Jumat, 01 Desember 2017
Kamis, 23 November 2017
Sabtu, 18 November 2017
Jumat, 10 November 2017
Rabu, 08 November 2017
Selasa, 24 Oktober 2017
Senin, 11 September 2017
Kamis, 10 Agustus 2017
Rabu, 09 Agustus 2017
Senin, 07 Agustus 2017
Selasa, 01 Agustus 2017
Minggu, 30 Juli 2017
Sabtu, 29 Juli 2017
Jumat, 28 Juli 2017
AKSI 287
Presidium Alumni 212 Bacakan 5 Resolusi Aksi 287
Cici Marlina Rahayu - detikNews

FOKUS BERITA:
Aksi 287
Jakarta - Wakil Ketua Presidium Alumni 212 Hasri Harahap
membacakan 5 resolusi Aksi Bela Islam 287. Mereka menilai pemerintah
tidak simpatik pada umat Islam.Resolusi itu dibacakan Hasri saat berorasi di atas mobil komando di depan Patung Kuda, Silang Monas Barat Daya, Jakarta Pusat, Jumat (28/7/2017). Eks Ketua Presidium Alumni 212 Ustaz Sambo juga ada di atas mobil komando.
Sebelum membacakan 5 resolusi, Hasri awalnya menyampaikan pandangannya tentang pemerintah Jokowi. Dia menilai Jokowi tidak simpatik pada sebagian umat Islam yang mengkritisi pemerintahannya.
Selain itu, kritik soal pembubaran ormas juga disampaikannya dalam orasi itu.
"Pembubaran ormas itu tidak lewat pengadilan bila hal ini dibiarkan, bila perlu ini disetujui dan dibenarkan oleh MK, pilar demokrasi hak asasi manusia yang dijamin di UUD 1945 langsung runtuh," ujarnya.
Karena itu, pihaknya mengeluarkan 5 resolusi Aksi Bela Islam 287. Berikut bunyinya:
1. Kepada seluruh umat Islam Indonesia, terlepas dari mazhab maupun partai yang diyakininya hakikatnya kita satu tubuh, Baginda Rasulullah bersabda, perumpamaan mukmin satu tubuh,
HTI adalah bagian integral dari umat Islam, HTI jadi korban pertama, dan kemungkinan besar akan ada korban lainnya. Mereka tidak sadar, mereka tidak sadar, karena mereka pada akhirnya akan menjadi target selanjutnya.
2. DPR RI berpikir lah ke depan jangan sampai kepentingan jangka pendek mempengaruhi jangka panjang. Jadilah lembaga yang sesungguhnya, jangan jadi tugas stempel dengan imbalan imbalan keduniaan.
3. Kepada MK, pertimbangkan lah dengan benar benar usaha judicial review dengan Perppu yang kontroversi itu. MK adalah benteng terakhir, apalagi keputusan MK bersifat final, mohon pertimbangkan, dan tidak langsung munculnya Perppu nomor 2/2017.
4. MUI diharapkan memberikan pendapat yang murni dari sisi agama, sehingga pendapat MUI menjadi berbobot, jangan membuka pintu masyarakat jadi rezim,
5. Kepada bapak presiden kami ingatkan bahwa kekuasaan politik di 2014 hanyalah titipan dari Allah, Allah berkenan atau memperpanjang, di dunia ini, tetapi juga berkenan kami harapkan dari presidium 212, khusus yang kami hormati, bapak presiden berkenan mencabutnya, berkenan mencabutnya, sesuai dengan kehendak Allah, tunaikan amanat kekuasaan rakyat secara hati-hati.
(idh/fdn)
Selasa, 25 Juli 2017
APA ITU BUGHOT ?
Apa itu Bughat???
Salah satu istilah dalam siyasah
syar’iyah yang penting untuk dipahami adalah istilah bughat. Istilah ini perlu
dipahami kembali oleh kaum Muslim. Hal itu penting agar kaum Muslim tidak
terjebak dalam upaya memanipulasi istilah bughat ini untuk mendukung rezim yang
tidak Islami bahkan rezim yang tidak menerapkan hukum-hukum syariah dan sama
sekali tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah Islam. Hal itu seperti yang
terjadi di sebagian negeri Islam.
Makna Bahasa Bughat
Bughât adalah bentuk jamak al-bâghi,
berasal dari kata baghâ, yabghî, baghyan-bughyatan-bughâ`an. Kata baghâ
maknanya antara lain thalaba (mencari, menuntut), zhalama (berbuat zalim),
i’tadâ/tajâwaza al-had (melampaui batas), dan kadzaba (berbohong) (Ibrahim
Anis, Mu’jam al-Wasith, 1972:64-65; Munawwir, Kamus al-Munawwir, 1984:65,106;
Ali, 1998:341). Jadi, secara bahasa, al-bâghi (dengan bentuk
jamaknya al-bughât), artinya azh-zhâlim (orang yang berbuat zalim), al-mu’tadî
(orang yang melampaui batas), atau azh-zhâlim al-musta’lî (orang yang berbuat
zalim dan menyombongkan diri) (Attabik Ali, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
1998:295, Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasith, 1972: 65).
Makna Syar’i Bughat
Para ulama beragam dalam
mendefinisikan bughât, kadang mendefinisikan bughat secara langsung, kadang
mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] /pemberontakan (Abdul Qadir
Audah, 1996 at-Tasyrî’ al-Jinâ`i al-Islami :673-674; Syekh Ali Belhaj, 1984,
Fashl al-Kalâm fî Muwâjahah Zhulm al-Hukkâm :242-243).
Menurut ulama Hanafiyah al-Baghy[u]
adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa
[alasan] haq. Dan al-bâghi adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam
yang haq dengan tanpa haq (Ibn ‘Abidin, Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Muhammad
bin Abdul Wahid as-Siyuwasi, Syarhu Fathul Qadir, IV/48).
Ulama Malikiyah menjelaskan
al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk menaati imam (khalifah) yang sah dalam
perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) sekalipun
karena alasan ta`wil (penafsiran agama). Dan bughat adalah kelompok (firqah)
dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk
mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menurunkannya
(A-Zarqani, Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
Ulama Syafi’iyah mengartikan bughât
adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya,
tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang wajib mereka tunaikan (kepada
imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin
yang ditaati (muthâ’) dalam kelompok tersebut (Nihayatul Muhtaj, VIII/382;
asy-Syayrazi, Al-Muhadzdzab, II/217; Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
II/197-198; Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, II/153).
Bughat juga diartikan sebagai
orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang
tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah),
karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada
pemimpin yang ditaati (Asna al-Mathalib, IV/111).
Jadi menurut ulama Syafi’iyah,
bughât adalah pemberontakan sekelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan
(syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthâ’), dengan ta`wil yang fasid (Abdul
Qadir Audah, at-Tasyri’ al-Jina’iy, II/674).
Menurut ulama Hanabilah Bughat
adalah orang-orang yang memberontak kepada imam –walaupun ia bukan imam yang
adil– dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai
kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara
mereka (Syarah al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
Ibn Hazm mendefinisikan Bughât
adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka
mengambil harta zakat dan menjalankan hudud (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).
Al-Baghyu adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang
salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia (Ibnu Hazm, Al-Muhalla,
XI/97-98).
Sedangkan menurut ulama Syiah
Zaidiyah, Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah
kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam
tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta
melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam (ar-Rawdh an-Nadhir, IV/331).
Definisi Yang Rajih
Perbedaan definisi yang ada
disebabkan perbedaan syarat yang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat
disebut bughat (‘Audah, ibid, 1996:674). Sedangkan syarat merupakan hukum
syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i,
sehingga syarat yang sah adalah syarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat
menurut akal) atau syarat ‘âdiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi,
al-Muwafaqat, I/186). Oleh karenanya tentang syarat bughât kita harus merujuk
kepada dalil-dalil syar’i. Dalil tentang bughât adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Abdurrahman
Al-Maliki, 1990:79), hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam
(khalifah). (Ash-Shan’ani, Subulus Salam III bab Qitâl Ahl Al-Baghî hal.
257-261; Abdul Qadir Audah, 1992, at-Tasyri’ al-Jina’iy, hal 671-672) dan ijma’
shahabat, mengenai wajibnya memerangi bughat (Zakariya Al-Anshari, Fathul
Wahhab, t.t. :153; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, t.t.:197).
Dengan mengkaji nash-nash syara’
tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan
pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu (Abdurrahman Al-Maliki,
Nizhâm al-‘Uqubat, 1990:79; Muhammad Khayr Haikal, al-Jihad wal Qital fi
as-Siyasah asy-Syar’iyyah, 1996: 63):
1)
Pemberontakan kepada khalifah/imam
(al-khuruj ‘ala al-khalifah);
2)
Adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan untuk mendominasi (saytharah);
dan
3)
Mengggunakan senjata untuk
mewujudkan tujuan-tujuan politisnya.
Syarat pertama, adanya pemberontakan
kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Misalnya dengan ketidaktaatan
mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan
kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara
sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :
“Dan jika dua golongan dari
orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu
dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah.” (TQS
Al-Hujurat [49]:9)
Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari
(w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak
disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut
telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut
menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas
golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut
lagi.”
Syarat ini ditunjukkan secara jelas
oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam
(al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :
مَنْ
خَرَجَ عَن الطَّاعَةِ وَ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَ مَاتَ فَمَيْتَتُهُ مِيْتَةً
جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang keluar dari
ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah dan mati, maka
matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah, Subulus Salam
III/258).
Mengenai yang dimaksud dengan imam,
Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi
(kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang
yang mewakilinya…” (Abdul Qadir Awdah, at-Tasyri’ al-Jina’iy, II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari
kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah
yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini
turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem
yang lain.
Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah
bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan
kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat ash-Shan’ani, Subulus Salam,
III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin
Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah
yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh
al-Qadir, II/336).
Dengan demikian, pemberontakan
kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem
republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian
syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan
yang memungkinkan kelompok bughat untuk mendominasi. Kekuatan ini haruslah
sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati
khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya
mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang
(Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering
diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna
asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Ibrahim
Anis, Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatakan bahwa
asy-syaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak
(al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang
ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara
lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9) pada lafazh “wa
in thâ`ifatâni” (jika dua golongan…). Sebab kata “thâ`ifah” artinya adalah
al-jama’ah (kelompok) dan al-firqah (golongan) (Ibrahim Anis, Al-Mu’jamul
Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang
bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Taqiyuddin Al-Husaini
mengatakan,”…jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afrâdan),
serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.”
(Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar II/198). Jadi jika satu atau
beberapa individu yang tidak mempunyai kekuatan, memberontak kepada khalifah,
maka tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata
untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Dalilnya QS Al Hujurat : 9, yaitu lafazh
“iqtatalû” (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya
sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silâh). Selain itu Nabi
SAW bersabda :
مَنْ
حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang membawa senjata
untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Muttafaqun ‘alayhi.
Subulus Salam, III/257. Kitab Qitâl Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syairazi,
Al-Muhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok
yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan
senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak
dapat disebut bughat.
Oleh karenanya, Syaikh Abdurrahman
Al-Maliki mendefinisikan bughât sebagai orang-orang yang memberontak kepada
Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata
(man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak menaati negara,
mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap
negara (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât fî al-Islâm, 1990, hal
79).
Menangani Bughât
Ayat diatas telah menyatakan bahwa
hukuman terhadap pelaku bughat adalah diperangi sampai mereka kembali kepada
perintah Allah, yaitu kembali taat kepada khalifah atau negara dan menghentikan
pembangkangan mereka. Namun sebelum sampai kepada perang tersebut, imam
atau khalifah harus mengontak mereka dan menanyakan apa yang mereka tuntut dari
negara. Jika mereka menyebutkan kezaliman maka kezaliman itu harus
dihilangkan.
Jika mereka mengklaim suatu syubhat
maka syubhat tersebut harus dibongkar dan dijelaskan. Jika mereka menilai
apa yang dilakukan oleh khalifah (negara) menyalahi kebenaran atau syara’,
padahal tidak demikian halnya, maka harus dijelaskan kesesuaian tindakan dan
kebijakan khalifah atau negara dengan syariah dan nas-nasnya serta harus
ditampakkan kebenarannya. Semua itu harus dilakukan sampai taraf dianggap
cukup. Jika mereka yang melakukan bughât itu tetap dalam pembangkangan,
maka mereka diperangi agar kembali taat.
Namun harus diingat, perang terhadap
mereka adalah perang dalam rangka memberi pelajaran (qitâl at-ta`dîb) bukan
perang untuk memusnahkan. Perang terhadap mereka bukan merupakan
jihad. Jadi harta mereka bukan fa’i dan tidak boleh dirampas dan
dibagi-bagi. Mereka yang tertawan tidak diperlakukan sebagai tawanan,
melainkan diperlakukan sebagai pelaku kriminal. Wanita dan anak-anak
mereka yang dibawa serta di medan perang tidak boleh dijadikan sabi. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman ]
Selasa, 18 Juli 2017
Kurikulum Pendidikan Sekuler Melahirkan Kaum Munafik di Tengah Umat (Studi Kasus: Indonesia)
18 Feb 2017
Momentum akbar bela Quran 212 (2
Desember 2016) yang lalu telah menampakkan betul mana umat Islam di Indonesia
yang tulus membela Quran dan mana kaum munafik. Karena al Quran adalah al
Furqon (pembeda), yang memisahkan antara yang haq dan bathil. Jauhnya agama
dari kehidupan, termasuk di sekolahan membuat umat Islam tidak sepenuhnya
mencintai dan mengenal al Quran. Keberadaan kaum munafik ini bahkan berasal
dari kalangan cendekia yang terpelajar, fenomena ini menggelitik dan
sesungguhnya adalah buah dari perjalanan panjang sekulerisasi pendidikan di
negeri ini. Tulisan ini mencoba mengupas hubungan antara keberadaan kaum
Munafik dan jauhnya agama dalam dunia pendidikan.
Sekulerisasi pendidikan di Indonesia
mungkin setua Republik ini berdiri. Sekulerisasi secara struktural berlangsung
secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini
memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua
kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan
pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk
semua jenjang dari dasar hingga tinggi.
Membaratkan Kiblat Pendidikan Islam
Sejak enam dekade terakhir trend
belajar Islam secara formal di Indonesia beralih kiblat dari negara-negara
Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Barat tidak hanya menghegemoni
penguasaan sains dan teknologi, tapi juga sudah merambah ke pada bidang keilmuan
dan pemikiran Islam. Peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit dan
semakin banyak terutama kalangan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang belajar di
perguruan tinggi Islam.
Yang terbaru bahkan Kementerian
Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerja sama di bidang pendidikan
tinggi Islam dengan pemerintah Kanada khususnya dalam proyek yang digagas
pemerintah Kanada sejak 2011 yakni Supporting Islamic Leadership in
Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD), telah berlangsung sejak
2011. Kerjasama Kementerian Agama dengan Pemerintah Kanada dalam bidang
pendidikan telah melewati sejarah panjang. Ratusan doktor dalam bidang
Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dihasilkan berkat
kerjasama yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Setiap periode tertentu,
Pemerintah Kanada dengan pemerintah Indonesia mempertahankan pola kemitraan
tersebut meski dengan nomenklatur dan fokus yang berbeda. (Kemenag.go.id,
January 2017)
Dari data Direktorat Perguruan
Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar
Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang
berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi.
Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS),
Kanada. Dan sekarang, perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat.
Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala
Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah
mengirim 82 orang dosen di PTAI ke luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28
wanita, namun lebih didominasi oleh perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan
tinggi Islam yang berada di Timur Tengah.
Derasnya pembaratan perguruan tinggi
Islam sebagai faktor eksternal, dilengkapi dengan kondisi internal umat yang
mengalami tren kemunduran akibat sudah kehilangan kekayaan pemikiran dan metode
berpikirnya yang khas. Hingga sampai level paling nadir, dimana untuk
belajar Islam pun kaum Muslim hari ini berkiblat ke Barat untuk merujuk metode
orientalis mempelajari Islam. Ironis.
Sebenarnya telah terjadi sebuah
proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi Islam. Dan itu
diakui sendiri oleh para pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam.
Simaklah sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia,
(Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian
International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah
perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis yang
berkiblat ke Barat.
Lutfie Assyaukanie dari aktivis
Islam Liberal (JIL) pernah berkata, “Asiknya belajar Islam di Barat.” Inilah yang
dikritik tajam oleh Dr. Syamsudin Arif yang menyatakan jika ingin mempelajari
seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi
ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas
di Barat bukanlah tempatnya. Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman
kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut
ahli hadits, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur
hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad,
Imam al-Ghazali?
Sekulerisasi Melalui Kurikulum Islam
Moderat
Infrastruktur pendidikan Islam di
Indonesia yang dibawahi Kemenag saja memiliki aset 76.000 madrasah dengan 9
juta murid, 30.000 pesantren, dan 700-an perguruan tinggi. Pendidikan Islam di
Indonesia mulai tahun 2016 menggunakan kurikulum pendidikan Islam yang baru,
yang diberi nama pendidikan Islam rahmatan lil`alamin karena menekankan pada
pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat. Menteri Agama RI menambahkan
bahwa kurikulum baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah
meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan dan radikal di lembaga akademis.
Di tahun yang sama tepatnya Desember
2016, Kementerian Agama Indonesia juga telah memfasilitasi forum sinergi Ulama
dan Pesantren Asia Tenggara yang diberi nama Halaqah Ulama ASEAN 2016 demi
mempromosikan Islam Moderat. Menteri Lukman melaporkan kegiatan halaqah
tersebut dilatarbelakangi tuntutan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) untuk
menyebarkan nilai moderatisme Islam yang dianut oleh masyarakat ASEAN.
Dengan kebijakan revisi kurikulum
pendidikan Islam ini dan juga konsolidasi pesantren untuk menyebarkan Islam
moderat dalam rangka meredam radikalisme agama, lengkaplah sudah sekulerisasi
pendidikan Islam di semua jenjang meski dijalankan secara lebih halus atas nama
Islam moderat. Setelah sebelumnya di jenjang pendidikan tinggi upaya lebih
ekstrim dan intensif melalui penetrasi ide Islam Liberal dilakukan sejak
beberapa dekade lalu di level perguruan tinggi Islam.
Mengadopsi Islam Moderat sebagai ruh
dalam kurikulum pendidikan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini bukan
hanya salah kaprah, tapi sudah berbahaya dan menyesatkan. Karena baik gagasan Islam moderat maupun Islam liberal
sesungguhnya merupakan konstruk ide sekuler yang memiliki definisi problematis
dan berbahaya karena tidak digali dari referensi sumber hukum Islam itu
sendiri, melainkan dari nilai-nilai Barat dengan metode orientalis. Ide Islam
Moderat sesungguhnya bukan pemahaman orisinil dari Islam dan tidak
memiliki historis keilmuan di kalangan fuqaha (ahli fikih). Bahkan Hizbut
Tahrir menggolongkan ide ini sebagai pemahaman berbahaya untuk memukul
Islam, dan menancapkan peradaban Barat.
Dalam konteks politik, gagasan Islam
moderat ini sesungguhnya adalah salah satu strategi penting untuk mengontrol
perubahan di dunia Islam agar jauh dari kebangkitan Islam. Seperti yang terbaca
jelas dari rekomendasi lama RAND Corporation tahun 2007 bahwa untuk mencegah
apa yang mereka sebut sebagai Islam radikal, perlu dibuat jejaring Islam
Moderat di dunia Muslim. Adalah laporan penelitian masyhur RAND berjudul “Building
Moslem Moderate Network” yang menghasilkan temuan penting bahwa “Amerika
Serikat perlu menyediakan dan memberikan dukungan bagi para aktivis Islam
moderat dengan membangun jaringan yang luas, serta memberikan dukungan materi
dan moral kepada mereka untuk membangun sebuah benteng guna melawan jaringan
fundamentalis.” Jelas ini adalah agenda AS untuk mempertahankan hegemoninya di
dunia Islam.
Melekatkan Ciri Kemunafikan
“Yang paling saya takutkan atas umat
ini adalah orang munafik yang berilmu”
(Umar bin Khattab)
Membiarkan sekulerisasi pendidikan
sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat
tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas akademik. Dimana pemikiran manusia yang
jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap (nafsiyah) dan
kepribadiannya secara keseluruhan.
Di sisi lain, sekulerisasi ilmu
pengetahuan juga memfasilitasi tsaqofah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler
liberal merasuki benak kaum terpelajar. Sehingga wajar hari ini kaum munafik di
tengah umat benar-benar nampak. Karena tsaqofah asing yang bertentangan
dengan Aqidah Islam adalah bahan bakar kemunafikan. Selain itu asas sekulerisme
juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin
menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistic, akibat pendidikan
dijadikan komoditas bisnis.
Persis seperti yang digambarkan oleh
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang terpisah
dari umat, perasaan mereka terpisah dari pemikiran dan akal rakyat mereka, dan
mereka -secara alami- menjadi orang-orang yang terpisah dari umat, serta
terpisah dari perasaan dan kecenderungan umat.
Inilah kenapa di kala mayoritas umat
membela Quran dan murka dengan penistanya, para cendekia ini justru membela
penista Quran atas nama pluralism dan toleransi. Melalui kasus Ahok dengan
pelecehan terhadap QS al-Maidah ayat 51-nya, Allah SWT benar-benar telah
menunjukkan kepada umat Islam jatidiri siapa Muslim sejati dan siapa yang
termasuk golongan munafik. Sehingga penampakan kaum munafik bisa dilihat oleh
khalayak kaum muslimin di berbagai tempat dan media. Allah SWT berfirman:
﴿ وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَا كَهُمْ
فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ﴾
“Kalau Kami menghendaki, niscaya
Kami menunjukkan mereka (kaum munafik) kepada kamu sehingga kamu benar-benar dapat
mengenal mereka dari tanda-tanda mereka dan kamu benar-benar akan mengenal
mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka” (QS Muhammad [47]: 30).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dalam bukunya, Islam and Secularism, merumuskan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata
al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman…
the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab.”. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu?
Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan
Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah
hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia
yang baik lainnya.
Di poin inilah kegagalan pendidikan
modern hari ini yang berasaskan sekulerisme. Karena gagal menghasilkan
manusia-manusia beradab, manusia baik yang berkepribadian Islam yang merupakan
insan kamil. Cacatnya bahkan sudah sejak asas.
Sesungguhnya pendidikan ala Barat
telah melekatkan ciri kemunafikan bahkan sejak karakter mendasarnya. Mari kita
melihat sedikit ilustrasi kontras yang membandingkan antara profil intelektual
bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting
pendidikan di Inggris. Oxbridge, begitu biasa disingkat– jadi pusat riset
ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak
peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat
bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan
yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi
karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman,
ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa
sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia
bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap
dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan
memisahkan “aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya
batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika
dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di
kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid.
Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan
contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang
memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik,
Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh
ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial
Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak
menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara
otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan
pemberitaannya diragukan.
Penutup
Demikianlah ilustrasi kontras di
atas menunjukkan pada kita ternyata erat sekali hubungan antara mengakarnya
sekulerisasi pendidikan di Indonesia dengan kemunculan kaum munafik. Hal ini
karena pendidikan sekuler ala Barat sungguh telah memusnahkan wahyu sebagai
ilmu tertinggi dan luhur yang harus dipahami setiap Muslim, sehingga merusak kepribadian
Islam para pembelajar. Sekulerisasi ilmu pengetahuan sudah menjelma menjadi
musuh dalam selimut umat Islam yang menggerogoti keimanan dan identitas umat,
sehingga suburlah kemunafikan di tengah kaum terpelajar dengan banyak
wajah dan kategori.
Langganan:
Postingan (Atom)
HUKUM MEMILIH PEMIMPIN
HUKUM MEMILIH PEMIMPIN Banyak ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan tentang memilih pemimpin di antaranya, firman Allah Swt: -(Al-Maidah: ...
-
APAKAH HAKEKAT DHOROR SEBENARNYA? Apa yang dimaksud dengan dhoror itu? Menurut ulama ushul yang banyak membuat berbagai kaidah-kai...
-
HUKUM MENYANYI DAN MUSIK DALAM FIQIH ISLAM Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi 1. Pendahuluan Keprihatinan yang dalam akan kita ra...
-
BOLEHKAH BERJABAT TANGAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN SELAIN MAHRAM Diskusi dan kajian tentang berbagai masalah fiqhiyah seringkali ...