Rabu, 24 September 2014

Dhoror dan hakekatnya


APAKAH  HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA?

 Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kaidah syara’, yang dimaksud dengan dhoror adalah: Sampainya batas ketika sesuatu yang dilarang itu diperoleh, maka akan menemui kecelakaan atau kebinasaan atau nyaris binasa. Atau bisa juga bermakna: Suatu keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan menimbulkan kebinasaan atau kematian. Pemahaman ini bisa kita lihat dalam kitab Asybah wan Nazhooir karya Imam As Suyuthi.

Cakupan dhoror itu ada dua aspek: pertama, memang secara jelas ditunjukkan bahayanya (baik oleh benda/perbuatan); dan yang kedua, dikatakan dhoror karena ada qarinah atau indikasi yang menyertainya. Contoh pada aspek yang pertama bisa terjadi pada benda dan perbuatan, tidak dikhususkan pada salah satunya. Pada benda, misalnya racun. Sedangkan pada perbuatan, misalnya seseorang yang membongkar rahasia kekuatan pasukan Islam (dalam suatu medan jihad) ketika dirinya ditawan musuh. Keduanya sama-sama merupakan hal yang berbahaya.

Contoh pada aspek yang kedua: mata uang dollar itu mubah, halal zatnya (bendanya). Tetapi bisa haram memperjualbelikannya karena akan membahayakan stablitas keuangan negara. Ada lagi, seseorang yang memberikan informasi tentang usaha-usaha dakwah kepada orang kafir. Pada dasarnya hukum memberikan informasi tentang aktivitas dakwah itu mubah, tetapi tetap saja tidak dibenarkan, karena bisa menggerus dakwah Islam.

Jadi, dhoror itu bisa menimpa diri sendiri, bisa juga menimpa orang lain. Ingat, sekali lagi batasan dhoror adalah sampainya seseorang atau orang lain dalam kebinasaan atau kematian atau nyaris binasa seperti kelumpuhan dan lain sebagainya.

Pertanyaannya:
Apakah kalau kaum muslimin tidak berkecimpung di politik praktis maka akan mengakibatkan kaum muslimin di Indonesia ditimpa berbagai dhoror? Atau kaum muslimin di Indonesia akan binasa atau mati seluruhnya? Atau kaum muslimin akan mengalami kondisi yang mengakibatkan diri mereka tersiksa secara fisik hingga mengalami kelumpuhan atau kesakitan yang luar biasa?

Jawabannya, belum pasti. Karena belum pasti, maka kaidah di atas tidak bisa diberlakukan.

Jadi, jika seseorang tidak berada dalam konteks dhoror tersebut, maka dalam konteks seperti ini tidak ada pilihan: mana di antara keduanya yang paling ringan dhoror-nya. Bahkan cara ini tergolong cara yang bodoh dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan.

Misalnya, lokaslisasi pelacuran adalah haram. Keberadaan lokalisasi pelacuran itu dilegalkan dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu terjadinya seks liar atau transasksi seks bebas. Atau melegalkan ATM Kondom dengan alasan menghindari dhoror yang lebih besar, yaitu tersebarnya virus HIV/AIDS. Penerapan kaidah syara’ seperti ini jelas keliru, bodoh, dan serampangan. Sebab, kedua dhoror tersebut merupakan bentuk pelanggaran syariat, yang sebenarnya bisa dihindari dan tidak engharuskan memilih salah satu di antara keduanya. Bahkan menghilangkannya pun bisa.

Jadi, tidak bisa kita mengatakan: daripada dikuasai orang-orang yang sekulernya banyak, mendingan dikuasai orang-orang yang sekulernya sedikit. Atau: daripada virus HIV/AIDS tersebar, mendingan legalkan ATM Kondom atau lokalisasi pelacuran. Atau yang lainnya.

Melaksanakan Kewajiban yang Sukar Dilaksanakan
Berkaitan dengan kaidah syara’ yang kedua, yaitu: jika tidak bisa diraih semuanya, maka jangan ditinggalkan semuanya, maka jawabannya adalah sebagai berikut.

Kaidah: maa laa yudroku kulluhu laa yutroku jalluhu, adalah sebuah kaidah kaidah syara’ yang memerintahkan kita melaksanakan kewajiban, karena kewajiban itu memang wajib dilaksanakan meski kewajiban itu memang sukar untuk dilakukan. Sehingga, apa pun yang terjadi, kewajiban syara’ itu memang harus dilaksanakan, sekalipun sulit. Mengapa? Sebab, sukarnya melaksanakan kewajiban tidak akan menggugurkan kewajiban secara keseluruhan.

Menurut Imam As Suyuthi, kaidah syara’ ini digali dari hadis Rasulullah saw., “Idzaa amartukum bi amrin fa’tu minhu mastaho’tum (Jika aku memerintahkan kepada kalian suatu urusan/perintah, tunaikanlah urusan/perintah itu sesuai dengan kemampuan kalian).”

Oleh karena itu, maksud dari kaidah syara’ tersebut adalah bahwa kewajiban itu memang harus ditunaikan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Artinya, kita harus mengerahkan kekuatan semaksimal mungkin untuk melaksanakan kewajiban tersebut, sekalipun sulit dilakukan.

Penerapan kaidah ini, misalnya sebagai berikut.
Misalnya kita dipenjara. Padahal waktu salat tiba. Sementara itu kita tidak diperbolehkan keluar untuk mengambil air wudhu. Maka kondisi itu tidak akan bisa menghapus kewajiban seseorang untuk mendirikan salat. Sebab, tidak bisa dilakukannya wudhu atau tayamum tetap tidak bisa menggugurkan kewajiban salat. Artinya, jika tidak bisa melaksanakan kewajiban salat secara ideal, jangan ditinggalkan semua (kewajiban salat itu). Tetapi, tetaplah salat, sekalipun sulit dilakukan atau dengan kondisi yang tidak ideal.

Atau begini: ketika seseorang baru masuk Islam dan belum menguasai bacaan-bacaan salat, dia tetap wajib salat meskipun dia harus dipandu oleh orang, dan tetap berusaha untuk menghafalnya.

Kaidah ini tidak bisa diberlakukan pada: keterlibatan kaum muslim di pemerintahan kufur. Sebab, masih ada kemungkinan lain untuk meraih kekuasaan, tanpa harus terlibat di dalamnya. Yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat, bukan parlemen atau melalui sistem kufur tersebut. Jadi, konteks yang ditinggalkan bukan sistem kufurnya, tetapi cara untuk meraih kekuasaan tersebut.

Artinya: Jika tidak bisa melaksanakan semua kewajiban syariat (secara kaffah), jangan ditinggalkan semua kewajiban itu, sebab masih ada kewajiban lain yang bisa ditunaikan, yaitu meraih kekuasaan dengan jalan umat.

Dikatakan meninggalkan semuanya (meninggalkan upaya meraih kekuasaan), jika seseorang berdiam diri dan tidak melakukan apapun. Ini dikatakan meninggalkan semua upaya untuk meraih kekuasaan.

Jadi, maknanya bukan: karena kita tidak bisa meraih semua kekuasaan, maka harus mengambil salah satu kekuasaan.

Ini tidak benar. Sehingga penggunaan kaidah-kaidah di atas sebagai ‘dalil’ untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas sesuatu yang serampangan.

Dalam pandangan Hizbut Tahrir, dalil syariat itu hanya ada empat, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ sahabat, dan qiyas syar’i. Sedangkan yang lain, seperti syar’u man qablana (syariat-umat-umat terdahulu), mazhab sahabat, ‘urf, mashalih mursalah, dan sebagainya bukanlah dalil syariat, tetapi sesuatu yang dianggap dalil padahal bukan dalil. Apalagi kaidah syara’, jelas itu bukan dalil. Sebab, pada dasarnya kaidah syariat adalah setiap kadiah yang digali dari dalil-dalil syariat.

Jadi, penerapan kaidah-kaidah di atas untuk memperkuat argumen pragmatisme politik, jelas tidak tepat.


Wallahu a'lam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...