18 Feb 2017
Momentum akbar bela Quran 212 (2
Desember 2016) yang lalu telah menampakkan betul mana umat Islam di Indonesia
yang tulus membela Quran dan mana kaum munafik. Karena al Quran adalah al
Furqon (pembeda), yang memisahkan antara yang haq dan bathil. Jauhnya agama
dari kehidupan, termasuk di sekolahan membuat umat Islam tidak sepenuhnya
mencintai dan mengenal al Quran. Keberadaan kaum munafik ini bahkan berasal
dari kalangan cendekia yang terpelajar, fenomena ini menggelitik dan
sesungguhnya adalah buah dari perjalanan panjang sekulerisasi pendidikan di
negeri ini. Tulisan ini mencoba mengupas hubungan antara keberadaan kaum
Munafik dan jauhnya agama dalam dunia pendidikan.
Sekulerisasi pendidikan di Indonesia
mungkin setua Republik ini berdiri. Sekulerisasi secara struktural berlangsung
secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini
memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua
kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan
pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk
semua jenjang dari dasar hingga tinggi.
Membaratkan Kiblat Pendidikan Islam
Sejak enam dekade terakhir trend
belajar Islam secara formal di Indonesia beralih kiblat dari negara-negara
Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Barat tidak hanya menghegemoni
penguasaan sains dan teknologi, tapi juga sudah merambah ke pada bidang keilmuan
dan pemikiran Islam. Peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit dan
semakin banyak terutama kalangan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang belajar di
perguruan tinggi Islam.
Yang terbaru bahkan Kementerian
Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerja sama di bidang pendidikan
tinggi Islam dengan pemerintah Kanada khususnya dalam proyek yang digagas
pemerintah Kanada sejak 2011 yakni Supporting Islamic Leadership in
Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD), telah berlangsung sejak
2011. Kerjasama Kementerian Agama dengan Pemerintah Kanada dalam bidang
pendidikan telah melewati sejarah panjang. Ratusan doktor dalam bidang
Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dihasilkan berkat
kerjasama yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Setiap periode tertentu,
Pemerintah Kanada dengan pemerintah Indonesia mempertahankan pola kemitraan
tersebut meski dengan nomenklatur dan fokus yang berbeda. (Kemenag.go.id,
January 2017)
Dari data Direktorat Perguruan
Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar
Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang
berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi.
Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS),
Kanada. Dan sekarang, perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat.
Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala
Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah
mengirim 82 orang dosen di PTAI ke luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28
wanita, namun lebih didominasi oleh perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan
tinggi Islam yang berada di Timur Tengah.
Derasnya pembaratan perguruan tinggi
Islam sebagai faktor eksternal, dilengkapi dengan kondisi internal umat yang
mengalami tren kemunduran akibat sudah kehilangan kekayaan pemikiran dan metode
berpikirnya yang khas. Hingga sampai level paling nadir, dimana untuk
belajar Islam pun kaum Muslim hari ini berkiblat ke Barat untuk merujuk metode
orientalis mempelajari Islam. Ironis.
Sebenarnya telah terjadi sebuah
proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi Islam. Dan itu
diakui sendiri oleh para pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam.
Simaklah sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian
International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah
perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis yang
berkiblat ke Barat.
Lutfie Assyaukanie dari aktivis
Islam Liberal (JIL) pernah berkata, “Asiknya belajar Islam di Barat.” Inilah yang
dikritik tajam oleh Dr. Syamsudin Arif yang menyatakan jika ingin mempelajari
seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi
ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas
di Barat bukanlah tempatnya. Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut
ahli hadits, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur
hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad,
Imam al-Ghazali?
Sekulerisasi Melalui Kurikulum Islam
Moderat
Infrastruktur pendidikan Islam di
Indonesia yang dibawahi Kemenag saja memiliki aset 76.000 madrasah dengan 9
juta murid, 30.000 pesantren, dan 700-an perguruan tinggi. Pendidikan Islam di
Indonesia mulai tahun 2016 menggunakan kurikulum pendidikan Islam yang baru,
yang diberi nama pendidikan Islam rahmatan lil`alamin karena menekankan pada
pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat. Menteri Agama RI menambahkan
bahwa kurikulum baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah
meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan dan radikal di lembaga akademis.
Di tahun yang sama tepatnya Desember
2016, Kementerian Agama Indonesia juga telah memfasilitasi forum sinergi Ulama
dan Pesantren Asia Tenggara yang diberi nama Halaqah Ulama ASEAN 2016 demi
mempromosikan Islam Moderat. Menteri Lukman melaporkan kegiatan halaqah
tersebut dilatarbelakangi tuntutan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) untuk
menyebarkan nilai moderatisme Islam yang dianut oleh masyarakat ASEAN.
Dengan kebijakan revisi kurikulum
pendidikan Islam ini dan juga konsolidasi pesantren untuk menyebarkan Islam
moderat dalam rangka meredam radikalisme agama, lengkaplah sudah sekulerisasi
pendidikan Islam di semua jenjang meski dijalankan secara lebih halus atas nama
Islam moderat. Setelah sebelumnya di jenjang pendidikan tinggi upaya lebih
ekstrim dan intensif melalui penetrasi ide Islam Liberal dilakukan sejak
beberapa dekade lalu di level perguruan tinggi Islam.
Mengadopsi Islam Moderat sebagai ruh
dalam kurikulum pendidikan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini bukan
hanya salah kaprah, tapi sudah berbahaya dan menyesatkan. Karena baik gagasan Islam moderat maupun Islam liberal
sesungguhnya merupakan konstruk ide sekuler yang memiliki definisi problematis
dan berbahaya karena tidak digali dari referensi sumber hukum Islam itu
sendiri, melainkan dari nilai-nilai Barat dengan metode orientalis. Ide Islam
Moderat sesungguhnya bukan pemahaman orisinil dari Islam dan tidak
memiliki historis keilmuan di kalangan fuqaha (ahli fikih). Bahkan Hizbut
Tahrir menggolongkan ide ini sebagai pemahaman berbahaya untuk memukul
Islam, dan menancapkan peradaban Barat.
Dalam konteks politik, gagasan Islam
moderat ini sesungguhnya adalah salah satu strategi penting untuk mengontrol
perubahan di dunia Islam agar jauh dari kebangkitan Islam. Seperti yang terbaca
jelas dari rekomendasi lama RAND Corporation tahun 2007 bahwa untuk mencegah
apa yang mereka sebut sebagai Islam radikal, perlu dibuat jejaring Islam
Moderat di dunia Muslim. Adalah laporan penelitian masyhur RAND berjudul “Building
Moslem Moderate Network” yang menghasilkan temuan penting bahwa “Amerika
Serikat perlu menyediakan dan memberikan dukungan bagi para aktivis Islam
moderat dengan membangun jaringan yang luas, serta memberikan dukungan materi
dan moral kepada mereka untuk membangun sebuah benteng guna melawan jaringan
fundamentalis.” Jelas ini adalah agenda AS untuk mempertahankan hegemoninya di
dunia Islam.
Melekatkan Ciri Kemunafikan
“Yang paling saya takutkan atas umat
ini adalah orang munafik yang berilmu”
(Umar bin Khattab)
Membiarkan sekulerisasi pendidikan
sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat
tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas akademik. Dimana pemikiran manusia yang
jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap (nafsiyah) dan
kepribadiannya secara keseluruhan.
Di sisi lain, sekulerisasi ilmu
pengetahuan juga memfasilitasi tsaqofah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler
liberal merasuki benak kaum terpelajar. Sehingga wajar hari ini kaum munafik di
tengah umat benar-benar nampak. Karena tsaqofah asing yang bertentangan
dengan Aqidah Islam adalah bahan bakar kemunafikan. Selain itu asas sekulerisme
juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin
menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistic, akibat pendidikan
dijadikan komoditas bisnis.
Persis seperti yang digambarkan oleh
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang terpisah
dari umat, perasaan mereka terpisah dari pemikiran dan akal rakyat mereka, dan
mereka -secara alami- menjadi orang-orang yang terpisah dari umat, serta
terpisah dari perasaan dan kecenderungan umat.
Inilah kenapa di kala mayoritas umat
membela Quran dan murka dengan penistanya, para cendekia ini justru membela
penista Quran atas nama pluralism dan toleransi. Melalui kasus Ahok dengan
pelecehan terhadap QS al-Maidah ayat 51-nya, Allah SWT benar-benar telah
menunjukkan kepada umat Islam jatidiri siapa Muslim sejati dan siapa yang
termasuk golongan munafik. Sehingga penampakan kaum munafik bisa dilihat oleh
khalayak kaum muslimin di berbagai tempat dan media. Allah SWT berfirman:
﴿ وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَا كَهُمْ
فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ﴾
“Kalau Kami menghendaki, niscaya
Kami menunjukkan mereka (kaum munafik) kepada kamu sehingga kamu benar-benar dapat
mengenal mereka dari tanda-tanda mereka dan kamu benar-benar akan mengenal
mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka” (QS Muhammad [47]: 30).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dalam bukunya, Islam and Secularism, merumuskan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata
al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman…
the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab.”. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu?
Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan
Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah
hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia
yang baik lainnya.
Di poin inilah kegagalan pendidikan
modern hari ini yang berasaskan sekulerisme. Karena gagal menghasilkan
manusia-manusia beradab, manusia baik yang berkepribadian Islam yang merupakan
insan kamil. Cacatnya bahkan sudah sejak asas.
Sesungguhnya pendidikan ala Barat
telah melekatkan ciri kemunafikan bahkan sejak karakter mendasarnya. Mari kita
melihat sedikit ilustrasi kontras yang membandingkan antara profil intelektual
bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting
pendidikan di Inggris. Oxbridge, begitu biasa disingkat– jadi pusat riset
ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak
peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat
bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan
yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi
karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman,
ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa
sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia
bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap
dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan
memisahkan “aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya
batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika
dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di
kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid.
Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan
contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang
memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik,
Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh
ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial
Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak
menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara
otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan
pemberitaannya diragukan.
Penutup
Demikianlah ilustrasi kontras di
atas menunjukkan pada kita ternyata erat sekali hubungan antara mengakarnya
sekulerisasi pendidikan di Indonesia dengan kemunculan kaum munafik. Hal ini
karena pendidikan sekuler ala Barat sungguh telah memusnahkan wahyu sebagai
ilmu tertinggi dan luhur yang harus dipahami setiap Muslim, sehingga merusak kepribadian
Islam para pembelajar. Sekulerisasi ilmu pengetahuan sudah menjelma menjadi
musuh dalam selimut umat Islam yang menggerogoti keimanan dan identitas umat,
sehingga suburlah kemunafikan di tengah kaum terpelajar dengan banyak
wajah dan kategori.