Respon
Umat Islam di Indonesia Atas Keruntuhan Khilafah Islamiyah
Awal
berdirinya syarekat Islam Indonesia
Pada 28 Rajab 1342 H bertepatan dengan 3 Maret 1924, Kemal
at-Taturk melalui Majelis Nasional Turki menetapkan penghapusan Khilafah dan
pengusiran Khalifah saat itu sekaligus menjadi yang terakhir, Abdul Majid II,
ke luar Turki. Dengan demikian berakhirlah sistem Khilafah yang selama ini
menyertai umat Islam. Berita tentang penghapusan dan pengusiran yang dilakukan
oleh Kemal Ataturk ini segera menyebar ke luar Turki dan mengejutkan dunia
Islam. Kemudian umat Islam di berbagai belahan dunia memberikan respon dalam
berbagai bentuk dan saat itu muncul upaya agar Khilafah dapat tegak kembali. [1]
Pada dasarnya penghapusan Khilafah ini merupakan persoalan bagi
umat Islam di seluruh dunia karena Khilafah merupakan bagian dari keislaman
mereka. Selain itu selama ini Khilafah telah berdiri bersama umat Islam
berabad-abad lamanya sehingga Khilafah telah menjadi bagian sejarah perjalanan
hidup mereka. Tentang hubungan antara umat Islam dan Khilafah serta sebab
persoalan penghapusan ini mendatangkan respon, Muhammad Dhia’uddin ar-Rais,
seorang Guru Besar Jurusan Sejarah Islam Universitas Kairo, di dalam bukunya
yang berjudul al-Islam wa al-Khilafah fi al-Ashr al-Hadits menjelaskan,
sesungguhnya Khilafah ini bukan milik Turki saja melainkan milik
dunia Islam seluruhnya. Ia adalah sebagian dari warisan umat Islam, peninggalan
sejarah dan lambang persatuan mereka. Khilafah merupakan pimpinan spritual
bangsa-bangsa Islam di segenap penjuru bumi. Khilafah ini telah berlangsung
lebih dari seribu tiga ratus tahun.
Yaitu sejak umat Islam mengadakan rapat untuk memilih Abu Bakar
Shiddiq (Sahabat Nabi) sebagai pengganti Rasulullah Muhammad saw. Beliau itulah
sebagai khalifah pertama dalam sejarah Islam, diikuti oleh Khalifah kedua
al-Farq Umar bin Khaththab, begitulah seterusnya silih berganti sepanjang masa,
dalam berbagai dinasti sehingga berakhir pada abad keduapuluh ini. Oleh karena
itu, wajar jika umat Islam memperhatikan dengan sungguh-sungguh soal Khilafah
ini dan memikirkan akibatnya, serta berpikir apa yang akan terjadi kelak di
masa mendatang. [2]
Sebab begitu besar pengaruh keberadaan Khilafah bagi umat Islam
maka berita keruntuhan Khilafah ini mendapatkan respon dari dunia Islam dan
muncul upaya untuk menegakkan Khilafah kembali. Beberapa saat setelah
diruntuhkan, ide untuk menegakan kembali Khilafah langsung bergulir dan terus
diperbincangkan. Di beberapa tempat ide ini diperbincangkan dalam
pertemuan-pertemuan besar.
Pada Maret 1924 dibawah pimpinan Syaikh al-Azhar para ulama
menyelenggarakan pertemuan di Kairo. Dalam pertemuan ini disepakati bahwa
keberadaan Khilafah yang memimpin umat Islam tidak dapat dipungkiri merupakan
sebuah keharusan. Mereka juga berpendapat kedudukan Abdul Majid sebagai
Khalifah sudah gugur setelah dia diusir dari Turki. Oleh sebab itu harus ada pengganti
Khalifah selanjutnya. Untuk membahas siapa yang layak menjadi Khalifah, mereka
memutuskan akan mengadakan Muktamar di Kairo pada Maret 1925 dengan mengundang
wakil-wakil dari umat Islam di seluruh dunia.[3]
Hal serupa juga dilakukan oleh ulama di Hijaz. Pada April 1924
di Makkah, Syarif Husein yang menjadi Amir Makkah membentuk Dewan Khilafah yang
terdiri dari sembilan sayid dan sembilan belas perwakilan dari daerah lain
termasuk dua orang perwakilan dari Jawa. Dewan Khilafah ini dibentuk sebagai upaya
untuk menegakkan kembali jabatan Khalifah. Namun Dewan Khilafah tidak berumur
panjang karena pada tahun yang sama Syarif Husein lengser dari jabatannya. [4]
Di Indonesia pun berita penghapusan Khilafah telah sampai dan
mendapat respon dari ulama dan tokoh pergerakan Islam pada saat itu. Pada Mei
1924, dalam kongres Al-Islam II yang diselenggarakan oleh Sarekat Islam dan
Muhammaddiyah, persoalan tentang Khilafah menjadi topik pembicaraan kongres.
Dalam kongres yang diketuai Haji Agus Salim ini diputuskan bahwa untuk
meningkatkan persatuan umat Islam maka kongres harus ikut aktif dalam usaha
menyelesaikan persoalan Khalifah yang menyangkut kepentingan seluruh umat
Islam. [5]
Keputusan itu semakin dipertegas dengan lahirnya keputusan
Kongres Nasional Central Sarekat Islam pada Agustus 1924 di Surabaya. Seperti
yang diberitakan surat kabar Bandera Islam, kongres memutuskan untuk terlibat
dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus mengirimkan utusannya
ke kongres di Kairo.
“…hendak membantoe dengan segala kekoeatan boedi dan tenaganja
semoea ichtiar jang menoedjoe maksoed akan mengirimkan oetoesannja oemmat Islam
di Hindia-Timoer, boeat menghadiri Congres Igama Islam, jang diadakan di Cairo
goena membitjarakan dan memoetoeskan perkara Chilafat Islam.” [6]
Jauh sebelum Turki Usmani runtuh, permasalahan Khilafah telah
menarik perhatian umat Islam di Indonesia. Hingga kemudian pada 3 Maret 1924
muncullah persoalan yang menyedot perhatian dunia tersebut. Secara umum
keruntuhan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam [7], yang mulai
berfikir tentang pembentukan Khilafah baru. Menurut Deliar Noer, Masyarakat
Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah ini, malah merasa
berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya. [8]
Saat gagasan penegakan Khilafah muncul, masyarakat Islam
Indonesia tengah berada dalam zaman pergerakan nasional. Saat itu telah banyak
bermunculan organisasi-organisasi pergerakan Islam seperti Sarekat Islam,
al-Irsyad, Muhammadiyah dan menyusul kemudian Nahdlatul Ulama. Organisasi ini
muncul karena dorongan aspirasi mereka untuk memajukan Islam dan menentang
penjajahan Belanda. Berbeda dengan generasi sebelum mereka yang menempuh
perjuangan secara fisik dan bersifat kedaerahan, pada zaman ini bangsa
Indonesia berjuang melalui organisasi-organisasi modern. Cara-cara yang
mengedepankan kekuatan intelektual menjadi ciri pergerakan mereka. Pada zaman
itu mereka telah terbiasa menggunakan langkah-langkah seperti pembentukan
komite-komite, penyelenggaran kongres dan pertemuan serta pengadaan sarana
pendidikan, untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Perjuangan mereka semakin
disempurnakan dengan usaha masif penerbitan surat kabar yang menjadi organ bagi
organisasi mereka. [9]
Dengan cara-cara seperti itu juga mereka memperjuangkan
Khilafah. Pembentukan komite, penyelenggaraan kongres dan pertemuan, serta
penerbitan surat kabar menjadi cara yang ditempuh untuk memperjuangan Khilafah
pada zaman itu. Saat berita keruntuhan Khilafah sampai di Indonesia, mereka
meresponnya dan ikut terlibat dalam perjuangan Khilafah. Ditambah pula
perjuangan mereka ini memiliki hubungan dengan perjuangan Khilafah yang
dilakukan oleh umat Islam di negeri lain.
Tersiar kabar akan diselenggarakan sebuah kongres dunia Islam di
Kairo dengan mengundang perwakilan dari seluruh umat Islam di dunia. Kongres
yang dimaksudkan untuk mencari pengganti khalifah ini akan diselenggarakan pada
Maret 1925. Undangan kongres ini pun dikirim ke Indonesia. [10] Sebagai
sambutan atas undangan ini pada tanggal pada tanggal 4-5 Oktober 1924 diadakan
sebuah pertemuan di Surabaya yang dihadiri para ulama dan kaum pergerakan Islam
dari berbagai organisasi. Dihasilkan kesepakatan dalam pertemuan ini bahwa
wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Umat Islam di Indonesia harus
terlibat dalam kongres di Kairo dengan mengirimkan utusan ke kongres tersebut.
Untuk maksud tersebut maka dibentuk sebuah badan khusus bagi perjuangan
Khilafah di Indonesia yang bernama Comite-Chilafat dengan
ketua Wondosoedirdjo dari Sarekat Islam dan wakil ketua K. H. Abdul Wahab
Hasbullah dari kalangan tradisi yang kemudian menjadi salah seorang pendiri NU.
[11]
Pertemuan tersebut ditindaklanjuti dengan diselenggarakan
Kongres al-Islam Luar Biasa pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya.
Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili
pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres
ini. Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan Khilafah. Kedua,
disepakati akan terus didirikan Comite-Chilafaat di seluruh
Hindia-Timur (Indonesia). Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang
utusan sebagai wakil umat Islam di Indonesia ke Kongres di Kairo dengan enam
butir mandat yang telah disepakati. Tiga orang utusan tersebut adalah Surjopranoto
dari Sarekat Islam, Haji Fachroddin dari Muhammadiyah dan K. H. A. Wahab
Hasbullah dari kalangan tradisi. Namun utusan ini gagal berangkat disebabkan
kongres di Kairo ditunda. [12]
Aspirasi umat Islam di Indonesia Pergerakan Khilafah ini terus
menyebar di Indonesia. Kesadaran tentang urgensi perjuangan Khilafah terus
diopinikan. Hal itu diupayakan dengan membentuk cabang-cabang Comite-Chilafaat di
berbagai wilayah di Indonesia [13] dan dengan diadakannya pertemuan-pertemuan
yang membahas Khilafah di beberapa kota. [14]
Catatan Kaki
[1] Untuk uraian berbagai respon atas
keruntuhan Khilafah, lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,
(Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 83-6.
[2] Muhammad Dhia’uddin ar-Rais, Islam
dan Khilafah di Zaman Modern, (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hlm. 45.
[3] Ibid., hlm. 50-1.
[4] Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 86.
[5] Mukayat, Haji Agus Salim Karya &
Pengabdiannya, (Jakarta: Depdikbud, 1985), hlm. 39; A.K. Pringgodigdo SH., Sejarah
Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 37.
[6] Bandera Islam, 16 Oktober 1924.
[7] Dalam surat kabar harian Neratja edisi
26, 27, 29, 31 Maret 1924, K. H. Agus Salim menulis sebuah artikel yang
berjudul Kemanakah Chalifah Islam? Kekaloetan ‘Alam Islam. Artikel
ini mengambarkan kekalutan dunia Islam atas keruntuhan Khilafah.
[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam
di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 242.
[9] Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1901-1942, (Jakarta: LP3ES, 1996) dan A.K. Pringgodigdo
SH., Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986).
[10] Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86.
[11] Deliar Noer, Op.Cit, hlm. 242. Reportase
tentang pertemuan ulama dan kaum pergerakan pada 4-5 Oktober di Surabaya banyak
dimuat dalam surat kabar yang terbit sezaman. Menurut harian Hindia Baroe
pimpinan K. H. Agus Salim, sepanjang sejarah umat Islam di Indonesia, pertemuan
ini merupakan kali pertamanya di Indonesia diadakan sebuah pertemuan yang
khusus membahas tentang Khilafah, lihat Hindia Baroe, 16, 17, 18 Oktober 1924;
dan Bandera Islam, 23, 30 Oktober 1924.
[12] Lihat Deliar Noer, OpCit., hlm. 242; dan
Aqib Suminto, Op.Cit., hlm. 86. Tiga keputusan Kongres ini, lihat “Persidangan
Moelia Loear Biasa Dari Pada Congres Al-Islam” dalam Bandera Islam, 1
Januari 1925. Penundaan kongres Kairo disebabakan oleh tiga alasan, yakni: 1.
Masih berkecambuknya perang di Hijaz; 2. Belum jelasnya beberapa negeri Islam
atas seluk beluk kongres; dan 3. Kesibukan Mesir dalam menghadapi pemilihan
umum, lihat Bandera Islam, 22 Januari 1925.
[13] Cabang dari Komite Khilafah ini antara
lain: Sub-comite Chilafaat Djokjakarta, Sub-comite Chilafaat Pekalongan,
Sub-comite Chilafaat Tjirebon, Sub-comite Chilafaat Pasoeroean, Sub-comite
Chilafaat Buitenzorg, Sub-comite Chilafaat Bandjermasin dan Sub-comite
Chilafaat Tjiandjoer, lihat Bandera Islam, 1 Januari 1925.
[14] Harian Hindia Baroe, 4
Desember 1924, memberitakan tentang pertemuan Sub-comite Chilafaat Tjiandjoer
yang dihadiri oleh 3000 orang dari berbagai kota seperti Cianjur dan Sukabumi,
pertemuan ini membahas tentang perjuangan Khilafah. Selain itu Sub-comite
Tjiandjoer menyumbangkan dana kepada Comite-Chilafaat di Surabaya, lihat
Bandera Islam, 29 Januari 1925; Pada 15 Januari 1925, surat kabar Bandera Islam
memberitakan tentang pertemuan S.I. Majalengka. Dalam pertemuan yang dihadiri
oleh 350 orang ini dibahas tentang pergerakan Khilafah dan keputusan Kongres
Al-Islam di Surabaya