembali oleh kaum Muslim. Hal itu penting agar kaum Muslim tidak terjebak dalam upaya memanipulasi istilah bughat ini untuk mendukung rezim yang tidak Islami bahkan rezim yang tidak menerapkan hukum-hukum syariah dan sama sekali tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah Islam. Hal itu seperti yang terjadi di sebagian negeri Islam.

Makna Bahasa Bughat
      Bughât adalah bentuk jamak al-bâghi, berasal dari kata baghâ, yabghî, baghyan-bughyatan-bughâ`an. Kata baghâ maknanya antara lain thalaba (mencari, menuntut), zhalama (berbuat zalim), i’tadâ/tajâwaza al-had (melampaui batas), dan kadzaba (berbohong) (Ibrahim Anis, Mu’jam al-Wasith, 1972:64-65; Munawwir, Kamus al-Munawwir, 1984:65,106; Ali, 1998:341).    Jadi, secara bahasa, al-bâghi (dengan bentuk jamaknya al-bughât), artinya azh-zhâlim (orang yang berbuat zalim), al-mu’tadî (orang yang melampaui batas), atau azh-zhâlim al-musta’lî (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Attabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, 1998:295, Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, 1972: 65).

Makna Syar’i Bughat
      Para ulama beragam dalam mendefinisikan bughât, kadang mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] /pemberontakan (Abdul Qadir Audah, 1996 at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islami :673-674; Syekh Ali Belhaj, 1984, Fashl al-Kalâm fî Muwâjahah Zhulm al-Hukkâm :242-243).
Menurut ulama Hanafiyah al-Baghy[u] adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-bâghi adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq (Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Muhammad bin Abdul Wahid as-Siyuwasi, Syarhu Fathul Qadir, IV/48).
Ulama Malikiyah menjelaskan al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk menaati imam (khalifah) yang sah dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) sekalipun karena alasan ta`wil (penafsiran agama). Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menurunkannya (A-Zarqani, Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
Ulama Syafi’iyah mengartikan bughât adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthâ’) dalam kelompok tersebut (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197-198; Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).
Bughat juga diartikan sebagai orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati (Asna al-Mathalib, IV/111).
Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughât adalah pemberontakan sekelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthâ’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy, II/674).
Menurut ulama Hanabilah Bughat adalah orang-orang yang memberontak kepada imam –walaupun ia bukan imam yang adil– dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka (Syarah al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
Ibn Hazm mendefinisikan Bughât adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520). Al-Baghyu adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).
Sedangkan menurut ulama Syiah Zaidiyah, Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam (ar-Rawdh an-Nadhir, IV/331).

Definisi Yang Rajih
      Perbedaan definisi yang ada disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah, ibid, 1996:674). Sedangkan syarat merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, sehingga syarat yang sah adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat ‘âdiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, al-Muwafaqat, I/186). Oleh karenanya tentang syarat bughât kita harus merujuk kepada dalil-dalil syar’i. Dalil tentang bughât adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Abdurrahman Al-Maliki, 1990:79), hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam III bab Qitâl Ahl Al-Baghî hal. 257-261; Abdul Qadir Audah, 1992, at-Tasyri’ al-Jina’iy, hal 671-672) dan ijma’ shahabat, mengenai wajibnya memerangi bughat (Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, t.t. :153; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, t.t.:197).
Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqubat, 1990:79; Muhammad Khayr Haikal, al-Jihad wal Qital fi as-Siyasah asy-Syar’iyyah, 1996: 63):
1)         Pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah);
2)         Adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan untuk mendominasi (saytharah); dan
3)         Mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya.
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (TQS Al-Hujurat [49]:9)
Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
مَنْ خَرَجَ عَن الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَ مَاتَ فَمَيْتَتُهُ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah dan mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Subulus Salam III/258).
Mengenai yang dimaksud dengan imam, Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya…” (Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’iy, II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain.
Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh al-Qadir, II/336).
Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mendominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Ibrahim Anis, Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatakan bahwa asy-syaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9) pada lafazh “wa in thâ`ifatâni” (jika dua golongan…). Sebab kata “thâ`ifah” artinya adalah al-jama’ah (kelompok) dan al-firqah (golongan) (Ibrahim Anis, Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Taqiyuddin Al-Husaini mengatakan,”…jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afrâdan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar II/198).  Jadi jika satu atau beberapa individu yang tidak mempunyai kekuatan, memberontak kepada khalifah, maka tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Dalilnya QS Al Hujurat : 9, yaitu lafazh “iqtatalû” (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silâh). Selain itu Nabi SAW bersabda :
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Muttafaqun ‘alayhi. Subulus Salam, III/257. Kitab Qitâl Ahl Al-Baghi,  Imam Asy-Syairazi, Al-Muhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Oleh karenanya, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki mendefinisikan bughât sebagai orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak menaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm, 1990, hal  79).

Menangani Bughât
      Ayat diatas telah menyatakan bahwa hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali kepada perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan menghentikan pembangkangan mereka.  Namun sebelum sampai kepada perang tersebut, imam atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari negara.  Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus dihilangkan.
Jika mereka mengklaim suatu syubhat maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan.  Jika mereka menilai apa yang dilakukan oleh khalifah (negara) menyalahi kebenaran atau syara’, padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan dan kebijakan khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta harus ditampakkan kebenarannya.  Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap cukup.  Jika mereka yang melakukan bughât itu tetap dalam pembangkangan, maka mereka diperangi agar kembali taat.
Namun harus diingat, perang terhadap mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran (qitâl at-ta`dîb) bukan perang untuk memusnahkan.  Perang terhadap mereka bukan merupakan jihad.  Jadi harta mereka bukan fa’i dan tidak boleh dirampas dan dibagi-bagi.  Mereka yang tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan, melainkan diperlakukan sebagai pelaku kriminal.  Wanita dan anak-anak mereka yang dibawa serta di medan perang tidak boleh dijadikan sabi. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman ]

Selasa, 18 Juli 2017

Kurikulum Pendidikan Sekuler Melahirkan Kaum Munafik di Tengah Umat (Studi Kasus: Indonesia)


18 Feb 2017 
Momentum akbar bela Quran 212 (2 Desember 2016) yang lalu telah menampakkan betul mana umat Islam di Indonesia yang tulus membela Quran dan mana kaum munafik. Karena al Quran adalah al Furqon (pembeda), yang memisahkan antara yang haq dan bathil. Jauhnya agama dari kehidupan, termasuk di sekolahan membuat umat Islam tidak sepenuhnya mencintai dan mengenal al Quran. Keberadaan kaum munafik ini bahkan berasal dari kalangan cendekia yang terpelajar, fenomena ini menggelitik dan sesungguhnya adalah buah dari perjalanan panjang sekulerisasi pendidikan di negeri ini. Tulisan ini mencoba mengupas hubungan antara keberadaan kaum Munafik dan jauhnya agama dalam dunia pendidikan.
Sekulerisasi pendidikan di Indonesia mungkin setua Republik ini berdiri. Sekulerisasi secara struktural berlangsung secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk semua jenjang dari dasar hingga tinggi.

Membaratkan Kiblat Pendidikan Islam
Sejak enam dekade terakhir trend belajar Islam secara formal di Indonesia beralih kiblat dari negara-negara Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Barat tidak hanya menghegemoni penguasaan sains dan teknologi, tapi juga sudah merambah ke pada bidang keilmuan dan pemikiran Islam. Peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit dan semakin banyak terutama kalangan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang belajar di perguruan tinggi Islam.
Yang terbaru bahkan Kementerian Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerja sama di bidang pendidikan tinggi Islam dengan pemerintah Kanada khususnya dalam proyek yang digagas pemerintah Kanada sejak 2011 yakni Supporting Islamic Leadership in Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD), telah berlangsung sejak 2011. Kerjasama Kementerian Agama dengan Pemerintah Kanada dalam bidang pendidikan telah melewati sejarah panjang. Ratusan doktor dalam bidang Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dihasilkan berkat kerjasama yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Setiap periode tertentu, Pemerintah Kanada dengan pemerintah Indonesia mempertahankan pola kemitraan tersebut meski dengan nomenklatur dan fokus yang berbeda. (Kemenag.go.id, January 2017)
Dari data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Dan sekarang,  perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat. Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah mengirim 82 orang dosen di PTAI ke luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28 wanita, namun lebih didominasi oleh perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan tinggi Islam yang berada di Timur Tengah.
Derasnya pembaratan perguruan tinggi Islam sebagai faktor eksternal, dilengkapi dengan kondisi internal umat yang mengalami tren kemunduran akibat sudah kehilangan kekayaan pemikiran dan metode berpikirnya yang khas. Hingga sampai level paling nadir,  dimana untuk belajar Islam pun kaum Muslim hari ini berkiblat ke Barat untuk merujuk metode orientalis mempelajari Islam. Ironis.
Sebenarnya telah terjadi sebuah proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi Islam. Dan itu diakui sendiri oleh para pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam. Simaklah sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis yang berkiblat ke Barat.
Lutfie Assyaukanie dari aktivis Islam Liberal (JIL) pernah berkata, “Asiknya belajar Islam di Barat.” Inilah yang dikritik tajam oleh Dr. Syamsudin Arif yang menyatakan jika ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas di Barat bukanlah tempatnya. Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadits, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali?

Sekulerisasi Melalui Kurikulum Islam Moderat
Infrastruktur pendidikan Islam di Indonesia yang dibawahi Kemenag saja memiliki aset 76.000 madrasah dengan 9 juta murid, 30.000 pesantren, dan 700-an perguruan tinggi. Pendidikan Islam di Indonesia mulai tahun 2016 menggunakan kurikulum pendidikan Islam yang baru, yang diberi nama pendidikan Islam rahmatan lil`alamin karena menekankan pada pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat. Menteri Agama RI menambahkan bahwa kurikulum baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan dan radikal di lembaga akademis.
Di tahun yang sama tepatnya Desember 2016, Kementerian Agama Indonesia juga telah memfasilitasi forum sinergi Ulama dan Pesantren Asia Tenggara yang diberi nama Halaqah Ulama ASEAN 2016 demi mempromosikan Islam Moderat. Menteri Lukman melaporkan kegiatan halaqah tersebut dilatarbelakangi tuntutan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) untuk menyebarkan nilai moderatisme Islam yang dianut oleh masyarakat ASEAN.
Dengan kebijakan revisi kurikulum pendidikan Islam ini dan juga konsolidasi pesantren untuk menyebarkan Islam moderat dalam rangka meredam radikalisme agama, lengkaplah sudah sekulerisasi pendidikan Islam di semua jenjang meski dijalankan secara lebih halus atas nama Islam moderat. Setelah sebelumnya di jenjang pendidikan tinggi upaya lebih ekstrim dan intensif melalui penetrasi ide Islam Liberal dilakukan sejak beberapa dekade lalu di level perguruan tinggi Islam.
Mengadopsi Islam Moderat sebagai ruh dalam kurikulum pendidikan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini bukan hanya salah kaprah, tapi sudah berbahaya dan menyesatkan. Karena baik gagasan Islam moderat maupun Islam liberal sesungguhnya merupakan konstruk ide sekuler yang memiliki definisi problematis dan berbahaya karena tidak digali dari referensi sumber hukum Islam itu sendiri, melainkan dari nilai-nilai Barat dengan metode orientalis. Ide Islam Moderat  sesungguhnya bukan pemahaman orisinil dari Islam dan  tidak memiliki historis keilmuan di kalangan fuqaha (ahli fikih). Bahkan Hizbut Tahrir menggolongkan ide ini sebagai  pemahaman berbahaya untuk memukul Islam, dan menancapkan peradaban Barat.
Dalam konteks politik, gagasan Islam moderat ini sesungguhnya adalah salah satu strategi penting untuk mengontrol perubahan di dunia Islam agar jauh dari kebangkitan Islam. Seperti yang terbaca jelas dari rekomendasi lama RAND Corporation tahun 2007 bahwa untuk mencegah apa yang mereka sebut sebagai Islam radikal, perlu dibuat jejaring Islam Moderat di dunia Muslim. Adalah laporan penelitian masyhur RAND berjudul “Building Moslem Moderate Network” yang menghasilkan temuan penting bahwa “Amerika Serikat perlu menyediakan dan memberikan dukungan bagi para aktivis Islam moderat dengan membangun jaringan yang luas, serta memberikan dukungan materi dan moral kepada mereka untuk membangun sebuah benteng guna melawan jaringan fundamentalis.” Jelas ini adalah agenda AS untuk mempertahankan hegemoninya di dunia Islam.

Melekatkan Ciri Kemunafikan
“Yang paling saya takutkan atas umat ini adalah orang munafik yang berilmu
(Umar bin Khattab)
Membiarkan sekulerisasi pendidikan sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas akademik. Dimana pemikiran manusia yang jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap  (nafsiyah) dan kepribadiannya secara keseluruhan.
Di sisi lain, sekulerisasi ilmu pengetahuan juga memfasilitasi tsaqofah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler liberal merasuki benak kaum terpelajar. Sehingga wajar hari ini kaum munafik di tengah umat benar-benar nampak.  Karena tsaqofah asing yang bertentangan dengan Aqidah Islam adalah bahan bakar kemunafikan. Selain itu asas sekulerisme juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistic, akibat pendidikan dijadikan komoditas bisnis.
Persis seperti yang digambarkan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang terpisah dari umat, perasaan mereka terpisah dari pemikiran dan akal rakyat mereka, dan mereka -secara alami- menjadi orang-orang yang terpisah dari umat, serta terpisah dari perasaan dan kecenderungan umat.
Inilah kenapa di kala mayoritas umat membela Quran dan murka dengan penistanya, para cendekia ini justru membela penista Quran atas nama pluralism dan toleransi. Melalui kasus Ahok dengan pelecehan terhadap QS al-Maidah ayat 51-nya, Allah SWT benar-benar telah menunjukkan kepada umat Islam jatidiri siapa Muslim sejati dan siapa yang termasuk golongan munafik. Sehingga penampakan kaum munafik bisa dilihat oleh khalayak kaum muslimin di berbagai tempat dan media.  Allah SWT berfirman:
﴿ وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَا كَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ﴾
Kalau Kami menghendaki, niscaya Kami menunjukkan mereka (kaum munafik) kepada kamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dari tanda-tanda mereka dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka” (QS Muhammad [47]: 30).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.”. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya.
Di poin inilah kegagalan pendidikan modern hari ini yang berasaskan sekulerisme. Karena gagal menghasilkan manusia-manusia beradab, manusia baik yang berkepribadian Islam yang merupakan insan kamil. Cacatnya bahkan sudah sejak asas.
Sesungguhnya pendidikan ala Barat telah melekatkan ciri kemunafikan bahkan sejak karakter mendasarnya. Mari kita melihat sedikit ilustrasi kontras yang membandingkan antara profil intelektual bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Oxbridge,  begitu biasa disingkat– jadi pusat riset ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan “aqidah, akhlaq dengan  ilmu yang dikuasainya, kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan pemberitaannya diragukan.

Penutup
Demikianlah ilustrasi kontras di atas menunjukkan pada kita ternyata erat sekali hubungan antara mengakarnya sekulerisasi pendidikan di Indonesia dengan kemunculan kaum munafik. Hal ini karena pendidikan sekuler ala Barat sungguh telah memusnahkan wahyu sebagai ilmu tertinggi dan luhur yang harus dipahami setiap Muslim, sehingga merusak kepribadian Islam para pembelajar. Sekulerisasi ilmu pengetahuan sudah menjelma menjadi musuh dalam selimut umat Islam yang menggerogoti keimanan dan identitas umat, sehingga suburlah kemunafikan di tengah kaum terpelajar dengan banyak wajah  dan kategori.

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...