ULAMA DAN PENGUASA SERTA PENGARUHNYA DALAM POLITIK ISLAM
Umat Islam saat ini sedang mengalami suatu fase kemunduran yang sangat parah . kondisi ini merupakan maalapetaka yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya . Pemahaman umat secara berangsur-angsur tapi pasti sedang menuju titik terendah. Kenyataan ini menjadikan umat menyimpang dalam memahami hakikat islam sebagai ideologi atau mabda’. Tingkat ketakwaan umat dan para ulamanya menjadi lemah yang ditunjukkan dengan sikap mereka yang berdiam diri terhadap fenomena yang menyimpang dari Islam. sehingga menyebabkan umat tidak berani mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan problem-problem yang menimpa dirinya. Sikap inilah yang akan membawa kehancuran kehidupan kaum muslimin.Pada saat yang sama, secara intelektual umat islam mengalami peracunan dari barat ( tashmim al-gharbi wa ats-tsaqofi) dalam berbagi aspek kehidupan mereka. Dalam kurun waktu yang lama, umat Islam telah memisahkan diri dan sengaja dipisahkan dari ajaran islam yang diwujudkan dalam bentuk cara hidup sekuler (fashl ad-din ’anil hayah). Akibatnya umat islam mengalami keterasingan (aleanisasi) dari ajaran agamanya, dan proses peracunan pemikiran dan budaya Barat semakin gencar berlangsung melalui berbagai macam sarana media cetak dan laayar kaaca seiring dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan teknologi. kondisi ini semakin dipersulit dengan kemampuan para ulama Islam dan para cendekiawannya untuk melakukan counter dan dialog yang seimbang terhadap setiap pemikiran barat yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam seperti ide demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat (soverignity), HAM, pluralisme, civil socciety, nasionalisme, sosialisme dll. Lebih parah lagi, sebagian ulama yang menjadi panutan umat tergelincir dalam proses pembenaran terhadap berbagai konsepsi barat tersebut dan menganggapnya merupakan bagian dari Islam. Kemandulan intelektual ini sangat jelas merupakan akibat dari kemunduran pemikiran dan politik umat. Yang ujung-ujungnya akan berimbas pada tidak jelasnya sistem dan aturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan mereka. Dimana realitas semacam ini nampak pada sistem pemerintah di Dunia Islam yang ditegakkan di atas asas demokrasi dan sistem ekonomi yang kapitalistik yang sangat bergantung kepada “kemurahan” Barat kepada negeri-negeri kaum muslimin.
Siapakah Ulama ?Secara bahasa, ulama itu merupakan jamak
dari dari kata alim yang berati orang berilmu. Syekh Abdul Aziz Al-Badri menambahkan, para ulama adalah ni’mat
Allah untuk penghuni bumi, tanpa ulama manusia akan terjerumus dalam jurang
kebodohan. Mereka adalah hujjah Allah di
muka bumi ( Al-Islam bayna Al-Ulama’ wa Al-Hukam, hal 61-62).
Secara
syar’i, Allah SWT dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai sifat dari ulama diatas,
diantaranya adalah:Pertama,
Ulama adalah orang-orang yang merupakan
lambang iman dan harapan umat, serta memberikan petunjuk dengan hanya berpegang
pada Islam. Mereka mewarisi karakter Nabi dalam keterikatannya terhadap wahyu
Allah SWT. Rasullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya perumpamaan Ulama
dimuka bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang menerangi gelapnya
bumi dan laut. apabila padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR. Ahmad).
Dalam hadis yang lain Beliau SAW bersabda: “ Sesungguhnya kedudukan seorang
alim sama seperti kedudukan bulan diantara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama
itu adalah pewaris para nabi.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).Seorang
ulama rabbani tidak akan menyatakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
Misalkan, ia tidak akan menghalalkan darah sesama muslim hanya karena berbeda
pendapat atau menuduhnya dan memberikan gelar yang buruk hanya karena tidak
sesuai denga pendapat kelompoknya. Sebab, rasulullah SAW bersabda:“ Mencaci maki seorang muslim
adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah perbuatan kufur” (HR. Muslim).Begitu
pula seorang yang benar-benar ulama tidak akan menghalalkan sesuatu yang haram
dengan alasan kemaslahatan seperti supaya investor tidak lari ke luar negeri.
Dalam kaidah ushul yang digali dari berbagai nash disebutkan : “Dimana ada hukum
syara di situ ada kemaslahatan”, bukan sebaliknya ( M. Muhammad Ismail,
Al-Fikrul Al-Islam, hal. 24). Imam
Nawawi Al-Bantani menjelaskan kriteria Ulama. Menurut beliau ulama adalah
hamba Allah yang beriman, mengasai ilmu syariat secara mendalam, dan memiliki
peabdian yang tinggi semata-semata
karena mencari keridlaan Allah SWT, bukan keridlaan manusia. Dan
kemudian dengan ilmunya, mereka mengembangkan dan menyebarkan agama yang haq,
baik dalam masalah ibadat maupun muamalat. Beberapa ciri-ciri ulama menurutnya a.l:
(a) Memiliki
keimanan yang kokoh, ketaqwaan yang tinggi, berjiwa istiqomah dan konsisten
terhadap kebenaran
(b)
Memiliki
sifat-sifat kerasulan, yaitu jujur (shiddiq), amanat (amanah), cerdas
(fatanah), dan menyampaikan (tabligh)
(c)
Faqih
fi ad-Din sampai rasikhun fi al-Ilm’
(d) Mengenal
situasi dan kondisi masyarkat
(e)
Mengapdikan
seluruh hidupnya untuk memperjuangkan dan menegakkan ajaran Allah SWT.
Kedua,Ulama itu berjuang di jalan Allah SWT serta senatiasa
memberikan nasihat kepada para penguasa takkala mereka menyimpang dari Islam,
sebagaimana sabda nabi SAW : “ Tidak ada
ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiyat terhadap allah SWT”( HR. Muslim).
Mereka tabah dan sabar menghadapi segala macam tantangan dan halangan, demi
memperjuangkan Islam dan Umatnya. Bukan membela kepentingan pribadi, pimpinan,
atau kelompoknya. Mereka senantiasa ingat akan sabda Rasullah SAW: “Barangsiapa melihat penguasa yang yang
dzalim dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah SWT, melanggar
janjinya dengan Allah SWT dan menyalahi sunnah Rasul-Nya, berbuat kejam dan
aniaya terhadap hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang, dan orang itu tidak
mencegahnya baik dengan tangan ataupun lisan, maka patutlah bagi orang itu
menempati tempat yang telah disediakan oleh Allah SWT baginya.” (HR. Thabrani).
Ketiga, Ulama selalu menegakkan kewajiban dan mencegah kemungkaran.
mereka tidak menyembunyikan apalagi memutarbalikkan syariat Islam. Mereka
menyakini akan firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang yang
menyembunyikan apa yang telah datang dari kami berupa keterangan-keterangan
(yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan kepada manusia dalam
Al-Qur’an, mereka dilaknat pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat” (QS.
Al-Baqarah [2] : 159).Keempat,Ulama itu bener-benar takut kepada Allah SWT; dalam hati,
ucapan dan perbuatannya berpegang kepada aturan Allah SWT. Firman Allah SWT :
‘Sessungguhnya mereka
yang takut di kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah Ulama”. (QS.
Al-Fathir [35] :28)
Dengan demikian seseorang dikatakan ulama tidaklah dilihat
dari wajahnya, pakaiannya, gelarnya, julukannya, ataupun keturunannya,
melainkan dari ilmu dan karakter-karakter tadi. Boleh jadi seseorang disebut
ulama, tetapi, disisi Allah SWT bukanlah ulama.Kelima, Tidak
menjadikan perbedaan dalam masalah furu’ (cabang), sebagai sumber konflik.
Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurtubi ketika menjelaskan firman Allah SWT :
“ Dan ingatkan ketika Kami
memberikan kepada kalian ni’mat persaudaraan, dan melembutkan hati kalian” .
Beliau menyatakan bahwa ayat ini tidak menunjukkan keharaman untuk perbedaan
dalam masalah hukum-hukum cabang. Dengan cacatan
pendapat-pendapat tersebut memiliki landasan dari Al-qur’an dan hadis yang
shahih. Kita bisa melihat bagaimana perilaku para salafus shaleh dalam
menyikapi perbedaan yang terjadi diantara mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berikut : “ Kaum Muslimin sepakat mengenai kebolehan
sholat sebagian mereka dibelakang yang lainnya. Adalah para Shahabat dan
Tabi’in dan generasi sesudah mereka dari Imam yang empat , Sholat sebagian
dibelakang sebagian yang lainnya. Barang siapa mengingkari hal ini maka dia
adalah pelaku bid’ah yang sesat karena menyelisihi Al-Qur’an dan As-sunnah dan
Ijma’ kaum muslimim. Para Shahabat dan Tabi’in, sebagian diantara mereka
membaca bismillah dan sebagian yang lain tidak membacanya, walaupun demikiam
sebagian diantara mereka tetap sholat dibelakang yang lainnya. Misalnya Imam
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dan Imam Syafi’i dan selainnya sholat
dibelakang imam-imam di Madinah dari Ulama Malikiyah dan mereka tidak membaca
bismilah baik dipelankan (sirr) maupun dikeraskan (jahr). Abu
Yusuf sholat dibelakang Imam Al-Rasyid yang sedang berbekam. DAn Imam Ahmad
memandang keharusan orang yang berbekam untuk wudlu’, kemudian ada seseorang
yang bertanya kepadanya: Bagaimana dengan seorang imam sholat yang darinya
mengeluarkan darah (sedang berbekam) dan belum berwudlu’, Apakah kita boleh
sholat dibelakang mereka ? Imam ahmad menjawab:” Apa yang menghalangimu untuk
sholat dibelakang Sa’id Ibn Musayyab dan Imam Malik ?” (al-Manfur, Fawakihul
Adidah, juz 2 hal.171). Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa ikhtilaf
fiqhiyah harus disikapi dengan akhlakul karimah dan ilmu. Bukan dengan
kebencian dan permusuhan yang dilarang dalam Islam (Dr. Thoha Jabir
Al-Ulwani, Adab Al-Ikhtilaf).
Tidak
Berpihak Kepada KedzalimanSalah
satu Ulama hamba Allah SWT, terlebih-lebih ulama, adalah tidak mendiamkan,
tidak menyetujui dan tidak mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim.
Tegas sekali firman Allah SWt dalam ayat berikut:“Dan janganlah kalian cenderung
(la Tarkanuu) kepada orang-orang yang berbuat dzalim, yang menyebabkan kalian
disentuh api neraka...” (QS. Hud [11] : 113)Ibnu Juraij
menyatakan bahwa kata la tarkanu berarti
‘jangan cenderung kepadanya’; Qatadah menyebutkan, ‘jangan bermesraan dan jangan mentaatinya’;
sementara Abu Aliyah menerangkan
kata itu berarti ‘jangan meridlai
perbuatan-perbuatannya’.
Larangan cenderung tersebut ditujukan pada orang-orang mukmin agar
tidak berpihak kepada orang-orang yang melakukan tindak kedzaliman. Allah SWT
melarang cenderung kepada mereka karena dalam keberpihakan tersebutn terkandung
pengakuan terhadap kekufuran, kedzaliman, dan kekasikan mereka. Pengakuan ini
dipandang sebagai peran serta dalam dosa dan siksa.Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf Juz II/416 mengutip beberapa pendapat
berkaitan dengan hal ini. Dinyatakan bahwa Imam
Ats-Tsauri berkata : “Di nereaka jahanam nanti ada suatu lembah yang tidak
dihuni orang kecuali para pembaca al-Qur’an yang suka berkunjungkepada para
penguasa”.Senada dengan hal ini, Imam
Auza’i mengatakan, “Termasuk yang
dibenci oleh Allah adalah ulama yang suka berkunjung kepada para penguasa.”
Bahkan Imam Baihaqi meriwayatkan
bahwa Rasullullah SAW bersabda : “ Siapa
yang berdo’a untuk orang zhalim agar tetap berkuasa, maka dia telah menyukai
orang itu bermaksiat kepada Allah di bumi-Nya”.
Dalam tafsir yang sama, disebutkan bahwa Imam Zuhri bergaul dengan para penguasa yang terkenal tidak memenuhi
hak-hak masyarakat serta tidak meninggalkan kebatilan. Terdapat seseorang yang
mengiriminya suratnasihat agar menjauhi fitnah. Dalam surat itu antara lain dia
menyebut tindakan bergaul rapat dengan penguasa akan menimbulkan konsekuensi
berupa dijadikannya perkara tersebut sebagai legitimasi beredarnya kebatilan
yang mereka lakukan, pengakuan atas bencana yang mereka lakukan, dan pembenaran
atas penyimpangan mereka. Juga akan menimbulkan keraguan para ulama serta akan
diikuti masyarakat umum. Orang itu lantas menutup suratnya dengan kalimat “ Betapa banyak keuntungan yang mereka ambil
dari anda disamping kerusakan yang mereka timbulkan kepada anda”.Sementara itu, kedzaliman penguasa muslim itu ditunjukkan oleh
perbuatannya yang tidak menerapkan aturan Islam. Di dalam Al-Qur’an Allah SWT
mewahyukan :” Barangsiapa yang tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang dzalim (QS. Al-Maidah [5] : 45).
Ayat diatas ditujukan kepada manusia secara umum, termasuk juga
kepada umat Islam. Seorang penguasa Islam yang tidak memerintah dengan apa-apa
yang diturunkan allah SWT, yakni tidak menerapkan hukum-hukum Islam secara
menyeluruh atau menerapakn sebagian dan meninggalkan sebagian lain., disebut
oleh Allah SWT dalam ayat diatas sebagi orang yang berbuat kedzaliman apabila
masih menyakini kelayakan Islam untuk diterapkan (Taqiyyuddin An-Nabhani, Nizhamul Hukmi fil Islam, hal. 228).Berdasarkan hal ini, seorang mukmin –terlebih-lebih lagi
ulama- tidak akan mendukung kedzliman tersebut. Sebab, merka takut kepada Allah
SWT yang kan membakarkan api neraka pada orang yang berbuat demikian seperti
firmannya dalam surat Hud [11] ayat 113 tadi.Para Ulama Salafus Shaleh senantiasa berada digaris depan
menentang setiap kedzliman yang dilakukan para penguasanya. Tatkala Khalifah
Muawiyah memulai pidato pada suatu hari, Abu
Muslim Al-Khaulani berdiri dan mengatakan tidak mau mendengar dan mentaati
Khlifah. Ketika ditanya alasannya, beliau menjawab , “Karena engkau Khalifah
telah berani memutuskan bantuan kepada kaum muslimin. Padahal harta itu bukan
hasil keringatmu dan bukan harta ayah-ibumu.”. Mendengar itu Muawiyyah sangat
marah, lalu turun mimbar, pergi, dan sejenak kembali dengan wajah yang basah.
Ia membenarkan apa yang dikatakan Abu Muslim dan mempersilahkan siapa saja yang
merasa dirugikan boleh mengambil bantuan dari baitul mal (Al-Badri, Peran Ulama
dan Penguasa, hal. 101). Begitu pula kisah Abu
Hanifah yang menolak jabatan yang ditawarkan Abu Ja’far Al-Manshur dan
menolak uang 10.000 ribu dirham yang akan diberiakan kepadanya. Kemudian ia
ditanya oleh seseorang: “Apa yang anda berikan kepada keluarga anada, padahal
anda telah berkeluarga.” Beliau menjawab :”Keluargaku kuserahkan kepada Allah
dan sebulan aku hanya cukup hidup dengan 2 dirham saja” ( M. Isa Selamat, 1001
Duka, Himpunan Kisah yang Menyayat hati ; Adz-dzahabi Siyarul Alam Al-Nubala
juz 6). Ulama dan PolitikKuatnya proses depolitisasi dan deislamisasi yang terjadi
selama ini mengakibatkan kesenjangan antara para ulama dan aktivitas politik.
Tidak sedikit kaum muslimin yang beranggapan bahwa politik identik dengan kekuasaan sehingga
politik adalah sesuatu yang kotor dan najis yang harus ditinggalkan dan dijauhi
. Pandangan ini tentu tidak benar dan harus segera diluruskan. Bagi kaum muslimin termasuk diantaranya para
ulamanya terlibat dengan aktivitas politik adalah sesuatu yang wajar, bahkan
dapat menjadi sebuah keharusan. Alasannya, politil /siyasah dalam ajaran Islam
dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah strategis dalam kerangka untuk
memelihara urusan umat (ri’ayah syu’un
al-ummah). Pelaksana praktis aktivitas politik adalah daulah (negara), sedang
umat melakukan muhasabah (kritik, saran dan nasihat) kepada penguasa
(khalifah).Politik secara bahasa, berasal dari akar kata sasa-yasusu-siyasatan. Maknanya adalah
mengurus kepentingan seseorang. dalam kamus al-Muhith dinyatakan, “Sustu ar-ra’iyyata siyasatan (Saya memerintah rakyat dan
melarangnya).Definisi diatas diambil dari hadis-hadis Rasullah yang menunjukkan aktifitas penguasa,
kewajiban untuk melakukan koreksi (muhasabah), dan pentingnya mnengurus berbagi
kepentingan kaum muslimin. Rasul SAW sebagaimana dituturkan oleh Ma’qil ibn
Yasar, bersabda:“Seseorang yang ditetapkan allah (dalam kedudukan)
mengurus kepentingan umat, sementara dia tidak memberikan nasihat kepada mereka
(umat), maka dia tidak akan mencium bau surga. (HR. Bukhari).
Dalam hadis yang lain Rasul SAw bersabda : “Seseorang yang memimpin kaum muslimin dan
dia mati, sedangkan ia menipu umat, maka Allah SWT akan mengharamkan baginya
masuk kedalam surganya”(HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Ummu Salamah menyatakan bahwa rasul SAW juga pernah bersabda :
“Akan terdapat para penguasa, lalu kalian (ada yang)
mengakuinya dan (ada yang) mengingkarinya), siapa saja yang mengakui
perbuatannya (karena tidak bertentangan denga hukum syariat), maka dia tidak
akan dimintai tanggung jawabnya; siapa saja yang mengingkari perbuatannya maka
ia akan selamat. Akan tetapi, siapa saja yang ridla (dengan perbuatannya yang
bertentangan dengan hukum syariat) dan mengikutinya (maka dia berdosa). Para
sahabat bertanya, “Tidakkah kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, ‘Tidak,
selama mereka menegakkan sholat (hukum-hukum Islam) (HR. Muslim).
Khudzidfah r.a juga menuturkan bahwa Rasul SAW pernah bersabda:
“Siapa saja yang bangun pagi hari, sementara
perhatiannya tertuju kepada yang selain Allah. Siapa saja yng bangun pada pagi
hari dan tidak memperhatikan urursan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk
golongan mereka” (HR. Al-Hakim dan Khatib).
Hadis-hadis diatas berkenaan denga para penguasa dan
kedudukannya, pengoreksian umat terhadap para penguasanya, serta hubungan antar
kaum muslimim dalam mengurus urusan mereka dan untuk saling menasehati diantara
mereka. Semua itu menunjukkan makna politik yang sesungguhnya, yaitu mengurus
kepentingan umat. Definisi politik semacam ini merupakan definisi syar’i
(digali dari dalil-dalil syara’). Walhasil, politik (siyasah) dalam Islam
adalah bermakna mengatur berbagai urusan umat, baik di dalam negari maupun di
luar negeri (riayyah as-su’unil ummah dakhilan wa khrijiyan bi hukmi muayyanin)
( Abdul Qadim Zalum, At-Ta’rif ). ULAMA
MEMBANGUN KEKUATAN POLITIK UMATAktivitas politik disini tentu saja
dilaksanakan oleh negara. Negara adalah institusi yang melaksanakan aktifitas
politik secara praktis. Artinya, secara internal, negara dalam Islam (khilafah)
berfungsi untuk melaksanakan seluruh hukum-hukum Islam dalam seluruh wilayah
kekuasaannya. Negara menerapkan aturan yang mengatur interaksi antar individu
(muamalat), melaksanakan hukum pidana (hudud), memelihara akhlak dan etika,
menjamin pelaksanaan ibadat, dan mengatur berbagai urusan rakyat sesuai dengan
ketentuan syariat. Sementara secara eksternal, negara dalam Islam mengatur berbagai
urusan politik luar negeri, umat dan bangsa lain; sekaligus mendakwahkan Islam
keseluruh penjuru dunia.Pada sisi lain, aktifitas politik juga
dilakukan oleh umat dan dipimpin oleh para ulama. Dengan cara mengoreksi
(mengawasi) penguasa dan para aparatnya agar tidak menyimpang dalam pengurusan
kemaslahatan umat dan penerapan syariat Islam. Muhasabah umat kepada para
pengussanya adalah wajib dan mentaatinya selama tidak menyimpang dari Islam
juga wajib. Allah SWT memerintahakan dengan tegas untuk mengganti para penguasa
yang menyimpang dan merampas hak-hak rakyat, mengabaikan tugas-tugasnya,
melalaikan kepentingan umat, dan penguasa melanggar syariat Islam atau penguasa
memberlakukan hukum selain hukum Islam.Beberapa langkah strategis
yang harus dilakukan para ulama dalam rangka membangkitkan umat
diantaranya adalah :(1)
Membangun
kesadaran politik umat (wa’yu siyasi), yaitu kesadaran umat tentang bagaimana
mereka memelihara urusannya. Untuk itu para ulama harus mampu menyakinkan umat
bahwa solusi dari semua permasalahan mereka yang super kompleks adalah dengan
mengambil dan menerapkan ide/konsepsi yang bersumber dari aqidah yang mereka
yakini yaitu aqidah Islam.
(2)
Menggalakkan
kajian aqidah yang shahih dan kajian-kajian fikih yang lebih luas, yakni tidak
hanya terbatas pada kajian yang membahas masalah bersuci, sholat, zakat, puasa
dan haji semata, tetapi juga kajian-kajian fikih yang menjelaskan kenegaraan,
perundang-undangan, hukum-hukum pidana dan perdata, hubungan
internasional,politik, ekonomi, sosial, jihad, serta masalah pendidikan dengan
merujuk kepada kitab-kitab fikih mu’tabarah (valid). Sehingga semakin jelaslah
konsep kehidupan dibawah naungan daulah khilafah bagi umat dan mereka tidak
punya alasan lain kecuali memperjuangkannya dan berusaha merealisasikannya
(An-Nabhani, Asy-Syaksiyah Islamiyah, juz II/7).
(3)
Selain
mengkaji kitab-kitab fikih klasik, para ulama hendaknya selalu berusaha
mengkaitkan kajiannya dengan berbagai permasalahan aktual, dalam rangka
menjelaskan pandangan Islam terhadap berbagi persoalan yang sedang berkembang.
sehingga kaum muslimin tidak mudah terkecoh dengan ide dan pemikiran yang
menyimpang dari Barat seperti demokrasi, kebebasan, HAM dll.
Selanjutnya para Ulama menentukan target apa yang harus
dilakukan untuk memperbaiki masyarakat. Untuk itu, ada dua hal mendasar yang
harus dipahami:(a)
Persoalan
utama umat yang mengakibatkan krisis multidimensional adalah karena aturan
Islam tidak diterapkan secara menyeluruh untuk mengatur kehidupan masyarakat
(b)
Cara
pemecahan untuk persoalan ini adalah dengan melangsungkan kembali kehidupan
yang Islami (Istina’f al-hayah al-Islamiyah), dalam arti menerapakan seluruh
aturan dan hukum Islam yang terpancar dari aqidah yang diperoleh dari sebuah
proses berpikir yang shohih.
(c)
Tidak
terjebak dalam konflik yang hanya akan mengalihkan umat dari persoalan utama
mereka yaitu pelaksanaan hukum-hukum Allah dan memperkuat jalinan kasih sayang
diantara mereka dengan merajut tali akhuwah yang telah lama terkoyak dan
hialang dari diri umat.
Berikutnya harus melakukan perang pemikiran dengan semua
aqidah dan aturan yang bertentangan dengan Islam. Tujuannya adalah untuk
mengubah opini ditengah tengah umat dari yang tidak Islami menjadi Islami.
Masyarakat harus dididik tentang kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap Islam.
Masyarakat harus menerapkan Islam dalam kehidupannya sebagai konsekuensi logis
dari aqidahnya. Dorongan keimananlah yang pertamakali harus dibangkitkan dalam
diri umat samapai mereka sadar dan menuntut penerapan Islam dalam kehidupan
mereka. Disamping itu, ditengah-tengah umat harus dibentuk opini umum dan
kesadarn untuk menolak semua konsepsi dan pemikiran yang bertentangan dengan
Islam seperti ideologi kapitalsisme, sosialisme, komunisme, pluralisme, HAM
dll. Dan pada saat yang bersamaan menjelaskan solusi konkrit untuk menggantikan
semua konsep yang menyimpang itu. Dan perubahan pemikiran masyrakat dan
penolakan terhadap semua yang diluar Islam merupakan kunci utama penerimaan dan
sekaligus dukungan umat terhadap adpa yang dilakukan oleh para ulamanya.
Walhasil, proses penyadaran umat merupakan aspek penting dalam perjuangan para
ulama. KHATIMAHRasullah SAW bersabda :“Dua macam golongan manusia yang apabila
keduanya baik maka akan baiklah masyarakat. Tetapi, apabila keduanya rusak maka
akan rusaklah masyrakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan
penguasa” (HR. Abu Nu’im).Dalam hadis diatas Rasul SAW memberitahu kepada umatnya bahwa
penguasa itu ada yang baik dan ada yang buruk. Begitu pula ulama itu ada yang
baik dan ada pula yang buruk. Lebih tegas lagi Nabi SAW menyatakan dalam hadis
yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :“Akan datang penguasa-penguasa fasik dan
dzalim. Barang siapa percaya kepada kebohongannya dan membantu kedzlimannya,
maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya dan dia tidak
akan masuk surga”.Berkaitan dengan ini Imam
Ghozali (Ihya ‘Ulumuddin, juz 7, hal. 92) menyatakan :“ Dulu
tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah
SWT. Mereka
mengikhlaskan niat dan pernyataanya membekas dihati. Namun, sekarang terdapat penguasa yang dzalim namun para
ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan
perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasialan. Kerusakan masyrakat itu
akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama.
Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapapun yang
digenggam cinta dunia niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi
untuk mengingatkan para penguasa dan
para pembesar”.
Berdasarkan uraian diatas tidak ada jalan
lain bagi kaum muslimin untuk kembali kepada Islam dengan dipimpin oleh para
ulama rabbani. Kebenaran Islam darimanapun datangnya harus diterima dan
kebatilan yang dikukan oleh siapapun harus ditentang. Wallahu A’lam bi Showab.
Umat Islam saat ini sedang mengalami suatu fase kemunduran yang sangat parah . kondisi ini merupakan maalapetaka yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya . Pemahaman umat secara berangsur-angsur tapi pasti sedang menuju titik terendah. Kenyataan ini menjadikan umat menyimpang dalam memahami hakikat islam sebagai ideologi atau mabda’. Tingkat ketakwaan umat dan para ulamanya menjadi lemah yang ditunjukkan dengan sikap mereka yang berdiam diri terhadap fenomena yang menyimpang dari Islam. sehingga menyebabkan umat tidak berani mengambil langkah-langkah kongkrit untuk menyelesaikan problem-problem yang menimpa dirinya. Sikap inilah yang akan membawa kehancuran kehidupan kaum muslimin.Pada saat yang sama, secara intelektual umat islam mengalami peracunan dari barat ( tashmim al-gharbi wa ats-tsaqofi) dalam berbagi aspek kehidupan mereka. Dalam kurun waktu yang lama, umat Islam telah memisahkan diri dan sengaja dipisahkan dari ajaran islam yang diwujudkan dalam bentuk cara hidup sekuler (fashl ad-din ’anil hayah). Akibatnya umat islam mengalami keterasingan (aleanisasi) dari ajaran agamanya, dan proses peracunan pemikiran dan budaya Barat semakin gencar berlangsung melalui berbagai macam sarana media cetak dan laayar kaaca seiring dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dan teknologi. kondisi ini semakin dipersulit dengan kemampuan para ulama Islam dan para cendekiawannya untuk melakukan counter dan dialog yang seimbang terhadap setiap pemikiran barat yang bertentangan dengan akidah dan syariat Islam seperti ide demokrasi, kedaulatan ditangan rakyat (soverignity), HAM, pluralisme, civil socciety, nasionalisme, sosialisme dll. Lebih parah lagi, sebagian ulama yang menjadi panutan umat tergelincir dalam proses pembenaran terhadap berbagai konsepsi barat tersebut dan menganggapnya merupakan bagian dari Islam. Kemandulan intelektual ini sangat jelas merupakan akibat dari kemunduran pemikiran dan politik umat. Yang ujung-ujungnya akan berimbas pada tidak jelasnya sistem dan aturan yang digunakan untuk mengatur kehidupan mereka. Dimana realitas semacam ini nampak pada sistem pemerintah di Dunia Islam yang ditegakkan di atas asas demokrasi dan sistem ekonomi yang kapitalistik yang sangat bergantung kepada “kemurahan” Barat kepada negeri-negeri kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar