Sabtu, 29 Juli 2017
Jumat, 28 Juli 2017
AKSI 287
Presidium Alumni 212 Bacakan 5 Resolusi Aksi 287
Cici Marlina Rahayu - detikNews

FOKUS BERITA:
Aksi 287
Jakarta - Wakil Ketua Presidium Alumni 212 Hasri Harahap
membacakan 5 resolusi Aksi Bela Islam 287. Mereka menilai pemerintah
tidak simpatik pada umat Islam.Resolusi itu dibacakan Hasri saat berorasi di atas mobil komando di depan Patung Kuda, Silang Monas Barat Daya, Jakarta Pusat, Jumat (28/7/2017). Eks Ketua Presidium Alumni 212 Ustaz Sambo juga ada di atas mobil komando.
Sebelum membacakan 5 resolusi, Hasri awalnya menyampaikan pandangannya tentang pemerintah Jokowi. Dia menilai Jokowi tidak simpatik pada sebagian umat Islam yang mengkritisi pemerintahannya.
Selain itu, kritik soal pembubaran ormas juga disampaikannya dalam orasi itu.
"Pembubaran ormas itu tidak lewat pengadilan bila hal ini dibiarkan, bila perlu ini disetujui dan dibenarkan oleh MK, pilar demokrasi hak asasi manusia yang dijamin di UUD 1945 langsung runtuh," ujarnya.
Karena itu, pihaknya mengeluarkan 5 resolusi Aksi Bela Islam 287. Berikut bunyinya:
1. Kepada seluruh umat Islam Indonesia, terlepas dari mazhab maupun partai yang diyakininya hakikatnya kita satu tubuh, Baginda Rasulullah bersabda, perumpamaan mukmin satu tubuh,
HTI adalah bagian integral dari umat Islam, HTI jadi korban pertama, dan kemungkinan besar akan ada korban lainnya. Mereka tidak sadar, mereka tidak sadar, karena mereka pada akhirnya akan menjadi target selanjutnya.
2. DPR RI berpikir lah ke depan jangan sampai kepentingan jangka pendek mempengaruhi jangka panjang. Jadilah lembaga yang sesungguhnya, jangan jadi tugas stempel dengan imbalan imbalan keduniaan.
3. Kepada MK, pertimbangkan lah dengan benar benar usaha judicial review dengan Perppu yang kontroversi itu. MK adalah benteng terakhir, apalagi keputusan MK bersifat final, mohon pertimbangkan, dan tidak langsung munculnya Perppu nomor 2/2017.
4. MUI diharapkan memberikan pendapat yang murni dari sisi agama, sehingga pendapat MUI menjadi berbobot, jangan membuka pintu masyarakat jadi rezim,
5. Kepada bapak presiden kami ingatkan bahwa kekuasaan politik di 2014 hanyalah titipan dari Allah, Allah berkenan atau memperpanjang, di dunia ini, tetapi juga berkenan kami harapkan dari presidium 212, khusus yang kami hormati, bapak presiden berkenan mencabutnya, berkenan mencabutnya, sesuai dengan kehendak Allah, tunaikan amanat kekuasaan rakyat secara hati-hati.
(idh/fdn)
Selasa, 25 Juli 2017
APA ITU BUGHOT ?
Apa itu Bughat???
Salah satu istilah dalam siyasah
syar’iyah yang penting untuk dipahami adalah istilah bughat. Istilah ini perlu
dipahami kembali oleh kaum Muslim. Hal itu penting agar kaum Muslim tidak
terjebak dalam upaya memanipulasi istilah bughat ini untuk mendukung rezim yang
tidak Islami bahkan rezim yang tidak menerapkan hukum-hukum syariah dan sama
sekali tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah Islam. Hal itu seperti yang
terjadi di sebagian negeri Islam.
Makna Bahasa Bughat
Bughât adalah bentuk jamak al-bâghi,
berasal dari kata baghâ, yabghî, baghyan-bughyatan-bughâ`an. Kata baghâ
maknanya antara lain thalaba (mencari, menuntut), zhalama (berbuat zalim),
i’tadâ/tajâwaza al-had (melampaui batas), dan kadzaba (berbohong) (Ibrahim
Anis, Mu’jam al-Wasith, 1972:64-65; Munawwir, Kamus al-Munawwir, 1984:65,106;
Ali, 1998:341). Jadi, secara bahasa, al-bâghi (dengan bentuk
jamaknya al-bughât), artinya azh-zhâlim (orang yang berbuat zalim), al-mu’tadî
(orang yang melampaui batas), atau azh-zhâlim al-musta’lî (orang yang berbuat
zalim dan menyombongkan diri) (Attabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
1998:295, Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, 1972: 65).
Makna Syar’i Bughat
Para ulama beragam dalam
mendefinisikan bughât, kadang mendefinisikan bughat secara langsung, kadang
mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] /pemberontakan (Abdul Qadir
Audah, 1996 at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islami :673-674; Syekh Ali Belhaj, 1984,
Fashl al-Kalâm fî Muwâjahah Zhulm al-Hukkâm :242-243).
Menurut ulama Hanafiyah al-Baghy[u]
adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa
[alasan] haq. Dan al-bâghi adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam
yang haq dengan tanpa haq (Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Muhammad
bin Abdul Wahid as-Siyuwasi, Syarhu Fathul Qadir, IV/48).
Ulama Malikiyah menjelaskan
al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk menaati imam (khalifah) yang sah dalam
perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) sekalipun
karena alasan ta`wil (penafsiran agama). Dan bughat adalah kelompok (firqah)
dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk
mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menurunkannya
(A-Zarqani, Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
Ulama Syafi’iyah mengartikan bughât
adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya,
tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang wajib mereka tunaikan (kepada
imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin
yang ditaati (muthâ’) dalam kelompok tersebut (Nihayatul Muhtaj, VIII/382;
asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
II/197-198; Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).
Bughat juga diartikan sebagai
orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang
tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah),
karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada
pemimpin yang ditaati (Asna al-Mathalib, IV/111).
Jadi menurut ulama Syafi’iyah,
bughât adalah pemberontakan sekelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan
(syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthâ’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul
Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy, II/674).
Menurut ulama Hanabilah Bughat
adalah orang-orang yang memberontak kepada imam –walaupun ia bukan imam yang
adil– dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai
kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara
mereka (Syarah al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
Ibn Hazm mendefinisikan Bughât
adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka
mengambil harta zakat dan menjalankan hudud (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).
Al-Baghyu adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang
salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia (Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
XI/97-98).
Sedangkan menurut ulama Syiah
Zaidiyah, Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah
kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam
tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta
melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam (ar-Rawdh an-Nadhir, IV/331).
Definisi Yang Rajih
Perbedaan definisi yang ada
disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat
disebut bughat (‘Audah, ibid, 1996:674). Sedangkan syarat merupakan hukum
syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i,
sehingga syarat yang sah adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat
menurut akal) atau syarat ‘âdiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi,
al-Muwafaqat, I/186). Oleh karenanya tentang syarat bughât kita harus merujuk
kepada dalil-dalil syar’i. Dalil tentang bughât adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Abdurrahman
Al-Maliki, 1990:79), hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam
(khalifah). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam III bab Qitâl Ahl Al-Baghî hal.
257-261; Abdul Qadir Audah, 1992, at-Tasyri’ al-Jina’iy, hal 671-672) dan ijma’
shahabat, mengenai wajibnya memerangi bughat (Zakariya Al-Anshari, Fathul
Wahhab, t.t. :153; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, t.t.:197).
Dengan mengkaji nash-nash syara’
tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan
pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu (Abdurrahman Al-Maliki,
Nizhâm al-‘Uqubat, 1990:79; Muhammad Khayr Haikal, al-Jihad wal Qital fi
as-Siyasah asy-Syar’iyyah, 1996: 63):
1)
Pemberontakan kepada khalifah/imam
(al-khuruj ‘ala al-khalifah);
2)
Adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan untuk mendominasi (saytharah);
dan
3)
Mengggunakan senjata untuk
mewujudkan tujuan-tujuan politisnya.
Syarat pertama, adanya pemberontakan
kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Misalnya dengan ketidaktaatan
mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan
kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara
sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
“Dan jika dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (TQS
Al-Hujurat [49]:9)
Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari
(w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak
disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut
telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut
menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas
golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut
lagi.”
Syarat ini ditunjukkan secara jelas
oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam
(al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
مَنْ
خَرَجَ عَن الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَ مَاتَ فَمَيْتَتُهُ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari
ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah dan mati, maka
matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Subulus Salam
III/258).
Mengenai yang dimaksud dengan imam,
Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi
(kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang
yang mewakilinya…” (Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’iy, II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari
kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah
yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini
turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem
yang lain.
Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah
bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan
kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat ash-Shan’ani, Subulus Salam,
III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin
Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, II/336).
Dengan demikian, pemberontakan
kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem
republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian
syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan
yang memungkinkan kelompok bughat untuk mendominasi. Kekuatan ini haruslah
sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati
khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya
mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang
(Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering
diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna
asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Ibrahim
Anis, Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatakan bahwa
asy-syaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak
(al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang
ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara
lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9) pada lafazh “wa
in thâ`ifatâni” (jika dua golongan…). Sebab kata “thâ`ifah” artinya adalah
al-jama’ah (kelompok) dan al-firqah (golongan) (Ibrahim Anis, Al-Mu’jamul
Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang
bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Taqiyuddin Al-Husaini
mengatakan,”…jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afrâdan),
serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.”
(Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar II/198). Jadi jika satu atau
beberapa individu yang tidak mempunyai kekuatan, memberontak kepada khalifah,
maka tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata
untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Dalilnya QS Al Hujurat : 9, yaitu lafazh
“iqtatalû” (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya
sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silâh). Selain itu Nabi
SAW bersabda :
مَنْ
حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang membawa senjata
untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Muttafaqun ‘alayhi.
Subulus Salam, III/257. Kitab Qitâl Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syairazi,
Al-Muhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok
yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan
senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak
dapat disebut bughat.
Oleh karenanya, Syaikh Abdurrahman
Al-Maliki mendefinisikan bughât sebagai orang-orang yang memberontak kepada
Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata
(man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak menaati negara,
mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap
negara (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm, 1990, hal
79).
Menangani Bughât
Ayat diatas telah menyatakan bahwa
hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali kepada
perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan menghentikan
pembangkangan mereka. Namun sebelum sampai kepada perang tersebut, imam
atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari
negara. Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus
dihilangkan.
Jika mereka mengklaim suatu syubhat
maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan. Jika mereka menilai
apa yang dilakukan oleh khalifah (negara) menyalahi kebenaran atau syara’,
padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan dan
kebijakan khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta harus
ditampakkan kebenarannya. Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap
cukup. Jika mereka yang melakukan bughât itu tetap dalam pembangkangan,
maka mereka diperangi agar kembali taat.
Namun harus diingat, perang terhadap
mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran (qitâl at-ta`dîb) bukan
perang untuk memusnahkan. Perang terhadap mereka bukan merupakan
jihad. Jadi harta mereka bukan fa’i dan tidak boleh dirampas dan
dibagi-bagi. Mereka yang tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan,
melainkan diperlakukan sebagai pelaku kriminal. Wanita dan anak-anak
mereka yang dibawa serta di medan perang tidak boleh dijadikan sabi. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman ]
Langganan:
Postingan (Atom)
HUKUM MEMILIH PEMIMPIN
HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...
-
APAKAH HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA? Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kai...
-
HUKUM MENYANYI DAN MUSIK DALAM FIQIH ISLAM Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi 1. Pendahuluan Keprihatinan yang dalam akan kita ra...
-
BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SELAIN MAHRAM Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali ...