Rabu, 19 November 2014


H.O.S.Tjokroaminoto dan Syarikat Islam

Dilahirkan pada 16 Agustus 1882 di madiun Jawa Timur.Ia merupakan tokoh Syarikat Islam yang merupakan modifikasi dari Syarikat Dagang Islam yang didirikan pada 11 November 1911 yang mengalami penyesuaian dengan wawasan dan kebutuhan akan makna perjuangan bangsa Indonesia saat itu.

Ide Pemikiran

SI bergerak bukan hanya sebatas ekonomi bangsa Indonesia, tapi juga persoalan yang prinsipil yaitu tentang status sosial politik bagi bangsa Indonesia.Awal abad ke 20 SI berdiri yang merupakan organisasi politik Islam modern. Titik perjuangannya sangat populis berbeda dengan Budi Utomo yang keanggotaannya dari kalangan priyayi Jawa dan Madura. Obsesi Tjokroaminoto tidak berlebihan, keinginannya mendirikan negara Islam yang bebas dan merdeka dari tekanan penjajah Belanda mengundang bahaya besar dan penuh resiko. Model negara Islam yang dicontohkan beliau adalah negara Islam Madinah di Zaman Rasul. Tjokroaminoto menunjukkan integritas yang tinggi akan obsesi kemerdekaan yang dikumandangkannya. Kebenciannya terhadap pemerintah Belanda yang dianggapnya sebagai lintah penghisap darah rakyat, membuat ia rela berhenti dan mengundurkan diri menjadi pegawai pemerintah Belanda pada tahun1934, kemudian membina karir sendiri. Tjokroaminoto mendirikan Central Syarikat Islam (CSI) pada Februari 1915 dan menjadikan seluruh anggota cabang-cabang harus tunduk kepada CSI pusat. Dengan taktik yang dilakukannya ini, akhirnya pemerintah Belanda memberikan pengakuan terhadap keberadaan SI Pusat pada maret 1916l. Adanya pengakuan dari pemerintah Belanda, menyebabkan pendukung-pendukung SI bertebaran dan cabang-cabang gerakan makin intensif mengadakan pertemuan-pertemuan politik.Rakyat awam terutama pendukung dari pulau Jawa sering menyebut gerakan Ratu Adil. Eksistensi SI yang menjadi tumpuan harapan bagi sebagian besar rakyat Indonesia di pulau Jawa mampu membangkitkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Adanya kesatuan dan kekuatan dari seluruh organisasi SI, maka gerakan politiknya semakin berani dan radikal. Tahun 1917 di Batavia, SI mengumandangkan aklamasi tuntutan kemerdekaan atas Republik Indonesia dari pemerintah Belanda. Gubernur Jenderal Idenburg melaksanakan antisipasi dan rintangan yang serius terhadap SI, yaitu dengan jalan memasukkan ideology Marxisme (Komunis) ke Indonesia untuk melakukan infiltrasi terhadap SI. Tokoh-tokoh Belanda yang berperan memasukkan ideologi Marxis ke dalam SI di antaranya H.J.F. Sneevliet yang tahun 1914 mendirikan Indische Social Demokratische Vereniging (ISDV),

Organisasi Sosial Demokrasi Hindia Belanda.SI mengalami rintangan dari ISDV terhadap kemurnian perjuangan SI, karena di dalam tubuh SI banyak dimasukkan tokoh-tokoh yang berhaluan komunis, seperti Semaun, Alimin.Mereka merusak SI dengan paham Marxis, sehingga lambat laun SI menjadi lemah dalam memperjuangkan kepentingan kemerdekaan bangsa Indonesia.ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 Mei 1920. Kemudian tokoh SI satu persatu masuk ke dalam perangkap komunis, SI hanya sebagai baju untuk mengelabui massa muslimin, sehingga muncul istilah SI Merah. Kurang lebih satu dekade PKI menjadi partai terkuat di Asia.Perjuangan SI mencapai prinsip-prinsip politik kenegaraan Islam hanya menjadi simbol nasional.Secara eksistensi haluan cita-cita SI tampaknya gagal, tapi semangat dan vitalis esensial mereka terus berlanjut sampai Indonesia merdeka pada tahun1945. Tjokroaminoto membangkitkan Islam sebagai motivasi gerakan agama dalam mempersatukan perbedaan ras, suku dan kepentingan ke dalam SI. Karena berciri Islam, maka dapat dikatakan SI mengarah kepada indikasi gerakan Pan Islamisme, sebagaimana Pan Islamisme Jamaluddin Al Afghani.

Daftar Pustaka


Prof.Dr.H.Abuddin Nata,M.A. “Pembaruan Pemikiran dalam Islam”, Taufik Akhmad,M.Pd., M.Dimyati Huda,M.Ag, Binti Maunah,M.Ag ,Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005

Selasa, 18 November 2014

MENASEHATI PENGUASA

TENTANG
KEBOLEHAN MENASIHATI PENGUASA
 DI TEMPAT UMUM
Ada beberapa argumen seputar bolehnya menasihati penguasa di tempat umum.

1. Ada perintah dari Nabi saw agar kaum Muslim memberi nasehat kepada para penguasa fajir dan dzalim secara mutlak. Imam Al Hakim dan Ath Thabaraniy menuturkan riwayat dari Jabir ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]

Hadits ini datang dalam bentuk umum. Hadits ini tidak menjelaskan secara rinci tata cara mengoreksi seorang penguasa; apakah harus dengan sembunyi-sembunyi atau harus dengan terang-terangan. Atas dasar itu, seorang Muslim dibolehkan menasehati penguasa dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi (empat mata).

2. Ada perintah dari Rasulullah saw untuk mengoreksi (muhasabah) penguasa hingga taraf memerangi penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata (kufran bawahan). Nabi saw memerintahkan para shahabat untuk mengoreksi penguasa dengan pedang, jika telah tampak kekufuran yang nyata. Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
“Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.” [HR. Imam Bukhari]

Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]

Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu seorang Muslim wajib mengoreksi penguasa dengan terang-terangan bahkan dengan pedang, jika para penguasanya melakukan kekufuran yang nyata. Hadits-hadits di atas juga menjelaskan bahwa seorang Muslim wajib memisahkan diri dari penguasa-penguasa yang melakukan kekufuran yang nyata. Selain itu, riwayat di atas juga menunjukkan bahwa menasehati penguasa boleh dilakukan dengan pedang, jika penguasa tersebut telah menampakkan kekufuran yang nyata.

Riwayat-riwayat berikut ini menjelaskan kepada kita bagaimana cara-cara muhasabah yang dilakukan generasi terdahulu.

4. Di dalam Kitab Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8, hal. 217, disebutkan bahwasanya Imam Al Huda al-Husain bin ‘Ali ra, pemimpin pemuda ahlul jannah, memisahkan diri (khuruj) dari penguasa fajir Khalifah Yazid bin Mu’awiyyah. Imam Husain ra dibai’at oleh penduduk Kufah pada tahun 61 H. Beliau ra juga mengutus anak pamannya, Muslim bin ‘Aqil ra untuk mengambil bai’at penduduk Kufah untuk dirinya. Dan tidak kurang 18 ribu orang membai’at dirinya. Dan di dalam sejarah, tak seorang pun menyatakan bahwa Imam Husain ra dan penduduk Kufah pada saat itu termasuk firqah/kelompok yang sesat)”. [Al Bidayah wa An Nihayah, juz 8/217] Inilah cara yang dilakukan oleh Imam Husain bin ‘Ali ra untuk mengoreksi (muhasabah) kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyyah.

Sebelum Imam Husain bin ‘Ali ra, kaum Muslim juga menyaksikan Ummul Mukminin ‘Aisyah ra yang memimpin kaum Muslim untuk khuruj dari Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Inilah cara Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengoreksi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Hingga akhirnya, meletuslah peperangan yang sangat besar dan terkenal dalam sejarah umat Islam, Perang Jamal.

5. Ketika Umar bin Khaththab ra berkhuthbah di hadapan kaum Muslim, setelah beliau diangkat menjadi Amirul Mukminin, beliau berkata, “Barangsiapa di antara kalian melihatku bengkok, maka hendaklah dia meluruskannya”. Seorang laki-laki Arab berdiri dan berkata, “Demi Allah wahai Umar, jika kami melihatmu bengkok, maka kami akan meluruskannya dengan tajamnya pedang kami”.

6. Pada saat Umar bin Khaththab ra mengenakan baju dari kain Yaman yang di dapat dari harta ghanimah. Beliau ra kemudian berkhuthbah di hadapan para shahabat dengan baju itu, dan berkata, “Wahai manusia dengarlah dan taatilah…” Salman Al Farisi ra, seorang shahabat mulia berdiri seraya berkata kepadanya, “Kami tidak akan mendengar dan mentaatimu”. Umar berkata, “Mengapa demikian?” Salman menjawab, “Dari mana kamu mendapat pakaian itu, sedangkan kamu hanya mendapat satu kain, sedangkan kamu bertubuh tinggi? Beliau menjawab, “Jangan gesa-gesa, lalu beliau memanggil, “Wahai ‘Abdullah”. Namun tidak seorang pun menjawab. Lalu beliau ra berkata lagi, “Wahai ‘Abdullah bin Umar..”. ‘Abdullah menjawab, “Saya wahai Amirul Mukminin”. Beliau berkata, “Bersumpahlah demi Allah, apakah kain yang aku pakai ini kainmu? Abdullah bin Umar menjawab, “Demi Allah, ya”. Salman berkata, “Sekarang perintahlah kami, maka kami akan mendengar dan taat”. ['Abdul 'Aziz Al Badriy, Al-Islam bain al-'Ulama' wa al-Hukkam Ihitam Putih Wajah Ulama dan Penguasa. terj), hal. 70-71]

7. Amirul Mukminin Mu’awiyyah berdiri di atas mimbar setelah memotong jatah harta beberapa kaum Muslim, lalu ia berkata, “Dengarlah dan taatilah..”. Lalu, berdirilah Abu Muslim Al Khulani mengkritik tindakannya yang salah, “Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu’awiyyah!”. Mu’awiyyah berkata, “Mengapa wahai Abu Muslim?”. Abu Muslim menjawab, “Wahai Mu’awiyyah, mengapa engkau memotong jatah itu, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu? Mu’awiyyah marah dan turun dari mimbar seraya berkata kepada hadirin, “Tetaplah kalian di tempat”. Lalu, dia menghilang sebentar dari pandangan mereka, lalu keluar dan dia sudah mandi. Mu’awiyyah berkata, “Sesungguhnya Abu Muslim telah berkata kepadaku dengan perkataan yang membuatku marah. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, “Kemarahan itu termasuk perbuatan setan, dan setan diciptakan dari api yang bisa dipadamkan dengan air. Maka jika salah seorang di antara kalian marah, hendaklah ia mandi”. Sebenarnya saya masuk untuk mandi. Abu Muslim berkata benar bahwa harta itu bukan hasil jerih payahku dan bukan pula jerih payah ayahku, maka ambillah jatah kalian”. [Hadits ini dituturkan oleh Abu Nu'aim dalam Kitab Al-Khiyah, dan diceritakan kembali oleh Imam Al Ghazali dalam Kitab Al Ihya', juz 7, hal. 70]

8. Seorang ulama besar, Syaikh Mundzir bin Sa’id mengkritik sangat keras Khalifah Abdurrahman An Nashir Lidinillah yang telah menguras harta pemerintahan untuk mempermegah dan memperindah kota Az Zahra. Ulama besar ini mengkritik sang Khalifah dalam khuthbah Jum’atnya secara terang-terangan di depan Khalifah An Nashir dan dihadiri orang penduduk kota Az Zahra. [Abdul Hamid Al Ubbadi, Min Akhlaq al-'Ulamaa', Majalah Al Azhar, Ramadhan, 1371 H]

9. Dalam Kitab Qalaaid Al Jawaahir disebutkan bahwasanya Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berdiri di atas mimbar untuk mengkritik dan memberikan nasehat kepada Gubernur Yahya bin Sa’id yang terkenal dengan julukan Abnu Mazaahim Adz Dzaalim Al Qadla. Syaikh Abdul Qadir Al Kailaniy berkata, “Semoga orang Islam tidak dipimpin oleh oirang yang paling dzalim; maka apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam yang paling pengasih? Gubernur itu gemetar dan langsung meninggalkan apa yang dinasehatkan kepadanya”. [Qalaaid Al Jawaahir, hal. 8]

10. Sulthan al-’Ulama, Al ‘Izzuddin bin Abdus Salam telah mengkritik Raja Ismail yang telah bersekongkol dengan orang-orang Eropa Kristen untuk memerangi Najamuddin bin Ayyub. Ulama besar ini tidak hanya membuat fatwa, tetapi juga mengkritik tindakan Raja Ismail di depan mimbar Jum’at di hadapan penduduk Damaskus. Saat itu Raja Ismail tidak ada di Damaskus. Akibat fatwa dan khuthbahnya yang tegas dan lurus, Al ‘Izzuddin ‘Abdus Salam dipecat dari jabatannya dan dipenjara di rumahnya. [As Subki, Thabaqat, dan lain-lain]

Kisah-kisah di atas menunjukkan bagaimana cara para ulama shalih dan mukhlish menasehati penguasa-penguasanya. Kisah-kisah semacam ini sangat banyak disebut di dalam kitab-kitab tarikh. Mereka tidak segan-segan untuk menasehati para penguasa menyimpang dan dzalim secara terang-terangan, mengkritik kebijakannya di mimbar-mimbar terbuka, maupun fatwa-fatwanya.

Namun, sebagian orang awam menyangka ada riwayat yang mengkhususkan ketentuan ini. Mereka berpendapat bahwa mengoreksi penguasa harus dilakukan dengan empat mata, karena ada dalil yang mengkhususkan. Mereka berdalih dengan hadits yang sumbernya (tsubutnya) masih perlu dikaji secara mendalam. Hadits itu adalah hadits yang riwayatkan oleh Imam Ahmad.

Imam Ahmad menuturkan sebuah hadits dan berkata:
“Telah meriwayatkan kepada kami Abu Al Mughirah, dan dia berkata, “Telah menuturkan kepada kami Shofwan, dan ia berkata, “Telah meriwayatkan kepadaku Syuraih bin ‘Ubaid al Hadlramiy dan lainnya, dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanm mendera penduduk Dariya, ketika berhasil dikalahkan. Hisyam bin Hakim pun mengkritik Iyadl bin Ghanm dengan kasar dan keras, hingga ‘Iyadl marah. Ketika malam datang, Hisyam bin Malik mendatangi ‘Iyadl, dan meminta maaf kepadanya. Lalu Hisyam berkata kepada ‘Iyadl, “Tidakkah engkau mendengar Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya manusia yang mendapat siksa paling keras adalah manusia yang paling keras menyiksa manusia di kehidupan dunia”. ‘Iyadl bin Ghanm berkata, “Ya Hisyam bin Hakim, sungguh, kami mendengar apa yang engkau dengar, dan kami juga menyaksikan apa yang engkau saksikan; tidakkah engkau mendengar Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa (orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah), maka janganlah menasehatinya dengan terang-terangan, tetapi ambillah tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima nasehat, maka baginya pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya untuk orang itu. Sesungguhnya, engkau ya Hisyam, kamu sungguh berani, karena engkau berani kepada penguasanya Allah. Lalu, tidakkah engkau takut dibunuh oleh penguasanya Allah, dan engkau menjadi orang yang terbunuh oleh penguasa Allah tabaaraka wa ta’aala”.[HR. Imam Ahmad]

‘Iyadl bin Ghanm adalah Ibnu Zuhair bin Abiy Syadad, Abu Sa’ad al-Fahri. Beliau adalah seorang shahabat yang memiliki keutamaan. Beliau termasuk shahabat yang melakukan bai’at Ridlwan; dan wafat pada tahun 20 H di Syams.

Hisyam bin Hakim bin Hazam bin Khuwailid al-Qurasyiy al-Asdiy adalah shahabat yang memiliki keutamaan, dan beliau adalah putera dari seorang shahabat. Beliau wafat pada awal-awal masa kekhilafahan Mu’awiyyah bin Abi Sofyan. Ada orang yang menduga bahwa beliau meraih mati syahid di Ajnadain. Beliau disebut di dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim dalam haditsnya Umar tatkala ia mendengarnya membaca surat Al Furqan. Beliau wafat sebelum ayahnya meninggal dunia. Imam Muslim, Abu Dawud, dan An Nasaaiy menuturkan hadits dari beliau, sebagaimana disebutkan dalam Kitab At Taqriib.

Di dalam Kitab Tahdziib al-Kamal, Al Maziy berkata, “Diriwayatkan darinya:…dan ‘Urwah bin Az Zubair…hingga akhir. Adapun Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy al-Hamashiy, dia adalah seorang tabi’in tsiqqah (terpercaya). Riwayatnya dari shahabat secara mursal, sebagaimana disebut dalam Tahdziib al-Kamal, “Mohammad bin ‘Auf ditanya apakah Syuraih bin ‘Ubaid al-Hadlramiy mendengar dari Abu Darda’? Mohammad bin ‘Auf menjawab, “Tidak”. Juga ditanyakan kepada Mohammad bin ‘Auf, apakah dia mendengar dari seorang shahabat Nabi saw? Dia menjawab, “Saya kira tidak. Sebab, ia tidak mengatakan dari riwayatnya, “saya mendengar”. Dan dia adalah tsiqqah (terpercaya)”.
Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab At Taqriib mengatakan, “Dia tsiqqah (terpercaya), dan banyak meriwayatkan hadits secara mursal; karena tadlisnya. Ibnu Abi Hatim di dalam Kitab Al Maraasiil berkata, “Saya mendengar ayahku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah, al-Harits bin Harits, dan Miqdam. Ibnu Abi Hatim berkata, “Saya mendengar bapakku berkata, “Syuraih bin ‘Ubaid menuturkan hadits dari Abu Malik Al Asy’ariy secara mursal”.

Jika Syuraih bin ‘Ubaid tidak pernah bertemu dengan Abu Umamah Shadiy bin ‘Ijlaan al-Bahiliy ra yang wafat pada tahun 76 H dan Miqdam al-Ma’diy Karab ra yang wafat pada tahun 87 H, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa Syuraih bin ‘Ubaid bertemu dengan Hisyam bin Hakim yang wafat pada awal-awal pemerintahan Mu’awiyyah, lebih-lebih lagi ‘Iyadl bin Ghanm yang wafat pada tahun 20 Hijrah pada masa ‘Umar bin Khaththab ra?

Selain itu, Syuraih bin ‘Ubaid ra meriwayatkan hadits itu dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya) dan di dalam hadits itu tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, atau mendengar orang yang mengisahkan kisah tersebut. Dengan demikian, hadits di atas harus dihukumi sebagai hadits munqathi’ (terputus), dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Demikian pula hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad secara ringkas (mukhtashar) dari Ibnu ‘Abi ‘Ashim di dalam kitab As Sunnah, di mana Imam Ahmad berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami ‘Amru bin ‘Utsman, di mana dia berkata,”Telah meriwayatkan kepada kami Baqiyah, dan dia berkata, “Telah meriwayatkan kepada kami Sofwan bin ‘Amru, dari Syuraih bin ‘Ubaid, bahwasanya dia berkata, “‘Iyadl bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, tidakkah engkau mendengar sabda Rasulullah saw yang bersabda, “Barangsiapa hendak menasehati penguasa janganlah ia sampaikan dengan terang-terangan, akan tetapi hendaklah ia ambil tangannya, lalu menyepilah dengannya. Jika ia menerima maka ia akan mendapatkan pahala, dan jika tidak, maka ia telah menunaikan apa yang menjadi kewajibannya”.[HR. Imam Ahmad]

Baqiyyah adalah seorang mudalis. Walaupun Baqiyyah menuturkan hadits ini dengan sharih menurut versi Ibnu Abi ‘Aashim, tetapi, tetap saja tidak bisa menyelamatkan Baqiyyah. Pasalnya, ia adalah perawi yang suka melakukan tadlis dengan tadlis yang buruk (tadlis qabiih) –yakni tadlis taswiyah . Dikhawatirkan dari tadlisnya itu ‘an’anah [(meriwayatkan dengan 'an (dari), 'an (dari)] dari gurunya dari gurunya jika ditarik ke atas. Di dalam Kitab Al Majma’, Imam Al Haitsamiy berkata, “Yang benar, jalur darinya (Syuraih bin ‘Ubaid) hanya berasal dari Hisyam saja. Hadits ini diriwayatkan Imam Ahmad, dan rijalnya tsiqat (terpercaya). Akan tetapi, saya tidak mendapati Syuraih bin ‘Ubaid mendengar hadits ini langsung dari ‘Iyadl dan Hisyam, walaupun dia seorang tabi’un.

Catatan lain, Syuraih bin ‘Ubaid meriwayatkan hadits ini dengan ta’liq (menggugurkan perawi atasnya), dan di dalam hadits ini tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa ia hadir dalam kisah itu, maupun mendengar dari orang yang menceritakan kisah tersebut. Oleh karena itu, hadits ini harus dihukumi sebagai hadits munqathi’; dan tidak layak dijadikan sebagai hujjah.

Adapun dari jalur-jalur lain, misalnya dari jalur Jabir bin Nafir, maka setelah diteliti, ada perawi yang lemah, yakni Mohammad bin Ismail bin ‘Iyasy. Jika demikian kenyataannya, gugurlah berdalil dengan hadits riwayat Imam Ahmad di atas.

Demikianlah beberapa argumen tentang kebolehan melakukan muhasabah di muka umum.

WALLOHU A’LAM BISHAWAB

KEPRIBADIAN ISLAM

Kepribadian Islam



   
   Sudah biasa dalam kehidupan kita sehari-hari disuguhi fakta kehancuran kepribadian bangsa, pakaian yang mengumbar aurat, kriminalitas yang semakin nekad, korupsi yang sulit menghukum pelakunya, tari-tarian seronok yang dianggap sebagai ekspresi pribadi dalam seni, kemusyrikin yang dibungkus secara halus dengan acara mistis, ghibah yang dibungkus indah dengan infotainment, zina diberi istilah manis dengan PSK (pekerja seks komersial) seolah-olah ini juga pekerjaan yang halal seperti pekerjaan lainnya, dan lain-lain. Sangat banyak jika diurut satu persatu.

      Bangsa ini dianggap tidak lagi mempunyai kepribadian, tetapi telah mengekor dengan kebudayaan Barat yang kafir dan sekuler. Sehingga mereka menganjurkan agar kembali kepada akar budaya bangsa, yakni warisan leluhur nenek moyang. Apakah yang menentukan kepribadian seseorang; penampilannya dengan jas dan berdasi?; sederet gelar yang menempel didepan dan belakang namanya?, seabrek jabatan yang disandangnya? Lantas sebagai umat Islam, apakah betul jika ingin memiliki kepribadian maka kita harus kembali kepada akar budaya bangsa yang merupakan warisan leluhur nenek moyang?

      Saat manusia diciptakan oleh Allah swt Yang Maha Pencipta sekalian alam, maka seorang manusia disertai juga dengan Potensi Kehidupan (thaqatul hayawiyah), dan ini telah menjadi satu paket dengan penciptaan manusia itu sendiri. Potensi kehidupan (thaqatul hayawiyah) ini terdiridari 3 unsur; 1. Naluri-naluri (gharizah), yakni naluri beragama (tadayyun), naluri seksual (na'u) dan naluri mempertahankan diri (baqa); 2.
Kebutuhan jasmani, yakni makan, minum, buang hajat, dan lain-lain; serta 3. Akal (al-aqlu).

     Karena manusia mempunyai fitrah berupa naluri-naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani diatas, maka ia akan berusaha memenuhi keinginan tersebut. Cara pemenuhannya sangat tergantung dengan pola fikirnya (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang dipunyainya. Misal, saat ia ingin menyalurkan naluri seksualnya (gharizatun na'u), jika aqliyahnya Islam maka nafsiyahnya-pun Islam yakni dengan menikah, sebaliknya jika aqliyahnya non-Islam maka nafsiyahnya-pun non-Islam dengan hidup bersama tanpa menikah. Sehingga, kepribadian (syakhshiyah) seseorang merupakan gabungan antara pola fikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah).

     Pola fikir (aqliyah) adalah, mengaitkan antara fakta (al-waqi') yang ditemui dengan informasi (ma'lumat) yang diperoleh sebelumnya. Misal, jika kepada seorang anak kecil diperlihatkan sebuah benda HANDPHONE dan diinformasikan kepada dirinya bahwa nama benda tersebut adalah PULPEN, selalu diulang-ulang dan ditanamkan kepada dirinya bahwa benda itu adalah PULPEN, maka pada saat ia disuruh mengambil PULPEN maka ia akan menghantarkan kepada kita sebuah HANDPHONE. Begitulah dahsyatnya sebuah pemahaman yang salah terhadap aqliyah, hal ini baru sebatas masalah sebuah benda yang diberikan informasi yang salah, apalagi pemahaman yang salah tentang hukum-hukum syara' (syari'at Islam).

     Sehingga wajar saja, meskipun mereka disebut cendekiawan muslim atau kiai sekalipun, tetapi bisa jadi pemikirannya sekuler (memisahkan agama dari kehidupan bernegara). Karena ia telah memperoleh pemahaman yang salah bahwa Islam hanya sebatas ibadah mahdhah (individu), negara tidak berhak mengatur kehidupan beragama rakyatnya, begitu kata mereka. Padahal begitu banyak ayat dan hadits yang menyatakan bahwa Allah swt saja yang berwenang dalam menetapkan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia, dan hanya sebuah negara (daulah) yang memungkinkan hukum-hukum itu diterapkan secara kaffah (total).

     Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya (An-Nisaa' 59).

Sedangkan pola sikap (nafsiyah) adalah, sikap yang diambil oleh seseorang dalam memenuhi nalurinya (gharizah) dan kebutuhan jasmaninya. Nafsiyah seseorang sangat tergantung dengan aqliyahnya.

     Seseorang yang berkepribadian (syakhshiyah) Islam, ia harus memilik sumber yang sama yakni Islam saja, yakni mempunyai aqliyah dan nafsiyah islamiyah. Ia belum bisa dikatakan berkepribadian Islam, jika aqliyahnya Islam tetapi nafsiyahnya sekuler. Seperti kiai atau cendekiawan muslim tadi, mungkin saja ia mempunyai aqliyah Islam tetapi ia menunjukkan nafsiyah sekuler, maka ia tidak memiliki kepribadian Islam.

     Lantas bagaimana agar seseorang mempunyai aqliyah dan nafsiyah islamiyah? Agar ia mempunyai aqliyah islamiyah, maka ia harus selalu meningkatkan tsaqafah islamiyah (pengetahuan Islam) melalui pengajian, diskusi, baca buku, dan lain-lain. Makin banyak pengetahuannya tentang Islam, maka makin mudah pula ia menetapkan hukum syara' terhadap suatu fakta yang ditemuinya (al-waqi').

     Setiap persoalan yang dihadapinya selalu mengacu kepada syari'at Islam. Contoh sederhana, pada saat terjadinya penggusuran rakyat miskin dibeberapa tempat tempo hari, maka ia akan berfikir bagaimana Islam mengatur masalah ini. Islam mewajibkan penguasa untuk mengurus rakyatnya agar tidak terlantar. Islam mengatur hukum pertanahan dimana tanah yang terlantar selama 3 tahun maka akan disita oleh negara dan dibagikan kepada rakyat yang tidak mempunyai tanah, karena konsep Islam adalah tanah produktif. Jika ada tanah yang tidak digarap maka berarti yang punya tanah tidak mampu menggarap tanahnya, sehingga diberikan kepada orang yang mampu menggarapnya.

     Agar ia mempunyai nafsiyah islamiyah, maka ia selalu menjalankan ibadah baik yang wajib maupun sunah dan melakukan taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah swt). Sehingga, ia merasa bahwa Allah swt yang menciptakan dirinya, maka hanya Allah swt yang berhak mengatur dirinya. Ia merasa Allah swt selalu mengawasi dirinya, sehingga ia tidak akan berbuat suatu perbuatan yang tidak diridhai Allah swt. Tolok ukurnya dalam berperilaku adalah syari'at Allah Yang Maha Sempurna, yakni Islam. Ia tidak akan berhukum selain hukum Allah swt, lebih baik ia berhenti sejenak sebelum berbuat dan memastikan hukumnya, daripada ia melakukan suatu perbuatan tetapi ternyata kemudian hari ia telah bermaksiat kepada Allah swt. Contoh lain, sebelum ia menikmati bunga deposito/tabungan di Bank, dia akan mencari tahu apakah bunga Bank riba atau bukan, meskipun belum ada fatwa ulama (jika memang ulama) tentang bunga Bank ini. Ia tidak akan akan mengambil riba satu rupiah-pun, karena riba haram dan akan ia pertanggung-jawabkan kepada Allah swt atas setiap rupiah yang dimakan oleh dirinya dan keluarganya.

     Sebagai umat Islam, untuk membentuk kepribadian tentu harus mengacu kepada Islam pula, yakni dengan aqliyah dan nafsiyah islamiyah. Bukan kembali kepada budaya leluhur, karena budaya leluhur ini ciptaan manusia yang nyata-nyata tidak sempurna dan parameternya bisa berbeda disetiap daerah. Budaya meletakkan satu kaki diatas kaki lain saat duduk dikursi, sangat tidak sopan bagi masyarakat Jawa tetapi hal yang wajar saja bagi masyarakat Melayu. Tetapi kalau parameternya Islam, maka pasti sempurna karena diciptakan oleh Sang Pencipta manusia sendiri, juga tidak berubah-ubah dan berlaku disetiap tempat dan zaman.

     Sehingga seseorang yang mempunyai kepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah), akan memancarkan suatu pribadi yang khas dalam dirinya, karena sistem Islam sendiri sangat khas dan sangat kontras dengan sistem kapitalis dan sosialis. Dengan kepribadian yang khas ini, sangat mudah membedakan seseorang Islam atau kafir, tidak seperti yang kita saksikan saat ini.

     Disamping itu, sebagai muslim/muslimah tentu kita menginginkan bahagia didunia dan selamat diakhirat kelak. Tidak ada cara lain agar tujuan itu tercapai, selain meningkatkan pengetahuan keislaman (tsaqafah islamiyah) dan menjalankannya secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari.



Wallahua'lam



Maraji':

Syakhshiyah Islam, Taqiyuddin An-Nabhani


HUKUM MEMILIH PEMIMPIN

HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...