Disampaikan oleh SUKARNO NURSALIM,
pada 11 Maret 2012
BBM Naik, SBY Turun?
Akhirnya opsi kenaikan BBM menjadi pilihan pemerintah
sebagai antisipasi dampak melemahnya ekonomi global dan tragedi politik dari kawasan
produsen minyak Timur Tengah. Di depan rapat kerja komisi VII DPR-RI
(Selasa,6/3/2012) melalui Menteri ESDM Jero Wacik, pemerintah menyodorkan
skenario kenaikan BBM sebasar Rp 1.500 perliter mulai April 2012. Artinya BBM
jenis premium menjadi Rp.6.000 perliter. Ini kebijakan politik ekonomi yang
tidak populis dimata rakyat, dan resiko politiknya cukup tinggi.Belum
lagi susulan di bulan Mei 2012 TDL (tarif dasar listrik) juga akan di naikkan
sebesar 10% secara bertahap. Kebijakan pemerintah kali ini tentu bisa menjadi
amunisi segar kelompok kontra status quo yang intra-parlemen maupun
ektra-parlemen untuk menjegal pemerintahan SBY agar tidak tuntas sampai 2014, atau
paling tidak mengurangi dominasi partai yang berkuasa dipemilu 2014. Saya
mencoba membaca kemungkinan kontraksi politik yang muncul, benarkah SBY bisa
turun sebelum 2014?Maka lebih dahulu, krusial untuk memahami konstelasi dan
kekuatan kelompok-kelompok yang menghendaki perubahan.
Pertama; di samping adanya status quo, saya memetakan
kelompok kontra status quo yang membuat gaung pergantian rezim dan sistem dalam
dua jenis; kelompok yang masih percaya dengan sistem politik demokrasi dan yang
kedua kelompok yang anti demokrasi.
Untuk jenis kelompok pertama mereka terdiri dari
politisi dengan parpolnya yang berjibaku intra-parlementer, diluar itu ada
orang-orang dan kelompok pragmatism yang ektra-parlemen. Yang ektra-parlemen
tampil dalam wajah LSM/NGO, aktifis, komunitas mahasiswa dan
jejaringnya.Sementara untuk jenis kedua yang anti-demokrasi terdiri dari
kelompok kiri (sosialis/sosialis demokrasi) yang banyak dimotori para aktifis
dan mahasiswa kiri dengan jaringan buruh dan masyarakat urbanya . Kemudian ada
kelompok Islamis yang mengusung Ideologi Islam dengan beragam segmen masyarakat
yang terlibat didalamnya.Dan konstalasi dilapangan juga memungkinkan ada irisan
kepentingan dan politik transaksional antara kelompok intra-parlement dengan
ektra-parlemen baik dari jenis yang percaya demokrasi maupun anti demokrasi
dengan masing-masing motif kepentinganya baik ideologis maupun pragmatis.
Jika memang rakyat sudah anti terhadap pemerintahan
SBY, dari jenis kelompok diatas mana rakyat menaruh harapan perubahan tersebut?
Kemungkinan pertama; peluangnya kecil jika rakyat
menggantungkan harapan kepada parpol dan anggotanya yang duduk di parlement
untuk melakukan pemakzulan terhadap SBY, oleh partai Islam sekalipun.
Jika ada survey kepercayaan masyarakat terhadap parpol jeblok maka itu
menjelaskan kapasitas politisi sesungguhnya yang duduk diparlemen apakah mereka
wakil rakyat atau mewakili kepentingan politik segelintir orang dan
kelompok.Atau bahkan sebenarnya mereka adalah wakil para pemodal, cukong dan
makelar politik yang tidak tampak dipanggung politik. Meminjam survey yang
diadakan CSIS 16-24 Januari 2012, menemukan tingkat ketidakpercayaan masyarakat
terhadap partai mencapai 87,4%. Kepercayaan kepada politisi hanya 23,4%, dan
kinerja parpol 87,6% dinilai sangat buruk.Dan ini tidak jauh beda untuk
DPR periode 2004-2009 lalu dimana tingkat kepercayaan masyarakat rata-rata
hanya 24%. Partai dan politikusnya tersandra oleh kepentingan politik
transaksional, kebijakan-kebijakan yang tidak populis bisa diatur melalui
setgab (secretariat gabungan parpol penguasa) agar DPR bisa memberikan
legitimasi. Jebakan demokrasi menjadikan parpol “banci”, rumus baku pergantian
RI-1 harus melalui mekanisme demokrasi. Akan menjadi aib politik jika naik
ditampuk kekuasaan dengan jalan diluar mekanisme konstitusi yang ada. Maka
mereka tidak punya “syahwat berkuasa” sebelum kekuasaan SBY berakhir 2014. Dan
bagi mereka saat ini yang paling urgen adalah melakukan inventarisir modal
politik terutama finansial (uang) untuk pemilu 2014, disamping membangun citra
dengan pandai-pandai memainkan jurus saling menelikung, sekalipun sesama parpol
koalisi. Ini juga karena prinsip kepentingan yang abadi, teman dan musuh itu
tidak abadi. Dan banyak kasus skandal politik yang bisa dimainkan untuk
bargaining diantara mereka, dari Century Gate, Gayus T, Wisma Atlet, Hambalang
dan lainya.Masyarakat sekarang sangat apatis terhadap DPR yang tidak bisa
diharapkan memperjuangkan nasib mereka. Langgam politik yang dimainkan politisi
di parlement sudah lumrah dianggap sandiwara dan seperti opera sabun yang
memuakkan.
Kemungkinan kedua; bagaimana dengan komponen di luar
parlemen yang tidak terlibat dalam pemerintahan SBY sekarang?, Mereka sebagian
besar dari kalangan aktifis dan mahasiswa yang pragmatis. Orentasi politiknya
tidak jauh beda dengan yang ada didalam (intra-parlement), menjadi oposan dengan
melakukan tekanan-tekanan terhadap pemerintahan SBY. Dan tidak jarang itu hanya
menjadi batu loncatan untuk meneguk kepentingan pragmatismenya.Bahasa-bahasa
“proletar” yang seolah menyuarakan kepentingan rakyat di jadikan topeng,
jikapun ada yang idealis saya melihatnya tetaplah semu, mereka “Menjual” derita
rakyat tapi untuk dijadikan tumbal kepentingan pribadi agar bisa mendapatkan
kue kekuasaan juga. Rencana kenaikan BBM per April 2012, komunitas mahasiswa
yang bergabung di BEM se-Indonesia sudah mengancam menggelar demo dengan
target SBY turun. Tapi anomaly dengan fakta hari ini mahasiswa sudah
terdiaspora dalam berbagai kepentingan politik pragmatis dan sedikit yang
ideologis.Pragmatisme menjadi determinasi di berbagai level pergerakan tidak terkecuali
mahasiswa. Momentum untuk reformasi jilid dua belum menemukan relevansinya
dengan mengambil isu kenaikan BBM. Di kalangan mahasiswa tidak ada kekuatan
massif untuk mengawal isu kenaikan BBM menjadi bola salju yang berdampak
tumbangnya rezim, apalagi jika peran intelijen (tangan penguasa) mampu
penetrasi dan mengkondisikan pola pergerakan dan orentasinya. Sisi lain juga
ada potensi munculnya “main mata” antara kelompok penekan luar parlemen dengan
parpol intra-parlemen yang sikapnya oposan terhadap penguasa plus parpol
pendukungnya, namun tetap saja belum cukup melahirkan reformasi jilid dua
dengan turunya rezim SBY.Karena “main matanya” hanya untuk menjatuhkan citra
rival dipertarungan pemilu 2014.
Kemungkinan ketiga; sementara bagi kelompok kiri dengan
bahasa anti neoliberal dan anti kapitalis juga tidak memiliki kekuatan massif
dan signifikan yang mampu mendorong terjadinya class struggle dengan
harapan munculnya sintesa politik baru. Sejauh ini, kalangan buruh dan serikat
buruhnya menjadi basis potensial disamping kelompok tani bisa menjadi suporting
utama dari gerakan kelompok kiri. Namun dalam konteks Indonesia “jajanan
politik” ala kelompok sosialis maupun sosialis-demokrasi secara psikologi tidak
mudah meraih simpati dan hati masyarakat. Ada beberapa kasus seperti
pemblokiran ruas jalan tol Jakarta-Cikampek di daerah Bekasi oleh kaum buruh
telah mampu memaksa kebijakan pemerintah selaras dengan tuntutannya, bahkan
kemudian menjadi inspirasi langkah-langkah berikutnya ketika cara advokasi yang
prosedural gagal dilakukan oleh mereka. Namun menurut saya, tetap saja kelompok
yang tidak sepenuhnya menolak demokrasi ini akan berhadapan dengan tembok
tinggi dalam wujud kebijakan-kebijakan pemerintah yang bisa meninabobokkan
rakyat miskin yang otomatis akan mereduksi dukungan rakyat terhadap topik
“revolusi” ala kaum kiri.
Yang perlu dicatat, sebodoh-bodohnya pemerintahan SBY,
terkait kebijakan kenaikan harga BBM bersubsisi pasti juga telah ditimbang
dampak politiknya. Dan saya melihat pemerintah cukup percaya diri bahwa tidak
akan muncul kontraksi politik diluar kendali. Demonstrasi sebesar apapun dengan
segala bentuk derivatnya akan dimaknai bagian dari dinamika demokrasi.
Argumentasi dan rasionalisasi atas keputusan politik penting terkait hajat
asasi rakyat banyak niscaya di lakukan oleh pemerintah. Disini ada beberapa
faktor yang bisa mereduksi komponen yang punya keinginan “SBY turun” masuk
dalam kotak impian.
Pertama; kekuasaan SBY di sokong oleh koalisi parpol yang
punya kursi di parlemen. Diluar itu masih ada Setgab (sekretariat gabungan)
dimana semua kepentingan yang saling menguntungkan anggota koalisi bisa di
“musyawarahkan” dan di rumuskan sandiwara politiknya. Bahkan manuver-manuver
pengalihan isu dengan mudahnya bisa dilakukan melalui blow-up media.Disamping
mereka juga tersandra banyak kasus dan skandal, mengharuskan politik
transaksional menjadi lazim.
Kedua; pemerintah telah menyiapkan “obat penenang” bagi
rakyat, pemerintah menyiapkan dana kompensasi sebasar Rp 22 triliun ke
masyarakat dalam bentuk; bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebesar
150 ribu perbulan selama 9 bulan (April-Desember), pemberian beasiswa,
pemberian beras untuk rakyat miskin (raskin) selama 14 bulan, dan kompensasi
disektor transportasi dengan bantuan yang bersifat Public Service Obligation
(PSO) agar tarif angkutan desa tidak naik terlalu tinggi. Di sisi lain
pemerintah juga merevisi target pertumbuhan ekonomi dari 6,7% menjadi 6,5%.
Disamping akan dilanjutkan rencana konversi dari BBM ke BBG (gas) secara nasional.
Rakyat di beri pelipur lara, agar terbiasa dengan lara dan duka berikutnya.
Ketiga; pendekatan komunikasi via media oleh pemerintah
terhadap rakyat dengan bahasa-bahasa “halus” memaksa rakyat menerima secara
rasional dan mau tidak mau harus beradaptasi dengan kebijakan baru
pemerintah.Misalkan; kenaikan harga BBM adalah opsi yang paling masuk akal, dan
bentuk dalih lainya plus supporting media massa untuk mengkondisikan alam bawah
sadar rakyat, maka tidak sulit pemerintah mereduksi gejolak dampak kenaikan
BBM.Belum lagi langkah “intelijen” secara efektif mampu terjun ke masyarakat
dan mengkonsolidasikan tiap kebijakan pemerintah hingga tidak perlu disikapi
dengan langkah ekstra-ordinary (luar biasa) dengan tuntutan turunkan rezim
SBY.Dan juga tidak sulit bagi “intelijen hitam” melakukan “deception” dengan
mengeksplorasi ke permukaan isu-isu sensitif yang bisa mengalihkan perhatian
rakyat dari kasus BBM dan makin sulitnya kehidupan ekonomi mereka. Mengingat
potensi-potensi konflik yang sangat sensitif semua terpetakan jenis dan
teritorialnya, maka tinggal memberikan stimulus jika mau.
Keempat; pemerintahan SBY dapat dukungan penuh kekuatan kunci,
yakni militer. KASAD juga keluarga SBY sendiri, dan banyak dijabatan strategis
adalah orang loyalis SBY. Disamping bahasa “kudeta” menjadi tabu bagi militer
saat ini, menambah posisi rezim tidak akan tersentuh oleh gerakan-gerakan
politik dari militer. Seperti Panglima TNI sendiri telah komitmen untuk
mengantisipasi gejolak sosial diseluruh wilayah Indonesia disamping Polri yang
punya peran penting. Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menginstruksikan
kepada seluruh komandan komando utama TNI dan jajarannya untuk mengantisipasi
dan menanggulangi konflik sosial dan mendukung terciptanya perdamaian yang
berkelanjutan.Instruksi Panglima TNI itu tertuang dalam Surat Telegram (ST)
Nomor ST/ 195/ 2012 tanggal 24 Februari 2012, menekankan kembali kepada para
Pangdam, Pangarmabar, Pangarmatim, Pangkoopsau I dan Pangkoopsau II untuk
membantu penanggulangan konflik dan pembangunan perdamaian berkelanjutan.Ini
belum lagi dukungan negara imeperialis AS terhadap pemerintahan SBY dengan
kompensasi kebijakan-kebijakan liberal diberbagai sektor harus dikawal dengan
segenap kekuatan politiknya oleh SBY.
Wajar kalau kemudian Presiden SBY angkat suara
dihadapan insan media (14/2/2012) seakan mau menegaskan bahwa Indonesia
establish dan sedang baik-baik saja.
Kemungkinan keempat; kemudian bagaimana dengan kelompok
Islamis dalam konteks politik lokal kekinian? Apakah akan mampu merealisasikan “ganti
rezim dan ganti sistem”?.Dalam hitungan politik, faktor perubahan yakni
adanya realitas fasid (rusak) yang inderawi sudah terpenuhi. Demikian banyak
problem kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia tidak beranjak dari
kubangan masalah. Contoh, kenaikan harga BBM kali ini saja akan otomatis memicu
inflansi menjadi 7%. Dan defisit menjadi 2,3% dari 1,5%, namun untuk menutup
defisit pemerintah justru menambah target utang 50 triliun rupiah dengan posisi
saat ini utang RI telah melebihi Rp 1.900 triliun, dengan target utang bruto
tahun 2012 sekitar 300 triliun rupiah.Indonesia terjun bebas dalam jurang
kubangan utang luar negeri, dan ini menjadikan independensi dan kedaulatan
ekonomi dan politik bahkan keamanan menjadi absurt.Belum lagi dengan kenaikan
BBM diperkirakan memicu penambahan penduduk miskin sekitar 1,5% atau 4-5 juta orang.Menambah
angka sebelumnya sekitar 30% atau 75 juta orang dari 18,5 juta rumah tangga
yang masuk katagori miskin, hampir miskin, dan sangat miskin versi
pemerintah.Dan akhirnya rakyat tidak ada rasa sungkan lagi untuk membuat vonis
atas pemerintahan SBY, seperti dalam acara “Sarasehan Anak Negeri”
disebuah TV Swasta menelurkan sebuah kseimpulan Pemerintah tidak becus
mengurusi negeri.
Belum lagi problem yang lain, yang notabene obyek
penderitanya adalah mayoritas muslim Indonesia. Kebijakan yang liberal disemua
sektor dan menguntungkan asing telah merobek rasa nurani keadilan
rakyat.Penegakkan hukum yang tebang pilih, bahkan sampai diranah keyakinan
terkesan Presiden SBY juga melecehkan umat Islam, di hadapan dubes Asing SBY
bertempat di Gedung Pancasila Kemenlu (15/2/2012) menegaskan pemerintah tidak
pernah melarang bahkan mengakomodir kebebasan rakyat untuk beribadah
sesuai keyakinannya termasuk didalamnya penganut Ahmadiyah.
Namun justru problem-problem yang menggurita menjerat
mayoritas umat Islam tersebut telah melahirkan sikap apatis yang luar biasa.
Masyarakat dibuat sibuk menjadi orang-orang individualis, yang penting bisa
menyelamatkan kemaslahatan pribadi masing-masing. Dan ini adalah tembok tinggi
yang dihadapi kelompok Islamis (ideologis) untuk mengkonsolidasikan gagasan
perubahan yang revolusioner-ideologis bagi tatanan Indonesia kedepan yang lebih
baik. Belum lagi tembok penghalang yang lain adalah gerakan sistemik pemerintah
untuk meraih hati nurani masyarakat dengan mengintroduksikan kepada mereka
tentang konsep kehidupan beragama ala Indonesia (Islam liberal), tentu dengan
target utama adalah mereduksi dan mengalenasi kelompok ekstra-parlementer yang
Islamis.
Namun demikian, perubahan adalah suatu yang niscaya
setinggi apapun tembok penghalangnya.Kuncinya adalah bagaimana menjadikan
kerusakan sistemik akibat diterapkannya ideologi politik yang fasad (batil)
sekuler-kapitalis sebagai amunisi untuk membangun kesadaran masyarakat
disamping di gambarkan kondisi ideal yang menjadi penggantinya. Dan langkah
tersebut tidak cukup, masih harus ditambah tersublimasinya kekuatan-keuatan
kunci dari masyarakat yang bisa mensuport perubahan revolusioner. Jika komponen
itu bisa diraih oleh kelompok Islamis ideologis maka banyak momentum politik
menjadi entri point dari sebuah “revolusi” baru untuk Indonesia.
Namun dalam kontek kekinian, bisa jadi kenaikan harga
BBM cukup menjadi tambahan amunisi untuk menyiapkan umat kepada perubahan
kedepan sekalipun tidak harus ditahun 2013 atau 2012. Karena karakter kelompok
ideologis mengharuskan berpikir jangka panjang disamping terus mengintip
peluang-peluang politik kekinian untuk membuat terobosan (bukan jumping) kepada
pergolakan politik yang lebih besar.
Politik menjadi seni yang serba mungkin, SBY bisa
jatuh dan juga bisa tidak. Kadang nalar linear dalam politik tidak mampu
menjelaskan lahirnya faktor yang tidak terduga penyebab spirit perubahan
menjadi bola salju yang menggelinding membesar tanpa bisa dibendung.
Kali ini bisa juga bagi kelompok Islamis, jika merasa
sudah punya keberanian dan kekuatan yang cukup, kemudian perlu membuat
“konfrontasi” yang lebih kuat secara kontinyu dan simultan terhadap status quo
hingga fajar revolusi kaum Islamis menyingsing, kenapa tidak? Kita lihat saja
nanti.Wallahu a’lam bisshowab