![]() |
Pembagian
Waris Menurut Islam
oleh Muhammad Ali
Ash-Shabuni
|
|||||||||||||||||||||||||||||||
PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN
MENGETAHUI pokok masalah merupakan
suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal ini agar kita dapat
mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya
benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing.
Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal
dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah.
Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka
pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena
itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas
dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan, penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah,
terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, kita
harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah,
atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah
dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada
semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala --jika
semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan
lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang
wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya
dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada
terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita
hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil
dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya
meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok
masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak
perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan
demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris
yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok
masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan
saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian
suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah
(1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama
--misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok
masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan
(1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang
ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari satu
jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita
harus mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara
angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling
berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini,
baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid.
Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok
masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai
bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah
tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3),
sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya
terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok
masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan,
ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka
pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan
ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4),
dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka
pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau
dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam
(6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini
hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan
ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan
1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain
untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di
bawah ini:
1.
Apabila dalam suatu
keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok
masalahnya dari enam (6).
2.
Apabila dalam suatu
keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua belas (12).
3.
Apabila dalam suatu
keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah
tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh. Misalnya, seseorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka
pembagiannya sebagai berikut: suami mendapat setengah (1/2), saudara
laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai
'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima
bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta
waris.
Dari contoh tersebut tampak ada
campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan
seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. erdasarkan kaidah yang ada,
pokok masalah pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram:
Pokok
masalah dari enam (6)
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran
antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok pertama-- dengan
seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok
masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian
antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua
saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Pokok
masalah dari dua belas (12)
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada
percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan
seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada,
pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini
tabelnya:
Pokok
masalah dari 24
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||
Pembagian Waris Menurut Islam
oleh Muhammad Ali ash-Shabuni penerjemah A.M.Basamalah Gema Insani Press, 1995 Jl. Kalibata Utara II No.84 Jakarta 12740 Tel.(021) 7984391-7984392-7988593 Fax.(021) 7984388 ISBN 979-561-321-9 |
Jumat, 27 November 2015
Senin, 09 Maret 2015
10 Macam Dosa Besar Menurut Al Quran
DOSA adalah
tindakan yang melanggar norma atau aturan yang telah ditetapkan Allah. Hanya
sekedar mengingatkan, bukan untuk menggurui. Apa sajakah yang termasuk 10 macam
dosa besar menurut Al Quran?
1. Syirik (Menyekutukan
Allah SWT).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya,” (An Nisaa: 48).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya,” (An Nisaa: 48).
Dan Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga,” (Al
Maidah: 72).
2. Berputus asa dari mendapatkan rahmat Allah SWT.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir,” (Yusuf: 87).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir,” (Yusuf: 87).
3. Merasa aman dari ancaman Allah SWT.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi,” (Al A’raaf: 99)
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi,” (Al A’raaf: 99)
4. Berbuat durhaka kepada kedua orang tua.
Karena Allah SWT mensifati orang yang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai orang yang jabbaar syaqiy ‘orang yang sombong lagi celaka’.
Karena Allah SWT mensifati orang yang berbuat durhaka kepada kedua orang tuanya sebagai orang yang jabbaar syaqiy ‘orang yang sombong lagi celaka’.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Dan berbakti kepada ibuku,
dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka,” (Maryam: 32).
5. Membunuh.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya,” (An Nisaa: 93).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya,” (An Nisaa: 93).
6. Menuduh wanita baik-baik berbuat zina.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,” (An Nuur: 23).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la’nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar,” (An Nuur: 23).
7. Memakan riba.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila,” (Al Baqarah: 275).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila,” (Al Baqarah: 275).
8.Lari dari medan pertempuran.
Maksudnya, saat kaum Muslimin diserang oleh musuh mereka, dan kaum Muslimin maju mempertahankan diri dari serangan musuh itu, kemudian ada seseorang individu Muslim yang melarikan diri dari pertempuran itu.
Maksudnya, saat kaum Muslimin diserang oleh musuh mereka, dan kaum Muslimin maju mempertahankan diri dari serangan musuh itu, kemudian ada seseorang individu Muslim yang melarikan diri dari pertempuran itu.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman : “Barangsiapa
yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat)
perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya,” (Al
Anfaal: 16).
9. Memakan harta anak yatim.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka),” (An Nisaa: 10)
Tentang hal ini Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka),” (An Nisaa: 10)
10. Berbuat zina.
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,” (Al Furqaan: 68-69).
Tentang hal ini Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,” (Al Furqaan: 68-69).
Wallohu a’lam
…
Senin, 02 Maret 2015
Do'a Do'a Tak Terjawab
Penyebab
Do'a Tak Terjawab
Do’a adalah
otaknya ibadah. Kegiatan berdo’a juga merupakan salah satu sarana bagi seorang
muslim mendekatkan diri kepada-Nya. Dan lebih dari itu, do’a adalah tambatan
segala pinta kepada Yang Esa.
Setiap hari,
bahkan setiap saat seorang muslim senantiasa melantunkan do’a, menyampaikan
segala permohonan dan harapan baik dikala lapang, terlebih dikala sempit. Dan
Allah pun berjanji akan mengabulkan permohonan seorang hamba yang memohon
pada-Nya: “Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasannya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a
kepada-Ku”, ……. (Q.S.Al Baqoroh : 186).
Namun
seringkali…..sekian banyak do’a telah dilantunkan, sekian banyak majlis dzikir
telah merebak bak jamur di musim hujan, istighosah kubropun entah berapa kali
dilaksanakan……kenyataanya, do’a tak kunjung mendapat jawaban. Persis seperti
kondisi di negri ini. Krisis ekonomi tak kunjung berakhir, bencana demi bencana
silih berganti menimpa. Berbagai upaya do’a telah dilakukan bersama, namun
Alloh belum jua memberikan asa yang kita pinta. Gerangan apakah penyebab
do’a-do’a kita belum terjawab?
Ada sebuah kisah
tentang masyarakat Basrah yang waktu itu sedang dilanda kemelut sosial.
Kebetulan mereka kedatangan ulama besar yang bernama Ibrahim bin Adham.
Masyarakat Basrah pun mengadukan nasibnya kepada Ibrahim bin Adham, "Wahai
Abu Ishak (panggilan Ibrahim bin Adham), Allah berfirman dalam Al-Quran agar
kami berdoa. Kami warga Basrah sudah bertahun-tahun berdoa, tetapi kenapa doa
kami tidak dikabulkan Alloh?
Ibrahim bin
Adham menjawab, "Wahai penduduk Basrah, karena hati kalian telah mati
dalam sepuluh perkara. Bagaimana mungkin doa kalian akan dikabulkan Allah!
Kalian mengakui kekuasaan Allah, tetapi kalian tidak memenuhi hak-hak-Nya.
Setiap hari kalian membaca Al-Quran, tetapi kalian tidak mengamalkan isinya.
Kalian selalu mengaku cinta kepada rasul, tetapi kalian meninggaklan pola
prilaku sunnah-sunnahnya. Setiap hari kalian membaca ta’awudz, berlindung
kepada Allah dari setan yang kalian sebut sebagai musuhmu, tetapi setiap hari
pula kalian memberi makan setan dan mengikuti langkahnya. Kalian selalu
mengatakan ingin masuk syurga, tetapi perbuatan kalian justru bertentangan
dengan keinginan itu. Katanya kalian takut masuk neraka, tetapi kalian justru
mencampakkan dirimu sendiri kedalamnya. Kalian mengakui bahwa maut adalah
keniscayaan, tetapi nyatanya kalian tidak mempersiapkan diri untuk
menghadapinya. Kalian sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, tetapi terhadap
kesalahan sendiri kalian tidak mampu melihatnya. Setiap saat kalian menikmati
karunia Allah, tetapi kalian lupa mensyukurinya. Kalian sering menguburkan
jenazah saudaramu, tetapi kalian tidak bisa mengambil pelajaran dari peristiwa
itu."
Terakhir ia
mengatakan, "Wahai penduduk Basrah, ingatlah sabda nabi, "Berdoalah
kepada Allah, tetapi kalian harus yakin akan dikabulkan. Hanya saja kalian
harus tahu bahwa Allah tidak berkenan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan
main-main."
Kisah lain terjadi
ketika di Basrah Irak, dilanda kekeringan, kesulitan air dan hujan tak jua
turun. Maka penduduk Basrah sepakat untuk mengadakan sholat istisqo’ untuk
meminta hujan. Para ulama dan tokoh masyarakat hadir untuk melakukan sholat dan
berdo’a meminta keridhoan Alloh menurunkan hujan. Namun hingga beberapa kali
sholat istisqo’ dilaksanakan, hujanpun tak jua turun.
Hingga suatu
malam di masjid, usai sholat istisqo’ siang harinya, Malik bin Dinar dan Tsabit
Al Bunani melihat seorang berkulit gelap, berwajah sederhana, dengan betis
tersingkap yang terlihat kecil, dan perut buncit datang di malam buta, ketika
masjid telah sepi. Yang belakangan diketahui Malik bin Dinar, ia adalah budak
seorang yang sangat kaya raya di Basrah, yang malamnya habis untuk menangis
karena bermunajat kepada Alloh dan siangnya habis untuk sholat dan puasa.
Budak tersebut
di masjid melakukan sholat dua rakaat dengan bacaan surat yang tidak terlalu
panjang. Ruku’ dan sujudnya juga sama pendeknya dengan lama berdirinya. Usai
sholat dia menengadahkan tangan ke langit sambil berdo’a yang di dengar oleh
Malik bin Dinar:” Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali
datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi kekuasaan-Mu.
Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis? Ataukah perbendaharaan
kekuasaan-Mu telah hilang? Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan
kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya”.
Setelah
mendengar itu Malik bin Dinar berkata, “ Belum lagi dia menyelesaikan
perkataannya, angin dingin tebal menggelayut di langit. Kemudian tidak lama,
hujan turun dengan begitu derasnya. Subhaanalloh, do’a seorang budak yang serta
merta dikabulkan-Nya.
Kini.....marilah
kita berkaca diri. Ketika do’a-do’a kita tak di dengar, ketika do’a-do’a kita
tak terjawab, barangkali ada diantara sepuluh hal yang dikemukakan oleh Ibrahim
bin Adham di atas terjadi pada diri kita. Bila memang ada, sudah selayaknyalah
kita berbenah diri. Beristighfar sebanyak-banyaknya, demi memperoleh ampunannya.
Melakukan taubat, taubatan nashuha, sambil terus berusaha melakukan berbagai
upaya yang mendukung terhadap hal-hal yang kita pinta. Dan jangan pernah
berhenti berdo’a, karena Alloh akan menganggap kita sebagai orang yang sombong
bila kita tidak memohon pada-Nya. “Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kamu
kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang
menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan
hina dina” ( Q.S.Al Mu’min:60).
Robb......bimbinglah
kami, agar kami menjadi orang-orang yang senatiasa menggantungkan diri hanya
kepada-Mu, dan senantiasa mengharap rahmat-Mu. Aamiin.
Wallohu a’lam
Rabu, 25 Februari 2015
MEA, Masyarakat Ekonomi Ambruk
Bahaya
Globalisasi dan Pasar Bebas
Hendaklah
disadari bahwa Pasar Bebas ASEAN (MEA) dan semisalnya tidak akan pernah
mengentaskan kemiskinan negeri-negeri muslim seperti Indonesia. Sebaliknya justru akan memperluas pintu penjajahan ekonomi dan
politik negara-negara Barat kapitalis. Di dalam kitab Al-Hamlah Al-Amirikiyah li Al-Qadha` ‘Ala
Al-Islam (Serangan Amerika untuk Menghancurkan ISLAM ) Hizbut Tahrir menjelaskan bahwa Pasar Bebas adalah satu
dari empat konsep yang dijajakan Amerika untuk menyerang Islam, selain
demokrasi, pluralisme dan HAM. Sedangkan dalam kitab Mafahim Khathirah li Dharb Al-Islam wa Tarkiz
Al-Hadharah Al-Gharbiyah (Persepsi-Persepsi Berbahaya Untuk Menghantam Islam dan
Mengokohkan Peradaban Barat), globalisasi dengan pasar bebas sebagai alatnya
disebut sebagai konsep berbahaya yang digunakan Barat untuk menyerang Islam dan
umat Islam.
Sesungguhnya Pasar Bebas adalah
penjajahan MODEL baru yang
diharamkan dalam Islam, karena Allah SWT tidak membenarkan adanya kondisi
dominasi kaum kafir atas kaum muslimin, sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan Allah sekali-kali
tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang
yang beriman.” (QS An-Nisaa` [4] : 141).
Melalui Liqa’ Muharam Mubalighah 1436
H, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyeru mubalighah agar membimbing umat untuk menyadari:
1. Pasar Bebas ASEAN (MEA) hanyalah menghasilkan kerugian
bagi bangsa ini. Indonesia akan menjadi negara besar yang kehilangan pasar,
karena dimanfaatkan negara-negara lain. Ingatlah sudah ratusan ribu keluarga
Indonesia merasakan dampak buruk perdagangan bebas setelah ribuan INDUSTRI dalam negeri gulung tikar dan mem-PHK-kan para pekerjanya.
Kondisi ini semestinya menjadi penegas bahwa pasar bebas tidak akan mengatasi
kemiskinan tapi malah menghancurkan ekonomi keluarga dan bangsa.
2. Pasar Bebas ASEAN (MEA) akan meningkatkan kesengsaraan
bagi jutaan perempuan Indonesia. Selama ini mereka telah terjun ke dunia
kerja dalam kondisi rawan eksploitasi dan pelecehan akibat kemiskinan yang
mendera. MEA memaksa kaum perempuan semakin banyak terlibat di dunia
kerja untuk membantu ekonomi keluarganya. Hal ini akan memperbesar
jumlah perempuan yang dieksploitasi dan kesulitan melaksanakan fungsi utamanya
sebagai pendidik generasi. Akibatnya akan semakin banyak muncul persoalan
kehancuran keluarga dan berujung pada kehancuran masa depan generasi.
3. Sebagai bagian dari PROGRAM globalisasi, MEA
juga akan memuluskan penjajahan budaya Barat dan melunturkan nilai-nilai agama.
Perilaku yang dilarang agama seperti seks bebas, legalisasi aborsi, homoseksual
dan lesbianisme akan menjadi budaya yang diterima di tengah masyarakat. Na’udzu
billahi
Hendaknya semua komponen umat
menyadari dan bersungguh-sungguh berjuang untuk menuntaskan problem kemiskinan
dengan menghapus sistem kapitalisme yang menjadi sumber masalah dan
menggantinya dengan sistem ISLAM dan Khilafah
Islamiyah yang mampu mewujudkan kesejahteraan, kemajuan dan pemberdayaan yang
hakiki.
Wallohu a’lam
HUKUM ISBAL
Hukum Isbal
Dari Ibnu ‘Umar diriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
“Barangsiapa memanjangkan pakaiannya
karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.”
Kemudian Abu Bakar bertanya, “Sesungguhnya
sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya.”
Rasulullah Saw menjawab, “Kamu
bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.” [HR. Jama’ah, kecuali
Imam Muslim dan Ibnu Majah dan Tirmidizi tidak menyebutkan penuturan dari Abu
Bakar.]
Dari Ibnu
‘Umar dituturkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda:
“Isbal itu bisa terjadi pada sarung,
sarung dan jubah. Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka
Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa`i,
dan Ibnu Majah]
Kata khuyalaa’ berasal dari wazan fu’alaa’. Kata al-khuyalaa’, al-bathara, al-kibru,
al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni sombong dan takabur.
Mengomentari
hadits ini, Ibnu Ruslan
dari Syarah al-Sunan
menyatakan, “Dengan adanya taqyiid “khuyalaa’”
(karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya
melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh
dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh).”
Imam Nawawi berkata, “Hukum
isbal adalah makruh. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Syafi’iy.”
Imam al-Buwaithiy dari al-Syafi’iy dalam Mukhtasharnya berkata, “Isbal dalam sholat maupun di luar sholat
karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan
pada perkataan Rasulullah Saw kepada Abu Bakar ra.”
Namun
demikian sebagian ‘ulama menyatakan bahwa khuyala’
dalam hadits di atas bukanlah taqyiid.
Atas dasar itu, dalam kondisi apapun isbal terlarang dan harus dijauhi. Dalam
mengomentari hadits di atas, Ibnu
al-‘Arabiy berkata, “Tidak
diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan
berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah
terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz
boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz
tersebut; sebab, ‘illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini
adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, isbal itu sendiri telah menunjukkan
kesombongan dirinya. Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki,
dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang
melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong.”
Mereka
juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang isbal tanpa ada taqyiid. Riwayat-riwayat itu
diantaranya adalah sebagai berikut:
“Angkatlah sarungmu sampai setengah
betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu.
Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk
kesombongan. Sedangkan Allah SWT tidak menyukai kesombongan.” [HR. Abu Dawud, an-Nasa’i,
dan at-Tirmidzi
dari haditsnya Jabir bin Salim].
“Tatkala
kami bersama Rasulullah Saw, datanglah ‘Amru bin Zurarah al-Anshoriy dimana
kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya,
Rasulullah Saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan
merendahkan diri karena Allah SWT. Kemudian beliau Saw bersabda, “Budakmu, anak budakmu dan budak
perempuanmu”, hingga ‘Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru
Zurarah berkata, “Ya
Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki.”
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai
‘Amru, sesungguhnya Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya. Wahai ‘Amru sesungguhnya Allah SWT tidak menyukai orang yang
melabuhkan kainnya melebihi mata kaki.” [HR. ath-Thabarni dari
haditsnya Abu Umamah] Hadits ini rijalnya tsiqah.
Dzahir hadits ini
menunjukkan bahwa ‘Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan
kainnya melebihi mata kaki.
Riwayat-riwayat
ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau
tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan
hadits-hadits seperti ini. Kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini
dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyiid (pembatas) “khuyalaa’”. Kompromi (jam’u) ini harus dilakukan
untuk menghindari penelantaran terhadap hadits Rasulullah Saw. Sebab,
menelantarkan salah satu hadits Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda
Rasulullah Saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram.
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, yakni perkataan Rasulullah Saw kepada
Abu Bakar ra (“Kamu bukan
termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong.”),
menunjukkan bahwa manath
(obyek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang
dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong. Hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbal yang
dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram.
Atas dasar
itu, isbal yang diharamkan adalah isbal yang dilakukan dengan kesombongan.
Sedangkan isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata,
“Oleh karena itu, sabda Rasulullah Saw, ‘Perhatikanlah,
sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan.’
[HR. Abu Dawud, an-Nasa’i,
dan at-Tirmidzi
dari haditsnya Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku
bagi orang yang melakukan isbal karena sombong. Hadits yang menyatakan bahwa
isbal adalah kesombongan itu sendiri —yakni riwayat Jabir bin Salim—harus
ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada
sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan
karena sombong. Selain itu, pengertian hadits ini (riwayat Jabir bin Salim)
harus ditaqyiid dengan riwayat dari Ibnu ‘Umar yang terdapat dalam
shahihain….Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan
bahwa Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk
muthlaq, sedangkan hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu ‘Umar datang dalam
bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib….”
Dari
penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan
adalah taqyiid
atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadits-hadits yang memuthlaqkan keharaman isbal
harus ditaqyiid
dengan hadits-hadits yang mengandung redaksi khuyalaa’.
Walhasil, isbal yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan
yang haram.
Tidak
boleh dinyatakan di sini bahwa hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar tidak
bisa mentaqyiid kemuthlakan hadits-hadits lain
yang datang dalam bentuk muthlaq
dengan alasan, sebab dan
hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab,
hadits-hadits tersebut, sebab
dan hukumnya adalah sama. Topik yang dibicarakan dalam hadits
tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara
berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyiid dan muqayyad bisa diberlakukan dalam
konteks hadits-hadits di atas.
Wallohu a’alam
Langganan:
Postingan (Atom)
HUKUM MEMILIH PEMIMPIN
HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...
-
APAKAH HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA? Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kai...
-
HUKUM MENYANYI DAN MUSIK DALAM FIQIH ISLAM Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi 1. Pendahuluan Keprihatinan yang dalam akan kita ra...
-
BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SELAIN MAHRAM Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali ...