Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci
tata cara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi
atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan
menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata).
2. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa
hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran
bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan
pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah
hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam
segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau
untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam
kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga
menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali
jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang
kuat dari Allah.” [HR. Imam Bukhari]
Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan
kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan
siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan
mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi
mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab
Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih
Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai
kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana
yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen,
“”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih
menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari
para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan
selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim
wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika
para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga
menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa
yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga
menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika
penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata.
Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara
muhasabah yang dilakukan generasi terdahulu.
4. Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan
bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah,
memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah.
Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga
mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk
Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di
dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk
Kufah pada saat itu termasuk firqah/kelompok yang sesat)”. [Al Bidayah wa An
Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra
untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.
Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah
ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra.
Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib
ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam
sejarah umat Islam, Perang Jamal.
5. Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah
beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara
kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki
Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok,
maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.
6. Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di
dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para
shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…”
Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya,
“Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?”
Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya
mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan
gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun
menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah
menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi
Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi
Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan
mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa
al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa. terj), hal. 70-71]
7. Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta
beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu,
berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak
akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai
Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong
jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih
payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada
hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari
pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata,
“Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku
marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan
setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika
salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya
masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih
payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”. [Hadits
ini dituturkan oleh Abu Nu'aim dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali
oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]
8. Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras
Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah yang telah menguras harta
pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini
mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di
depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul
Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]
9. Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al
Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada
Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim
Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak
dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika
menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan
langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir,
hal. 8]
10. Sulthan al-’Ulama, Al ‘Izzuddin bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail
yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi
Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga
mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk
Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan
khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Izzuddin ‘Abdus Salam dipecat dari
jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]
Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish
menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut
di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para
penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya
di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.
Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan
ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat
mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang
sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah
hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.
Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah
menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku
Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm
mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun
mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika
malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya.
Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw
bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia
yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm
berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar,
dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki
kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan
terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia
menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan
apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam,
kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu,
tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang
yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]
‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau
adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang
melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.
Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat
yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau
wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang
yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di
dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia
mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal
dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau,
sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.
Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan
‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy
al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari
shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad
bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu
Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad
bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab,
“Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”.
Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah
(terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya.
Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku
berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits
bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku
berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy
secara mursal”.
Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin
‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra
yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin
‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan
Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah
pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?
Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq
(menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun
indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang
yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi
sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar)
dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata,
“Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah
meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada
kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Iyadl
bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda
Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah
ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya,
lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala,
dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR.
Imam Ahmad]
Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan
sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa
menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis
dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan
dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari
gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al
Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya
berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya
tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid
mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang
tabi’un.
Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq
(menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang
menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang
menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai
hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.
Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah
diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy. Jika
demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di
atas.
Demikianlah beberapa argumen tentang kebolehan melakukan muhasabah di muka
umum.