APAKAH HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA?
Apa yang dimaksud dengan dhoror
itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kaidah syara’,
yang dimaksud dengan dhoror adalah: Sampainya batas ketika sesuatu yang
dilarang itu diperoleh, maka akan menemui kecelakaan atau kebinasaan atau
nyaris binasa. Atau bisa juga bermakna: Suatu keterpaksaan yang sangat mendesak
yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan atau kematian. Pemahaman ini
bisa kita lihat dalam kitab Asybah wan Nazhooir karya Imam As Suyuthi.
Cakupan dhoror
itu ada dua aspek: pertama, memang secara jelas ditunjukkan bahayanya
(baik oleh benda/perbuatan); dan yang kedua, dikatakan dhoror
karena ada qarinah atau indikasi yang menyertainya. Contoh pada aspek yang
pertama bisa terjadi pada benda dan perbuatan, tidak dikhususkan pada salah
satunya. Pada benda, misalnya racun. Sedangkan pada perbuatan, misalnya
seseorang yang membongkar rahasia kekuatan pasukan Islam (dalam suatu medan
jihad) ketika dirinya ditawan musuh. Keduanya sama-sama merupakan hal yang
berbahaya.
Contoh pada
aspek yang kedua: mata uang dollar itu mubah, halal zatnya (bendanya). Tetapi
bisa haram memperjualbelikannya karena akan membahayakan stablitas keuangan
negara. Ada lagi, seseorang yang memberikan informasi tentang usaha-usaha
dakwah kepada orang kafir. Pada dasarnya hukum memberikan informasi tentang
aktivitas dakwah itu mubah, tetapi tetap saja tidak dibenarkan, karena bisa
menggerus dakwah Islam.
Jadi, dhoror
itu bisa menimpa diri sendiri, bisa juga menimpa orang lain. Ingat, sekali lagi
batasan dhoror adalah sampainya seseorang atau orang lain dalam
kebinasaan atau kematian atau nyaris binasa seperti kelumpuhan dan lain
sebagainya.
Pertanyaannya:
Apakah kalau
kaum muslimin tidak berkecimpung di politik praktis maka akan mengakibatkan
kaum muslimin di Indonesia ditimpa berbagai dhoror? Atau kaum muslimin
di Indonesia akan binasa atau mati seluruhnya? Atau kaum muslimin akan
mengalami kondisi yang mengakibatkan diri mereka tersiksa secara fisik hingga
mengalami kelumpuhan atau kesakitan yang luar biasa?
Jawabannya,
belum pasti. Karena belum pasti, maka kaidah di atas tidak bisa diberlakukan.
Jadi, jika
seseorang tidak berada dalam konteks dhoror tersebut, maka dalam konteks
seperti ini tidak ada pilihan: mana di antara keduanya yang paling ringan dhoror-nya.
Bahkan cara ini tergolong cara yang bodoh dalam menghadapi dan menyelesaikan
persoalan.
Misalnya,
lokaslisasi pelacuran adalah haram. Keberadaan lokalisasi pelacuran itu
dilegalkan dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu
terjadinya seks liar atau transasksi seks bebas. Atau melegalkan ATM Kondom
dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu tersebarnya
virus HIV/AIDS. Penerapan kaidah syara’ seperti ini jelas keliru, bodoh,
dan serampangan. Sebab, kedua dhoror tersebut merupakan bentuk
pelanggaran syariat, yang sebenarnya bisa dihindari dan tidak engharuskan
memilih salah satu di antara keduanya. Bahkan menghilangkannya pun bisa.
Jadi, tidak
bisa kita mengatakan: daripada dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak,
mendingan dikuasai orang-orang yang sekulernya sedikit. Atau: daripada virus
HIV/AIDS tersebar, mendingan legalkan ATM Kondom atau lokalisasi pelacuran.
Atau yang lainnya.
Melaksanakan
Kewajiban yang Sukar Dilaksanakan
Berkaitan
dengan kaidah syara’ yang kedua, yaitu: jika tidak bisa diraih semuanya, maka
jangan ditinggalkan semuanya, maka jawabannya adalah sebagai berikut.
Kaidah: maa
laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu, adalah sebuah kaidah kaidah syara’
yang memerintahkan kita melaksanakan kewajiban, karena kewajiban itu memang
wajib dilaksanakan meski kewajiban itu memang sukar untuk dilakukan. Sehingga,
apa pun yang terjadi, kewajiban syara’ itu memang harus dilaksanakan, sekalipun
sulit. Mengapa? Sebab, sukarnya melaksanakan kewajiban tidak akan menggugurkan
kewajiban secara keseluruhan.
Menurut Imam
As Suyuthi, kaidah syara’ ini digali dari hadis Rasulullah saw., “Idzaa
amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum (Jika aku memerintahkan kepada
kalian suatu urusan/perintah, tunaikanlah urusan/perintah itu sesuai dengan
kemampuan kalian).”
Oleh karena
itu, maksud dari kaidah syara’ tersebut adalah bahwa kewajiban itu memang harus
ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Artinya, kita harus
mengerahkan kekuatan semaksimal mungkin untuk melaksanakan kewajiban tersebut,
sekalipun sulit dilakukan.
Penerapan
kaidah ini, misalnya sebagai berikut.
Misalnya
kita dipenjara. Padahal waktu salat tiba. Sementara itu kita tidak
diperbolehkan keluar untuk mengambil air wudhu. Maka kondisi itu tidak akan
bisa menghapus kewajiban seseorang untuk mendirikan salat. Sebab, tidak bisa
dilakukannya wudhu atau tayamum tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban salat.
Artinya, jika tidak bisa melaksanakan kewajiban salat secara ideal, jangan
ditinggalkan semua (kewajiban salat itu). Tetapi, tetaplah salat, sekalipun
sulit dilakukan atau dengan kondisi yang tidak ideal.
Atau begini:
ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai bacaan-bacaan salat, dia
tetap wajib salat meskipun dia harus dipandu oleh orang, dan tetap berusaha
untuk menghafalnya.
Kaidah ini
tidak bisa diberlakukan pada: keterlibatan kaum muslim di pemerintahan kufur.
Sebab, masih ada kemungkinan lain untuk meraih kekuasaan, tanpa harus terlibat
di dalamnya. Yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat, bukan parlemen atau
melalui sistem kufur tersebut. Jadi, konteks yang ditinggalkan bukan sistem
kufurnya, tetapi cara untuk meraih kekuasaan tersebut.
Artinya:
Jika tidak bisa melaksanakan semua kewajiban syariat (secara kaffah), jangan
ditinggalkan semua kewajiban itu, sebab masih ada kewajiban lain yang bisa
ditunaikan, yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat.
Dikatakan
meninggalkan semuanya (meninggalkan upaya meraih kekuasaan), jika seseorang
berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Ini dikatakan meninggalkan semua upaya
untuk meraih kekuasaan.
Jadi,
maknanya bukan: karena kita tidak bisa meraih semua kekuasaan, maka harus
mengambil salah satu kekuasaan.
Ini tidak
benar. Sehingga penggunaan kaidah-kaidah di atas sebagai ‘dalil’ untuk
memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas sesuatu yang serampangan.
Dalam
pandangan Hizbut Tahrir, dalil syariat itu hanya ada empat, yaitu Alquran,
Sunnah, Ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan yang lain, seperti syar’u
man qablana (syariat-umat-umat terdahulu), mazhab sahabat, ‘urf, mashalih
mursalah, dan sebagainya bukanlah dalil syariat, tetapi sesuatu yang dianggap
dalil padahal bukan dalil. Apalagi kaidah syara’, jelas itu bukan dalil. Sebab,
pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kadiah yang digali dari dalil-dalil
syariat.
Jadi,
penerapan kaidah-kaidah di atas untuk memperkuat argumen pragmatisme politik,
jelas tidak tepat.
Wallahu
a'lam..